Opini

102

Jalan Pedang atau Pecundang? Membincang KPPS

Jalan Pedang atau Pecundang? Membincang KPPS Jika penguasa lewat, membungkuklah, lalu... kent#t.  Satir pedas ini telah lama tenar, berasal dari belahan Afrika sana. Namun jika ditarik ke pelbagai perkara, maka pas juga dipakai.  Urusan heboh KPPS, sebagai petikan contoh, yang dimainkan di Medsos, sejatinya bagian dari melepas kepenatan.  Netizen seolah menemukan saluran buang angin bersama. Demi sesaat membuang penat dan kejenuhan. Utamanya di urusan politik Pemilu. Seumumnya buang angin, maka memantik gaduh. Meski tentu tak akan lama. Ini baru satu sisi. Mari kita kuliti. Aneka faktor non lelucon di balik KPPS. Bahwa ada jutaan orang kini menyandang label ini. Seraya berani menadah resiko. Di 2019 bahkan 786 orang perlaya.  Hari ini pun di Kab Tangerang aib mencuat. Bersumber dari tata kelola dan pengorganisasian makanan ringan (yang terlalu lambat, tak enak, dan membuat marah khalayak). Di balik itu, ada rahasia besar yang jarang dipercakapkan. Jutaan petugas KPPS adalah booming kesadaran partisipatif. Jangan melulu orang ikut di situ karena godaan honor sejutaan. Jumlah itu seserpih kuku saja. Tak imbang dengan beban kerja setingkat romusha. Sebuah riset menyebut, proporsi tugas KPPS, tak ada banding, tiada banding. Mereka, sebelumnya, berlelah payah mengurus syarat administratif yang tak sedikit. Lalu ikut dilantik. Kemudian terlibat Bimtek.  Dan, di hari-hari jelang Pemilu, tumpukan kerjaan wajib diselesaikan.  Mengedarkan undangan Pemilih; siapkan lokasi TPS beserta sarana prasarana; mengatur logistik; melayani pemilih; menghitung; dan lainnya. Cek saja, semua ini tak selesai sehari. Belum lagi jika memasukkan unsur-unsur baru yang ada di Pemilu 2024. Beberapa KPPS, harus melek digital. Nah, uraian ini membuktikan pokok perkara. Bahwa bagus saja membincang KPPS dari sisi guyon dan "snack tak ada". Namun jangan lupa, mereka akan menyelesaikan pekerjaan raksasa.  Melayani 200an juta hak pilih. Seraya menjadi bagian dari momentum bersejarah. Yakni menyukseskan Pemilu terbesar dan terumit sedunia. Bisa jadi, sebagian orang memilih jalan pecundang dalam Pemilu ini.  Tetap tunggu juga, kami yang mengambil jalan pedang! Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang.


Selengkapnya
742

Sirekap dan Pertaruhan Gengsi KPU

Sirekap dan Pertaruhan Gengsi KPU Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang   Di Pemilu 2019, terjadi  political distrust (ketidakpercayaan politik) terhadap KPU. Lembaga penyelenggara ini dibombardir kanan kiri depan belakang. Rudal serangan menyasar ke banyak pojok. Terutama soal Situng (Sistem Informasi Penghitungan), yang dianggap banyak salah input, tidak sinkron (antara versi Situng dengan C1 di TPS), juga kelambatan proses unggah data. Khalayak luas pun nyaris pesta pora melontarkan tuduhan, plus olok-olok. Bahkan Bawaslu meminta Situng dihentikan. Perkara ini, jadi salah satu evaluasi KPU, untuk kemudian melakukan perbaikan. Solusi terkini, menggunakan Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi). Pergantian ini tak semata artificial, hanya ganti nama, dan  perbaikan recehan. Melainkan penggantian sistem dan metode. Formulasi Sirekap jauh lebih progresif dibanding pola penghitungan sebelumnya. Diukur dari segala aspek, digitalisasi Sirekap lebih canggih. Muara tujuan dari teknologi Real Count KPU ini adalah menghadirkan visualisasi data penghitungan suara yang lebih otentik (paling asli), lebih akurat (kesalahan sedikit), lebih cepat (by pass dari TPS ke tabulasi KPU), lebih moderen (memakai AI alias mesin pintar), dan lebih sederhana (dari TPS ke media centre KPU). Penjelasannya: basis dokumen yang direkam Sirekap adalah C1 Plano, yang ditulis bersama, dihadiri saksi, dan dibuat lebih awal. Beda dengan Situng, yang berbasis C1 salinan, dibawa ke KPU, dipindai, lalu dientry data. Situng kerap salah input dan gagal membaca data C1 salinan. Artinya, dokumen dasar Sirekap lebih asli, Tinimbang Situng (C 1 salinan dibuat oleh KPPS, yang sudah lelah bekerja, dan energi terkuras). Sirekap juga menawarkan pemrosesan data lebih cepat. Transfer atau pengiriman data sangat segera, dari TPS ke ruang tabulasi KPU (Kabupaten/Kota). Beda dengan Situng, yang pakai pengiriman konvensional, dari TPS dibawa ke KPU, yang mungkin rusak, basah, dan terganggu Paling menonjol, pola rekam dan proses data yang melibatkan AI (Artificial Intelligence), alias kecerdasan buatan. AI akan menerjemahkan dokumen C1 menjadi hidangan hasil penghitungan. Artinya,     coretan tulisan di C1 Plano akan terbaca akurat. Beda dengan Situng, yang hanya mengandalkan pemindai biasa. Paparan di atas, memang mengulas perspektif digitalisasi Pemilu oleh KPU. Dalam praktek, pasti ada kendala dan hadangan. Namun, dalam Forum Bimtek Sirekap KPU RI di Bandung, 25-28 November ini, KPU menghitung infrastruktur dan daya dukung teknologi informasi di Indonesia, cukup memadai. Jadi Sirekap bisa dilaksanakan.


Selengkapnya
106

Keep Calm, And Pilkada Dipercepat

Keep Calm, And Pilkada Dipercepat Oleh: Endi Biaro Komisioner KPU Kab Tangerang   Setiap ada aksi, pasti memunculkan reaksi. Tindak menimbulkan gerak. Begitu bunyi hukum Newton, dalam ilmu fisika. Pararel dengan politik. Kaidah di atas berlaku. Bedanya, besaran reaksi, daya dorong, timbal balik, dan dampak, sukar diukur. Semisal gaya Pemerintah yang kemungkinan memutuskan Pilkada di percepat. Reaksi pasti bermunculan. Yang agak sulit tertakar adalah reaksi, dampak, umpan balik, serta gejolaknya. Satu-satunya yang bisa diprediksi tegak lurus dan menjadi mesin pelaksana, adalah KPU (dan satuan kerja di bawahnya). KPU wajib menghormati resultan  politik dari para pengambil keputusan. Siap atau tak siap. Berat atawa ringan, jajaran penyelenggara akan bergerak melaksanakan. Termasuk soal percepatan Pilkada, yang maju lebih awal (sebelumnya November 2024 menjadi September 2024). Sebagaimana hukum fisika, makin berat tekanan, makin besar daya lenting. KPU bahkan bisa membuat momentum paling bersejarah. Tatkala kompleksitas dan kerumitan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada di 2024 mampu diatasi dengan baik. Dan itu niscaya… Pertama, secara kelembagaan KPU memiliki semua instrumen dan sumber daya, untuk melaksanakan tantangan Pemilu dan Pilkada (yang dipercepat). Kedua, jangkar penyelenggara KPU nyaris menggurita, sampai ke bilik TPS (7 orang KPPS per TPS, ditambah dua orang Linmas). Tenaga pelaksana paling bawah ini, terbukti, selalu tersedia. Lantas komunikasi data, arus pesan, dan penggunaan teknologi informasi, sudah menjadi menu harian KPU. Dalam hal ini, KPU didukung para pihak yang kompeten. Baik oleh para pakar, akademisi, kampus, kaum profesional, dan pemerintah. Berikutnya yang ketiga, perangkat regulasi, norma, dan aturan, kerapkali tak banyak beda dengan yang sebelumnya. Artinya: tak ada operasi kerja tambahan, yang benar-benar baru. Semuanya sesuai ritme. Di titik ini, faktor pengalaman jadi sangat berperan. Kesekjenan dan kesekretariatan KPU pasti sangat bisa membantu. Keempat, rentang kendali, kontrol, rantai kerja KPU adalah hirarkis, terkomando, dan tegak lurus. Artinya, dalam konteks tahapan Pemilu atau Pilkada, KPU benar-benar menjadi institusi teknis administratif. Tak akan terjadi keributan dan kericuhan dalam tata laksana. Berdasarkan instruksi dan arahan. Ilmu manajemen menyebut, semakin disiplin sebuah organisasi kerja, makin efektif menyelesaikan beban. Kelima, ini yang menjadi daya dorong teruat. Semua sumber daya keuangan, SDM, perangkat, dan fasilitas pemerintah, menjadikan ajang Pemilu dan Pilkada sebagai prioritas. Jadi KPU tidak bekerja bakti sendiri. Melainkan berkolaborasi. Uraian di atas, memang mengambil garis optimis. Lalu bagaimana jika keruwetan dan kompelsitas ini tak teratasi? Atau dinilai "berantakan". Jawabannya tersedia pada konstalasi politik. Lantaran konflik, sengketa, protes, dan letupan ketidakpuasan, adalah ranah hukum dan politis. Perkara ini sulit diprediksi. Bisa landai, bisa juga meledak. Satu hal pasti bagi KPU, Keep Calm, And Pemilu/Pilkada wajib terlaksana.


Selengkapnya
137

PEREMPUAN, PEMILU DAN “CINDERELLA COMPLEX”

PEREMPUAN, PEMILU DAN “CINDERELLA COMPLEX” Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab. Tangerang   Sang puteri yang teraniaya. Cantik, baik, apik, namun terbelenggu. Tercengkeram oleh perilaku degil dari kakak, adik dan ibu tirinya. Menunggu pangeran menjadi penyelamat. Di suatu pesta, keberuntungan itu datang. Si jelita lalu berjaya. Para ahli jiwa merumuskan suasana kebatinan kaum perempuan yang mirip dengan kisah Puteri Cinderella. Melankolis. Pasif. Mengharap keajaiban datang (sebagai pengangkat derajat). Disebut dengan istilah: The Cinderella Complex. Ditarik ke ranah sosial politik, sindrom (gejala) serupa sepertinya terjadi. Perempuan merasa punya potensi. Mereka mahir dan piawai, layak jadi sosok terkemuka. Tetapi terikat oleh tekanan batasan pihak laki-laki. Juga terbelenggu adat, tradisi, norma di lingkungan sekitar. Lantas posisi tak menguntungkan ini hanya menjadi jeritan. Meletup dalam aneka narasi, kisah, konten, film, atau gerutu di pelbagai media (sosial). Bergema dalam forum diskusi, seminar, atau pertarungan gagasan. Meletupkan tema-tema populer dan peristilahan canggih. Menggaungkan ideologi patriarki, kesetaraan, dan emansipasi. Namun seumumnya, semua itu terkategori mengharap kebajikan pihak lain. Meminta pangeran datang meminang. Bagaimana halnya dengan Pemilu? Pemilihan umum menjadi ajang pertarungan total. Bukan hanya perempuan, tetapi juga bandar, pemodal, aktivis, dan kalangan hitam atau putih. Medan laga dibuat terbuka. Kesempatan untuk menang dan meraih posisi puncak tersedia buat siapa saja. Namun khusus untuk perempuan, terjadi diskriminasi positif (pemberlakuan khusus), melalui politik afirmasi 30% perempuan. Senyatanya ini peluang besar. Tetapi di saat tak optimal, maka aturan main yang menguntungkan sekalipun, dianggap tak berarti. Gugatan seraya protes keras, kerap mengemuka (dari pegiat perempuan). Dalam praktek, memang terjadi prosedur formalitas belaka. Perempuan semata dijadikan pelengkap ---tetapi mau, dan rela. Persoalannya terletak di daya juang politik perempuan. Saat ini kesempatan berkuasa bisa diperoleh siapa saja. Metode politik kuno, yang lazim dilakukan kaum laki-laki feudal (ideologi patriarki), dengan cara meminggirkan, memarginalkan, dan mengunci posisi untuk kalangan tertentu, bisa dilawan dengan banyak cara. Terlebih artikuasi politik perempuan, sebagai bagian dari masyarakat sipil, bisa membuncah di ruang publik, menggiring opini khalayak, membuat viral sebuah tema, atau justru menjadi strong people (figur terkemuka) yang berpengaruh. Secara politik, tak bisa lagi dibilang perempuan dalam posisi marginal. Dengan demikian, wacana lama yang berulang-ulang muncul, mesti direspon dengan taktik baru. Karena faktor pendukung untuk perempuan mengambil kursi politik, telah tersedia. Baik faktor kesadaran, ideologi perjuangan, kelompok terorganisir, payung hukum, dan sistem politik, memberi porsi tersendiri. Dalam kancah politik dan Pemilu, perempuan mestinya melucuti bayang-bayang ketakutan yang over dramatis. Jika pokok soal adalah kesulitan memenangkan pertarungan, maka itu bukan khas masalah perempuan. Pihak laki-laki sekalipun, memiliki kendala yang sama. Langkah paling jitu, justru memutar pola piker agar terlepas dari belenggu masa lalu. Jangan sampai gejala Cinderella Complex terjadi dalam ajang Pemilu. Seperti Puteri Cinderella dalam kisah dongeng, yang pekerja keras, anggun, cantik, penuh pesona, tetapi tak bisa mengubah nasib sendiri, selalu butuh uluran pihak lain. Lebih buruk lagi, jangan sampai pesona Cinderella kaum perempuan di Pemilu, malah dimanfaatkan kembali oleh laki-laki penipu.


Selengkapnya
132

Pemilu dan Kuasa Media Anak Muda

Pemilu dan Kuasa Media Anak Muda Oleh: Endi Biaro Satu dekade akhir, jari jemari tangan menjadi   sangat berkuasa. Dalam teori komunikasi, kita memasuki era dexterity (kelincahan memainkan jemari tangan). Jutaan netizen yang memainkan menu LCS (like, comment and share), seraya merespon isu tertentu, membuat viral suatu konten, dan menggunjang jagat Medsos, memiliki kekuatan adidaya nan perkasa. Pun di lingkungan politik. Riuh rendah kemarahan, kritik, penumpahan aspirasi,  yang menyoroti kebijakan publik, kerap membuat penguasa limbung. Lalu mengubah arah. Inilah yang disebut the power of netizen. Di platform Twitter ada jargon: Twitter, do your magic!  Masih segar dalam memori, peristiwa jalan rusak di lampung. Hanya karena konten seorang kreator, Pemda Lampung dipermalukan. Lantas mereka turun tangan melakukan perbaikan. Atau bagaimana kuatnya pressure aktivis Medsos menggoreng kasus pembunuhan Bharada E, yang berujung vonis mati Sambo. Hanya saja, betapapun hebat daya tekan Medsos, yang mayoritas dimainkan kaum muda, tetap bersifat fluktuatif, kondisional, sporadis, dan gampang dianulir.  Pertama, alur aspirasi di dunia maya bersifat serentak, tanpa arahan terukur, seraya emosional belaka. Hanya isu yang dramatik, heboh, dan menyentuh naluri kemanusiaan paling dasar saja yang bisa mengundang atau mengikat kebersamaan. Komunitas maya akan ramai-ramai meneriakan tuntutan, untuk hyper-tragedi. Di titik ini, level edukasi, pencerdasan, rasionalitas, menjadi minus. Kericuhan malah berujung menggerus pikiran sehat. Dalam lanskap politik, pola seperti ini menjadi mainan para raja propaganda.  Kedua, karena timeline terbatas, merata yang viral hanya di waktu tertentu, begitu mudah berganti dengan kehebohan lain, maka tekanan netizen begitu mudah diatasi penguasa dengan cara pura-pura. Para politisi cuma perlu seolah peduli. Ulur waktu. Lalu mengabaikan. Perubahan mendasar yang berbasis pada perbaikan kebijakan publik, tak benar-benar terjadi. Ketiga, beda dengan  tekanan publik yang dimainkan aktivis dunia nyata, di dunia maya, juru bicara atau influencer yang berkoar kerap tak memiliki syarat adu argumen, semata adalah dia yang berpengikut banyak.  Setali tiga uang dengan basis pendukung, yang sekedar beringas berkomentar, tetap gagal tak terkelola sebagai organ penekan. Ringkas kalimat, penekan di dunia maya main sendiri-sendiri. Keempat, ritme kehebohan di dunia maya mirip dengan dunia hiburan. Luar biasa menarik, lalu secepat kilat surut. Selesai. Ingat misalnya tragedi Kanjuruhan, yang sama sekali tak ada advokasi lanjutan. Hanya geger sekelebatan. Padalah peristiwa berdarah ini luar biasa keji. Maka terlihat benderang, bahwa kuasa media di tangan anak muda nyaris menjadi ghosting, fear mongering, atau melulu shock therapy. Menakutkan di titik awal, lalu sepi. Artinya, secara keseluruhan, ekspresi politik kaum muda yang tampil di Medsos, hanya bertaraf karitatif, polesan kosmetik. Sesaat. Sesungguhnya rapuh. Meski begitu, peluang mengawinkan kuasa media anak muda di bidang politik, dengan gerakan terorganisir, masih tersedia. Fenomena gerakan mahasiswa, aksi jalanan yang atraktif, dan gedoran tuntutan yang keras, makin bergaung manakala didukung kekuatan netizen.  Di Indonesia, hal ini kerap terjadi. Semisal dalam isu kenaikan harga BBM. Kolaborasi lain, yang memadukan gerakan mahasiswa dengan gerakan netizen, adalah isu moral, koreksi kekuasaan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Semua tema ini, berkaitan dengan dua kutub selera. Sesuai dengan minat gerakan mahasiswa. Sekaligus sepadan dengan hobi netizen. Di Pemilu, peluang kolaborasi netizen muda dan gerakan mahasiswa persis di jantung isu moral (misal anti kecurangan),  koreksi terhadap pelaksanaan Pemilu, dan anti politik uang serta korupsi Pemilu. Saluran ekspresi politik anak muda dalam Pemilu, akan jelas produktif dan berfaedah, andai bermain di wilayah ini. Jadi tak semata meminta anak anak muda ikut mencoblos. Melainkan ikut mengawal Pemilu bersih berkualitas.


Selengkapnya
485

Narasi Sesat, Buzzer Jahat  dan Pemilu 2024

Narasi Sesat, Buzzer Jahat  dan Pemilu 2024 Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang   Sepuluh tahun terakhir, jagat informasi kepemiluan bergulung-gulung dengan informasi sesat. Ruang publik, terkhusus di Medsos, berjejal dengan sampah digital. Rupa-rupa jenis distorsi (kerusakan) informasi terjadi. Selain berita sampah, pesan fitnah, provokasi pecah belah, sampai publikasi bedebah, berhamburan setiap detik. Telah terjadi apa yang disebut dengan the market of lemon, alias sesuatu yang busuk justru dominan, laku, digemari, lantas "memenangi" perang informasi. Silahkan deteksi: mesin buzzer yang tak henti membombardir Medsos dengan narasi palsu, malah kerap trending. Pelakunya malah tenar, menguasai panggung informasi, serta dipelihara oleh bandar. Laporan riset Bloomberg menyebut, di Indonesia, buzzer tukang penyebar pesan keliru, malah mendapat bayaran rutin. Malah menjadi profesi khusus. Berikutnya, ada beberapa pola pemutarbalikan fakta via media. Semisal praktek "menghajar" lawan politik dengan serbuan caci maki. Mengintimidasi publik dengan wacana penuh kebohongan, sampai metode adu domba antar warga dunia maya (netizen). Lantas momentum paling menentukan dari keriuhrendahan kebohongan, justru terjadi saat momen Pemilu. Fenomena ini berbahaya. Mengapa? Informasi sesat jelas-jelas memotong habis alur pesan yang berkualitas. Pesan yang benar, argumentatif, dan mendidik, setidaknya memiliki sejumlah syarat.  Misalnya, pesan diolah oleh pihak yang kompeten, punya otoritas, dan teruji atau terpercaya (punya legitimasi). Dalam hal isu Pemilu, misalnya, KPU masuk dalam kategori kompetensi dan legitimasi. Namun kerap terjadi, segala pernyataan KPU malah dipelintir, dibombardir, diserang habis, lalu seolah penyelenggara Pemilu adalah pihak pendosa. Kita tentu ingat hoax belasan kontainer surat suara yang sudah dicoblos, kotak suara kardus yang sengaja dibuat curang, puluhan juta pemilih ganda, sampai dengan fitnah cara penghitungan yang penuh rekayasa, begitu massif menyerang publik.  Berita-berita tak berdasar ini malah viral. Sementara fakta yang sebenarnya, tenggelam oleh kebohongan. Ancaman lain dari banjir bandang kebohongan Pemilu di Medsos adalah mengubur potensi pencerdasan publik. Kontestasi politik dalam ajang Pemilu sejatinya membawa pesan-pesan pencerahan dan pendidikan.  Khalayak luas butuh aneka gagasan, wacana, debat berkelas, serta penyebaran nilai-nilai demokrasi. Semua  itu bisa berlangsung, andai metode komunikasinya berlangsung secara obyektif, bertumpu pada fakta, dialogis, dan menghargai perbedaan. Para pihak, sesungguhnya, berikhtiar keras untuk itu. Termssuk KPU, yang bahkan memiliki program khusus untuk sosialisasi dan pendidikan publik. Sayangnya, narasi sehat tentang Pemilu, kalah dahsyat oleh narasi sesat oleh perusak Pemilu. Dampak menghancurkan berikutnya dari sampah digital (yang penuh konten dan narasi jahat), adalah menciptakan distrust, saling curiga, prasangka, serta angkara. Pemilu yang idealnya menjadi sarana  integrasi bangsa, momen menjaga konsolidasi demokrasi, plus mengelola konflik politik, justru menjadi momen pertarungan yang beringas (seperti tergambar di Medsos). Rakyat yang mestinya menikmati momen Pemilu sebagai wujud daulat politik, guna memilih wakil terbaik, malah pekak oleh kompetisi politik yang kotor. Ruang demokrasi politik malah tersisihkan. Kalah kuat oleh narasi penyesatan.


Selengkapnya