PEREMPUAN, PEMILU DAN “CINDERELLA COMPLEX”

PEREMPUAN, PEMILU DAN “CINDERELLA COMPLEX”

Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab. Tangerang

 

Sang puteri yang teraniaya. Cantik, baik, apik, namun terbelenggu. Tercengkeram oleh perilaku degil dari kakak, adik dan ibu tirinya. Menunggu pangeran menjadi penyelamat. Di suatu pesta, keberuntungan itu datang. Si jelita lalu berjaya.

Para ahli jiwa merumuskan suasana kebatinan kaum perempuan yang mirip dengan kisah Puteri Cinderella. Melankolis. Pasif. Mengharap keajaiban datang (sebagai pengangkat derajat). Disebut dengan istilah: The Cinderella Complex.

Ditarik ke ranah sosial politik, sindrom (gejala) serupa sepertinya terjadi. Perempuan merasa punya potensi. Mereka mahir dan piawai, layak jadi sosok terkemuka. Tetapi terikat oleh tekanan batasan pihak laki-laki. Juga terbelenggu adat, tradisi, norma di lingkungan sekitar.

Lantas posisi tak menguntungkan ini hanya menjadi jeritan. Meletup dalam aneka narasi, kisah, konten, film, atau gerutu di pelbagai media (sosial). Bergema dalam forum diskusi, seminar, atau pertarungan gagasan. Meletupkan tema-tema populer dan peristilahan canggih. Menggaungkan ideologi patriarki, kesetaraan, dan emansipasi.

Namun seumumnya, semua itu terkategori mengharap kebajikan pihak lain. Meminta pangeran datang meminang.

Bagaimana halnya dengan Pemilu?

Pemilihan umum menjadi ajang pertarungan total. Bukan hanya perempuan, tetapi juga bandar, pemodal, aktivis, dan kalangan hitam atau putih. Medan laga dibuat terbuka. Kesempatan untuk menang dan meraih posisi puncak tersedia buat siapa saja. Namun khusus untuk perempuan, terjadi diskriminasi positif (pemberlakuan khusus), melalui politik afirmasi 30% perempuan.

Senyatanya ini peluang besar. Tetapi di saat tak optimal, maka aturan main yang menguntungkan sekalipun, dianggap tak berarti. Gugatan seraya protes keras, kerap mengemuka (dari pegiat perempuan).

Dalam praktek, memang terjadi prosedur formalitas belaka. Perempuan semata dijadikan pelengkap ---tetapi mau, dan rela. Persoalannya terletak di daya juang politik perempuan. Saat ini kesempatan berkuasa bisa diperoleh siapa saja. Metode politik kuno, yang lazim dilakukan kaum laki-laki feudal (ideologi patriarki), dengan cara meminggirkan, memarginalkan, dan mengunci posisi untuk kalangan tertentu, bisa dilawan dengan banyak cara.

Terlebih artikuasi politik perempuan, sebagai bagian dari masyarakat sipil, bisa membuncah di ruang publik, menggiring opini khalayak, membuat viral sebuah tema, atau justru menjadi strong people (figur terkemuka) yang berpengaruh. Secara politik, tak bisa lagi dibilang perempuan dalam posisi marginal.

Dengan demikian, wacana lama yang berulang-ulang muncul, mesti direspon dengan taktik baru. Karena faktor pendukung untuk perempuan mengambil kursi politik, telah tersedia. Baik faktor kesadaran, ideologi perjuangan, kelompok terorganisir, payung hukum, dan sistem politik, memberi porsi tersendiri.

Dalam kancah politik dan Pemilu, perempuan mestinya melucuti bayang-bayang ketakutan yang over dramatis. Jika pokok soal adalah kesulitan memenangkan pertarungan, maka itu bukan khas masalah perempuan. Pihak laki-laki sekalipun, memiliki kendala yang sama.

Langkah paling jitu, justru memutar pola piker agar terlepas dari belenggu masa lalu.

Jangan sampai gejala Cinderella Complex terjadi dalam ajang Pemilu. Seperti Puteri Cinderella dalam kisah dongeng, yang pekerja keras, anggun, cantik, penuh pesona, tetapi tak bisa mengubah nasib sendiri, selalu butuh uluran pihak lain.

Lebih buruk lagi, jangan sampai pesona Cinderella kaum perempuan di Pemilu, malah dimanfaatkan kembali oleh laki-laki penipu.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 121 Kali.