Opini

92

Keep Calm, And Pilkada Dipercepat

Keep Calm, And Pilkada Dipercepat Oleh: Endi Biaro Komisioner KPU Kab Tangerang   Setiap ada aksi, pasti memunculkan reaksi. Tindak menimbulkan gerak. Begitu bunyi hukum Newton, dalam ilmu fisika. Pararel dengan politik. Kaidah di atas berlaku. Bedanya, besaran reaksi, daya dorong, timbal balik, dan dampak, sukar diukur. Semisal gaya Pemerintah yang kemungkinan memutuskan Pilkada di percepat. Reaksi pasti bermunculan. Yang agak sulit tertakar adalah reaksi, dampak, umpan balik, serta gejolaknya. Satu-satunya yang bisa diprediksi tegak lurus dan menjadi mesin pelaksana, adalah KPU (dan satuan kerja di bawahnya). KPU wajib menghormati resultan  politik dari para pengambil keputusan. Siap atau tak siap. Berat atawa ringan, jajaran penyelenggara akan bergerak melaksanakan. Termasuk soal percepatan Pilkada, yang maju lebih awal (sebelumnya November 2024 menjadi September 2024). Sebagaimana hukum fisika, makin berat tekanan, makin besar daya lenting. KPU bahkan bisa membuat momentum paling bersejarah. Tatkala kompleksitas dan kerumitan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada di 2024 mampu diatasi dengan baik. Dan itu niscaya… Pertama, secara kelembagaan KPU memiliki semua instrumen dan sumber daya, untuk melaksanakan tantangan Pemilu dan Pilkada (yang dipercepat). Kedua, jangkar penyelenggara KPU nyaris menggurita, sampai ke bilik TPS (7 orang KPPS per TPS, ditambah dua orang Linmas). Tenaga pelaksana paling bawah ini, terbukti, selalu tersedia. Lantas komunikasi data, arus pesan, dan penggunaan teknologi informasi, sudah menjadi menu harian KPU. Dalam hal ini, KPU didukung para pihak yang kompeten. Baik oleh para pakar, akademisi, kampus, kaum profesional, dan pemerintah. Berikutnya yang ketiga, perangkat regulasi, norma, dan aturan, kerapkali tak banyak beda dengan yang sebelumnya. Artinya: tak ada operasi kerja tambahan, yang benar-benar baru. Semuanya sesuai ritme. Di titik ini, faktor pengalaman jadi sangat berperan. Kesekjenan dan kesekretariatan KPU pasti sangat bisa membantu. Keempat, rentang kendali, kontrol, rantai kerja KPU adalah hirarkis, terkomando, dan tegak lurus. Artinya, dalam konteks tahapan Pemilu atau Pilkada, KPU benar-benar menjadi institusi teknis administratif. Tak akan terjadi keributan dan kericuhan dalam tata laksana. Berdasarkan instruksi dan arahan. Ilmu manajemen menyebut, semakin disiplin sebuah organisasi kerja, makin efektif menyelesaikan beban. Kelima, ini yang menjadi daya dorong teruat. Semua sumber daya keuangan, SDM, perangkat, dan fasilitas pemerintah, menjadikan ajang Pemilu dan Pilkada sebagai prioritas. Jadi KPU tidak bekerja bakti sendiri. Melainkan berkolaborasi. Uraian di atas, memang mengambil garis optimis. Lalu bagaimana jika keruwetan dan kompelsitas ini tak teratasi? Atau dinilai "berantakan". Jawabannya tersedia pada konstalasi politik. Lantaran konflik, sengketa, protes, dan letupan ketidakpuasan, adalah ranah hukum dan politis. Perkara ini sulit diprediksi. Bisa landai, bisa juga meledak. Satu hal pasti bagi KPU, Keep Calm, And Pemilu/Pilkada wajib terlaksana.


Selengkapnya
121

PEREMPUAN, PEMILU DAN “CINDERELLA COMPLEX”

PEREMPUAN, PEMILU DAN “CINDERELLA COMPLEX” Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab. Tangerang   Sang puteri yang teraniaya. Cantik, baik, apik, namun terbelenggu. Tercengkeram oleh perilaku degil dari kakak, adik dan ibu tirinya. Menunggu pangeran menjadi penyelamat. Di suatu pesta, keberuntungan itu datang. Si jelita lalu berjaya. Para ahli jiwa merumuskan suasana kebatinan kaum perempuan yang mirip dengan kisah Puteri Cinderella. Melankolis. Pasif. Mengharap keajaiban datang (sebagai pengangkat derajat). Disebut dengan istilah: The Cinderella Complex. Ditarik ke ranah sosial politik, sindrom (gejala) serupa sepertinya terjadi. Perempuan merasa punya potensi. Mereka mahir dan piawai, layak jadi sosok terkemuka. Tetapi terikat oleh tekanan batasan pihak laki-laki. Juga terbelenggu adat, tradisi, norma di lingkungan sekitar. Lantas posisi tak menguntungkan ini hanya menjadi jeritan. Meletup dalam aneka narasi, kisah, konten, film, atau gerutu di pelbagai media (sosial). Bergema dalam forum diskusi, seminar, atau pertarungan gagasan. Meletupkan tema-tema populer dan peristilahan canggih. Menggaungkan ideologi patriarki, kesetaraan, dan emansipasi. Namun seumumnya, semua itu terkategori mengharap kebajikan pihak lain. Meminta pangeran datang meminang. Bagaimana halnya dengan Pemilu? Pemilihan umum menjadi ajang pertarungan total. Bukan hanya perempuan, tetapi juga bandar, pemodal, aktivis, dan kalangan hitam atau putih. Medan laga dibuat terbuka. Kesempatan untuk menang dan meraih posisi puncak tersedia buat siapa saja. Namun khusus untuk perempuan, terjadi diskriminasi positif (pemberlakuan khusus), melalui politik afirmasi 30% perempuan. Senyatanya ini peluang besar. Tetapi di saat tak optimal, maka aturan main yang menguntungkan sekalipun, dianggap tak berarti. Gugatan seraya protes keras, kerap mengemuka (dari pegiat perempuan). Dalam praktek, memang terjadi prosedur formalitas belaka. Perempuan semata dijadikan pelengkap ---tetapi mau, dan rela. Persoalannya terletak di daya juang politik perempuan. Saat ini kesempatan berkuasa bisa diperoleh siapa saja. Metode politik kuno, yang lazim dilakukan kaum laki-laki feudal (ideologi patriarki), dengan cara meminggirkan, memarginalkan, dan mengunci posisi untuk kalangan tertentu, bisa dilawan dengan banyak cara. Terlebih artikuasi politik perempuan, sebagai bagian dari masyarakat sipil, bisa membuncah di ruang publik, menggiring opini khalayak, membuat viral sebuah tema, atau justru menjadi strong people (figur terkemuka) yang berpengaruh. Secara politik, tak bisa lagi dibilang perempuan dalam posisi marginal. Dengan demikian, wacana lama yang berulang-ulang muncul, mesti direspon dengan taktik baru. Karena faktor pendukung untuk perempuan mengambil kursi politik, telah tersedia. Baik faktor kesadaran, ideologi perjuangan, kelompok terorganisir, payung hukum, dan sistem politik, memberi porsi tersendiri. Dalam kancah politik dan Pemilu, perempuan mestinya melucuti bayang-bayang ketakutan yang over dramatis. Jika pokok soal adalah kesulitan memenangkan pertarungan, maka itu bukan khas masalah perempuan. Pihak laki-laki sekalipun, memiliki kendala yang sama. Langkah paling jitu, justru memutar pola piker agar terlepas dari belenggu masa lalu. Jangan sampai gejala Cinderella Complex terjadi dalam ajang Pemilu. Seperti Puteri Cinderella dalam kisah dongeng, yang pekerja keras, anggun, cantik, penuh pesona, tetapi tak bisa mengubah nasib sendiri, selalu butuh uluran pihak lain. Lebih buruk lagi, jangan sampai pesona Cinderella kaum perempuan di Pemilu, malah dimanfaatkan kembali oleh laki-laki penipu.


Selengkapnya
117

Pemilu dan Kuasa Media Anak Muda

Pemilu dan Kuasa Media Anak Muda Oleh: Endi Biaro Satu dekade akhir, jari jemari tangan menjadi   sangat berkuasa. Dalam teori komunikasi, kita memasuki era dexterity (kelincahan memainkan jemari tangan). Jutaan netizen yang memainkan menu LCS (like, comment and share), seraya merespon isu tertentu, membuat viral suatu konten, dan menggunjang jagat Medsos, memiliki kekuatan adidaya nan perkasa. Pun di lingkungan politik. Riuh rendah kemarahan, kritik, penumpahan aspirasi,  yang menyoroti kebijakan publik, kerap membuat penguasa limbung. Lalu mengubah arah. Inilah yang disebut the power of netizen. Di platform Twitter ada jargon: Twitter, do your magic!  Masih segar dalam memori, peristiwa jalan rusak di lampung. Hanya karena konten seorang kreator, Pemda Lampung dipermalukan. Lantas mereka turun tangan melakukan perbaikan. Atau bagaimana kuatnya pressure aktivis Medsos menggoreng kasus pembunuhan Bharada E, yang berujung vonis mati Sambo. Hanya saja, betapapun hebat daya tekan Medsos, yang mayoritas dimainkan kaum muda, tetap bersifat fluktuatif, kondisional, sporadis, dan gampang dianulir.  Pertama, alur aspirasi di dunia maya bersifat serentak, tanpa arahan terukur, seraya emosional belaka. Hanya isu yang dramatik, heboh, dan menyentuh naluri kemanusiaan paling dasar saja yang bisa mengundang atau mengikat kebersamaan. Komunitas maya akan ramai-ramai meneriakan tuntutan, untuk hyper-tragedi. Di titik ini, level edukasi, pencerdasan, rasionalitas, menjadi minus. Kericuhan malah berujung menggerus pikiran sehat. Dalam lanskap politik, pola seperti ini menjadi mainan para raja propaganda.  Kedua, karena timeline terbatas, merata yang viral hanya di waktu tertentu, begitu mudah berganti dengan kehebohan lain, maka tekanan netizen begitu mudah diatasi penguasa dengan cara pura-pura. Para politisi cuma perlu seolah peduli. Ulur waktu. Lalu mengabaikan. Perubahan mendasar yang berbasis pada perbaikan kebijakan publik, tak benar-benar terjadi. Ketiga, beda dengan  tekanan publik yang dimainkan aktivis dunia nyata, di dunia maya, juru bicara atau influencer yang berkoar kerap tak memiliki syarat adu argumen, semata adalah dia yang berpengikut banyak.  Setali tiga uang dengan basis pendukung, yang sekedar beringas berkomentar, tetap gagal tak terkelola sebagai organ penekan. Ringkas kalimat, penekan di dunia maya main sendiri-sendiri. Keempat, ritme kehebohan di dunia maya mirip dengan dunia hiburan. Luar biasa menarik, lalu secepat kilat surut. Selesai. Ingat misalnya tragedi Kanjuruhan, yang sama sekali tak ada advokasi lanjutan. Hanya geger sekelebatan. Padalah peristiwa berdarah ini luar biasa keji. Maka terlihat benderang, bahwa kuasa media di tangan anak muda nyaris menjadi ghosting, fear mongering, atau melulu shock therapy. Menakutkan di titik awal, lalu sepi. Artinya, secara keseluruhan, ekspresi politik kaum muda yang tampil di Medsos, hanya bertaraf karitatif, polesan kosmetik. Sesaat. Sesungguhnya rapuh. Meski begitu, peluang mengawinkan kuasa media anak muda di bidang politik, dengan gerakan terorganisir, masih tersedia. Fenomena gerakan mahasiswa, aksi jalanan yang atraktif, dan gedoran tuntutan yang keras, makin bergaung manakala didukung kekuatan netizen.  Di Indonesia, hal ini kerap terjadi. Semisal dalam isu kenaikan harga BBM. Kolaborasi lain, yang memadukan gerakan mahasiswa dengan gerakan netizen, adalah isu moral, koreksi kekuasaan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Semua tema ini, berkaitan dengan dua kutub selera. Sesuai dengan minat gerakan mahasiswa. Sekaligus sepadan dengan hobi netizen. Di Pemilu, peluang kolaborasi netizen muda dan gerakan mahasiswa persis di jantung isu moral (misal anti kecurangan),  koreksi terhadap pelaksanaan Pemilu, dan anti politik uang serta korupsi Pemilu. Saluran ekspresi politik anak muda dalam Pemilu, akan jelas produktif dan berfaedah, andai bermain di wilayah ini. Jadi tak semata meminta anak anak muda ikut mencoblos. Melainkan ikut mengawal Pemilu bersih berkualitas.


Selengkapnya
440

Narasi Sesat, Buzzer Jahat  dan Pemilu 2024

Narasi Sesat, Buzzer Jahat  dan Pemilu 2024 Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang   Sepuluh tahun terakhir, jagat informasi kepemiluan bergulung-gulung dengan informasi sesat. Ruang publik, terkhusus di Medsos, berjejal dengan sampah digital. Rupa-rupa jenis distorsi (kerusakan) informasi terjadi. Selain berita sampah, pesan fitnah, provokasi pecah belah, sampai publikasi bedebah, berhamburan setiap detik. Telah terjadi apa yang disebut dengan the market of lemon, alias sesuatu yang busuk justru dominan, laku, digemari, lantas "memenangi" perang informasi. Silahkan deteksi: mesin buzzer yang tak henti membombardir Medsos dengan narasi palsu, malah kerap trending. Pelakunya malah tenar, menguasai panggung informasi, serta dipelihara oleh bandar. Laporan riset Bloomberg menyebut, di Indonesia, buzzer tukang penyebar pesan keliru, malah mendapat bayaran rutin. Malah menjadi profesi khusus. Berikutnya, ada beberapa pola pemutarbalikan fakta via media. Semisal praktek "menghajar" lawan politik dengan serbuan caci maki. Mengintimidasi publik dengan wacana penuh kebohongan, sampai metode adu domba antar warga dunia maya (netizen). Lantas momentum paling menentukan dari keriuhrendahan kebohongan, justru terjadi saat momen Pemilu. Fenomena ini berbahaya. Mengapa? Informasi sesat jelas-jelas memotong habis alur pesan yang berkualitas. Pesan yang benar, argumentatif, dan mendidik, setidaknya memiliki sejumlah syarat.  Misalnya, pesan diolah oleh pihak yang kompeten, punya otoritas, dan teruji atau terpercaya (punya legitimasi). Dalam hal isu Pemilu, misalnya, KPU masuk dalam kategori kompetensi dan legitimasi. Namun kerap terjadi, segala pernyataan KPU malah dipelintir, dibombardir, diserang habis, lalu seolah penyelenggara Pemilu adalah pihak pendosa. Kita tentu ingat hoax belasan kontainer surat suara yang sudah dicoblos, kotak suara kardus yang sengaja dibuat curang, puluhan juta pemilih ganda, sampai dengan fitnah cara penghitungan yang penuh rekayasa, begitu massif menyerang publik.  Berita-berita tak berdasar ini malah viral. Sementara fakta yang sebenarnya, tenggelam oleh kebohongan. Ancaman lain dari banjir bandang kebohongan Pemilu di Medsos adalah mengubur potensi pencerdasan publik. Kontestasi politik dalam ajang Pemilu sejatinya membawa pesan-pesan pencerahan dan pendidikan.  Khalayak luas butuh aneka gagasan, wacana, debat berkelas, serta penyebaran nilai-nilai demokrasi. Semua  itu bisa berlangsung, andai metode komunikasinya berlangsung secara obyektif, bertumpu pada fakta, dialogis, dan menghargai perbedaan. Para pihak, sesungguhnya, berikhtiar keras untuk itu. Termssuk KPU, yang bahkan memiliki program khusus untuk sosialisasi dan pendidikan publik. Sayangnya, narasi sehat tentang Pemilu, kalah dahsyat oleh narasi sesat oleh perusak Pemilu. Dampak menghancurkan berikutnya dari sampah digital (yang penuh konten dan narasi jahat), adalah menciptakan distrust, saling curiga, prasangka, serta angkara. Pemilu yang idealnya menjadi sarana  integrasi bangsa, momen menjaga konsolidasi demokrasi, plus mengelola konflik politik, justru menjadi momen pertarungan yang beringas (seperti tergambar di Medsos). Rakyat yang mestinya menikmati momen Pemilu sebagai wujud daulat politik, guna memilih wakil terbaik, malah pekak oleh kompetisi politik yang kotor. Ruang demokrasi politik malah tersisihkan. Kalah kuat oleh narasi penyesatan.


Selengkapnya
99

Pemilu Dan Spirit Kemerdekaan

PEMILU DAN SPIRIT KEMERDEKAAN Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang   Martabat Indonesia dimuliakan oleh jerit perih para Kusuma yang perlaya. Mereka yang tumbang di garis pertempuran. Juga dilindas kejamnya perlawanan terhadap penjajahan. Tak semua bangsa di dunia memiliki kehebatan seperti kita. Memperoleh hak dasarnya sebagai bangsa merdeka dengan jalan perang! Tetapi juga tak boleh mengabadikan jalan konflik fisik bersenjata secara terus menerus. Bahkan sejatinya, perang adalah ultimum remedium (jalan akhir, ketika semuanya terkunci). Fitrah asli manusia, termasuk rakyat Indonesia, adalah melakoni jalan hidup dengan damai, harmoni, serta produktif. Meski secara naluriah, pergaulan sesama manusia dan sesama bangsa, selalu pekat dengan nuansa konflik, persaingan, dan kompetisi. Lebih-lebih di medan politik, yang selalu terjadi perguliran kekuasaan. Di era purba, perang selalu menjadi modus vivendi (cara bertahan hidup). Sementara alam modern mengantarkan manusia pada pilihan damai. Yakni dengan cara negosiasi, kompromi, resolusi dan manajemen konflik. Termasuk dalam perkara perebutan atau pergantian kekuasaan. Alternatif untuk melakukan sirkulasi, rotasi, serta pergantian kekuasaan, dilakukan dengan cara-cara beradab. Salah satunya dengan melakukan Pemilihan Umum. Inilah sesungguhnya nilai dasar Pemilu, yakni melembagakan konflik dan kompetisi. Kompetisi sengit antar kubu untuk bertarung dalam jabatan politik, dilembagakan atau disalurkan dengan prosedur demokratis. Menyingkirkan pola-pola tribal (kasar), seperti kudeta, pembunuhan politik, perpecahan kelompok, dan konflik berdarah. Dengan demikian, garis sambung antara Pemilu dan Kemerdekaan adalah menjaga martabat. Agar bangsa ini mampu menikmati harkat sebagai manusia merdeka, tanpa ketakutan perampasan, pembunuhan, pendholiman, dan angkara murka. Pemilu menjadi jaminan, bahwa sampai kapanpun, anak bangsa berkesempatan menentukan nasib politik denga cara sangat mudah, tetapi juga bebas. Dengan Pemilu, perguliran kekuasaan bahkan ditentukan oleh mereka yang terbaring lemah di rumah sakit (karena dilayani petugas KPPS yang datang membawa surat dan kotak suara). Tak terbayangkan, jika Indoesia tak melembagakan kompetisi politik dengan Pemilu. Barangkali nasibnya akan lebih sadis tinimbang negara-negara timur tengah yang tak henti bertarung senjata. Mengapa? Pertama, kekuatan politik di Indonesia begitu beragam, tersebar di berbagai kutub, terpecah ke dalam berbagai spektrum ideologis. Tanpa Pemilu, semua fragmen politik ini akan terpecah belah, karena kehilangan tali pemersatu (dalam hal ini partai politik peserta Pemilu). Kedua, wilayah territorial yang begitu luas yang konsekuensinya butuh mobilisasi militer yang bermodal mahal. Jika pergantian kekuasaan dilakukan tanpa Pemilu, maka satu-satunya kekuatan yang bisa membungkam adalah dominasi militer. Ketiga, selain berbeda kultur, rakyat Indonesia juga memiliki preferensi dan aspirasi ideologis yang tidak tunggal, alias cukup beragam. Tanpa Pemilu, aspirasi akan dilakukan anarkis, tirani mayoritas, lalu menimbulkan perlawanan terbuka dari golongan yang merasa terpinggirkan. Bersyukur, modus operandi kekuasaan di tanah air memiliki saluran yang damai, yaitu melalui Pemilihan Umum, yang dilangsungkan sedara regular, saban lima tahun. Dan tahun depan, berlangsung di 14 Februari 2024.  


Selengkapnya
305

Pelayanan Pindah Memilih Dan Strategi KPU Kabupaten Tangerang

PELAYANAN PINDAH MEMILIH DAN STRATEGI KPU KAB TANGERANG Oleh: Endi Biaro Koordinator Divisi Data dan Informasi, KPU Kab Tangerang Total Pemilih di Kabupaten Tangerang, mencapai 2.353.822 pemilih. Angka ini terbilang raksasa. Jauh di atas rata-rata wilayah lain (terutama di luar Jawa). Sebagai ilustrasi, total pemilih di salah satu kelurahan dan desa di Kabupaten Tangerang, melampaui total pemilih di Kota Solok (Sumbar) dan Kota Sabang (Aceh). Besarnya jumlah DPT itu, tentu mengandung konsekuensi di berbagai hal. Termasuk dampak turunan yang mengiringi. Misalnya soal validitas data. Analisis kegandaan pemilih. Pemetaan lokasi TPS. Penyisiran pemilih yang tak memenuhi syarat, dan lain-lain. Dampak turunannya: resiko pengadaan logisitik, distribusi perlengkapan TPS, penyediaan sumber daya, kerumitan rentang kendali, dan kesalahan lain yang sifatnya human eror. Permasalah ini, berlanjut dengan kerumitan lain, yakni akan hadirnya pemilih pindahan (DPTb). Sebagai daerah megapolitian, menjadi kawasan penyangga Ibukota Jakarta, atau beberapa titik yang disebut kota satelit, maka dipastikan akan banyak permintaan pindah memilih ke Kabupaten Tangerang. Begitu banyak tenaga kerja dari luar, yang menetap, dan di hari H Pemilu nanti pindah memilih di Kabupaten Tangerang. Konsentrasi warga pindah memilih tersebar di beberapa lokasi. Paling banyak adalah di Kawasan industri (seperti Pasar Kemis), kawasan perumahan elit dan besar (seperti Citra Raya), daerah padat apartemen (seperti di Sampora Cisauk), sekitaran kampus (seperti UPH Lippo Karawaci), dan wilayah strategis serta padat lainnya. KPU Kab Tangerang telah memerinci delapan belas titik yang potensial terjadi pembesaran angka pemilih kategori DPTb. Ke delapan belas titik ini, rata-rata memang kawasan pemukiman dan perumahan. Termasuk di pemukiman level elit, seperti apartemen, kondominium, kluster elit, atau real estate. Juga di perumahan level menengan bawah. Problemnya, meski lama mukim di Kab Tangerang, mereka adalah para pekerja komuter, bolak balik dari lokasi kerja ke domisili asal. Atau juga warga yang jauh, tetapi mengontrak, kost, atau menyewa rumah dan apartemen. Jadi mereka tak sempat mengurus alamat dan pindah domisili. Artinya, mayoritas pemilih ini, adalah warga luar Tangerang, yang terdaftar di DPT luar, dan di hari H Pemilu akan memilih di Kabupaten Tangerang. Dalam nomenklatur Pemilu, ini disebut dengan DPTb (daftar pemilih pindahan). Persoalan Tak mudah melayani potensi pembesaran pemilih pindahan ini. Problem mendasar: memastikan warga luar yang akan pindah memilih bersedia mengurus dan mendaftarkan diri, sebelum Pemilu. Mereka kerap hanya datang di saat pemungutan suara dilakukan. Ini jadi kerumitan tersendiri. Terjadi debat dan percekcokan antara pemilih dan KPPS. Di satu sisi, mereka warga negara Indonesia yang punya hak pilih. Tetapi petugas KPPS akan menolak melayani, jika warga itu belum terdaftar di DPT, atau terdaftar di DPT asal lokasi mereka. Persoalan lain, potensi penumpukan pemilih pindahan di satu TPS tertentu. Petugas KPPS kewalahan, untuk mengecek, memvalidasi cek DPT online, dan menyediakan surat suara. Resiko besarnya pemilih pindahan juga adalah dalam hal merelokasi pemilih ke TPS yang masih kosong. Jika di sekitaran masih ada slot untuk pemilih, maka akan mudah. Tetapi jika sulit, tentu jadi soalan besar. Konflik Konflik terjadi di hari H, karena pemilih terkena hoax (atau kabar bohong). Bahwa siapa saja dengan bermodalkan KTP elektronik, bisa bebas memilih di mana saja. Maka berduyun-duyun warga non Kabupaten Tangerang, datang ke TPS minta dilayani. Padahal ini tak benar. Petugas KPPS berhak menolak. Karena pemilih KTP elektronik bisa memilih, tetapi di lokasi TPS sesuai alamat asal mereka. Dalam istilah Pemilu, mereka disebut Daftar Pemilih Khusus. Pemantik keributan lain adalah warga luar, yang pasif dan diam, tidak mengurus perpindahan memilih. KTP mereka dari luar, dan tercantum di DPT luar. Mestinya, jika mereka mengurus sebelum hari H, maka mereka terlayani dengan baik. Masalahnya, jika mereka hanya datang di hari Pemilu, dan sebelumnya tak mengurus pindah memilih, maka problem multitafsir bermunculan. Karena jika mereka terkategori DPTb, maka syarat DPT asal harus dihapus (sementara waktu sudah tak mungkin lagi untuk menghapus di Sidalih). Di sisi lain, jika ditolak, kerap muncul kericuhan. Di sini KPU mengambil garis tegas, bahwa pemilih yang dari luar, yang beridentitas KTP luar, akan ditolak. Kecuali, warga luar yang pindah domisili, sudah memiliki KTP di Kab Tangerang, maka akan dilayani di lokasi TPS. Solusi Meski rumit, tetapi ada kabar baik. Pertama, KPU punya rentang waktu pelayanan cukup panjang. Kedua, penghitungan dan rekap data pemilih tambahan bisa terdeteksi jauh-jauh hari. Ketiga, cadangan surat suara juga banyak. Keempat, masih ada kesempatan menyisir TPS yang memiliki kuota DPT di bawah 270 per TPS. Kelima, sosialisasi dan pelayanan sudah gencar dilakukan.


Selengkapnya