Opini

187

Perang Isu DPT Pemilu Dan Antisipasi KPU

PERANG ISU DPT PEMILU DAN ANTISIPASI KPU Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab. Tangerang   Paska penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap) oleh KPU RI, maka perang opini akan segera muncul. Berkaca pengalaman Pemilu 2019, begitu banyak kontroversi lahir. Bebarapa bahkan membuat kerepotan KPU RI (tercatat tiga kali terjadi perubahan DPT). Sisanya yang lain, adalah tekanan publik yang cukup mengganggu. Bagaimana pola, dampak, serta jalan ke luar KPU menghadapi hal ini? Perang opini terkait validitas DPT sejatinya memag bisa dimaklumi. Mengelola ratusan juta data bukan hal mudah, banyak celah terbuka terjadinya kesalahan. Lagipula, sifat data pemilih dinamis serta dialektis. Tidak ajeg. Kalaupun ada standar dan ketetapan, itu dalam konteks regulasi dan instrument hukum. Pun dengan perkara kepercayaan para pihak. Kerap lahir asumsi sumir, bahwa terjadi permainan dalam pengelolaan data. Sejatinya, kecurigaan ini bagian dari rangkaian public distrust (kecurigaan publik), terhadap KPU. Meski faktanya, segala tuduhan sering tak terbukti. Seperti di Pemilu 2019, yang terjadi klaim adanya jutaan orang asing yang tercantum di DPT. Atau 19 juta lebih pemilih invalid, serta jutaan pemilih ganda. Rangkaian lain, yang bermunculan dari isu DPT adalah soal koordinasi, keselarasan, dan harmoni antas sesama stakeholders. Kerap terjadi perbedaan versi, antara KPU, Bawaslu, dan Pemerintah (Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil). Kasemua hal itu, juga menjadi gorengan para pihak. Mereka menyebar pesan massif, kebanyakan adalah konten dusta (hoax), hingga akhirnya isu DPT yang sejatinya adalah kuantitatif dan terukur, menjadi seolah penuh manipulasi. KPU berada dalam pihak yang pro aktif terhadap berbagai narasi besar soal hak pilih. Lantaran ini amanat konstitusi, mengamankan hak warga negara untuk dapat memilih (sejauh sesuai syarat yang berlaku). Boleh dibilang, terjadi langkah fleksibel guna mengantisipasi pelbagai kemungkinan. Langkah terukur KPU, bekerja dalam beberapa aspek. Pertama, menerapkan sistem berbasis teknologi informasi, yakni Sidalih, sebagai perangkat yang mampu mengecek data pemilih secara akurat, terkini, partisipatif dan terbuka. Kedua, memberlakukan mekanisme Daftar Pemilih Berkenaljutan, sebagai bahan dasar olahan menuju DPT. Ketiga, kecepatan dalam memeriksa problem data menjadi jauh lebih baik. Mengecek data ganda, data tak memenuhi syarat, lebih cepat dan akurat. Keempat, ini yang lebih penting, KPU juga melahirkan berbagai regulasi dan instrumen hukum, guna menyesuaikan kebutuhan faktual dalam melayani hak pilih. Saat ini malah tersedia berbagai kanal (saluran) tambahan, guna melayani warga negara dalam memiliki hak pilih. Selain melalui kanal DPT (artinya warga negara sudah dilakukan Coklit, sahih, dan terdaftar), jua ada saluran DPTb (jika mereka berniat pindah memilih), serta DPK (daftar pemilih khusus, untuk mereka yang tidak terdaftar di DPT dan DPTb, tetapi memiliki KTP elektronik). KPU juga berperan pro aktif, menjemput bola, guna melayani hak pilih yang terkonsentrasi di suatu tempat, yaitu menyediakan Lokasi Khusus. Area ini dibuat, di lokasi yang menampung banyak warga negara berusia hak pilih dan terdaftar di DPT, namun tidak bisa memilih di lokasi asal mereka. Seperti di pertambangan, kilang laut lepas, rumah sakit, kampus, pondok pesantren, atau perusahaan besar. Ini adalah antisipasi teknis yang melibatkan pihak luar. Sementara pembenahan internal juga dilakukan ketat. KPU memastikan tersedia SDM penyelenggara yang siap, di semua jenjang. Dengan intensitas tinggi melakukan pelatihan, bimbingan, pertemuan, dan sosialisasi.


Selengkapnya
643

Perihal Pilkada Daerah Istimewa dan Daerah Khusus: Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua

Tigaraksa, (www.kpu-tangerangkab.go.id) -  Pada prinsipnya dikenal ada 2 konsep otonomi daerah: simetri dan asimetris. Indonesia menganut otonomi simetris sbgmn diatur dalam UU 23/2014 ttg Pemda. Namun demikian Indonesia juga menganut otonomi asimetris utk daerah istimewa dan daerah khusus sbgmn amanat UUD 1945 yg diatur dalam UU DKI Jakarta, UU Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua. Dalam konteks perUUan dikenal azas lex specialis derogat legi generalis. Dalam konteks otonomi daerah, UU Pemda adalah lex generalis dan UU Daerah Istimewa/Khusus adalah lex specialis. Dalam konteks Pilkada, UU Pilkada (UU 1/2015, UU 8/2015, UU 10/2016) adalah lex generalis utk mengatur pilkada di semua daerah (provinsi dan kab/kota) di Indonesia. Demikian pula UU ttg daerah istimewa/khusus adalah lex specialis utk pilkada di daerah istimewa/khusus.   Sistem pemilu/pilkada memiliki 4 aspek strategis, yaitu: 1. Daerah pemilihan dan alokasi kursi. 2. Mekanisme pencalonan. 3. Metode pemberian suara. 4. Formula pemilihan.   Berdasarkan 4 aspek strategis pilkada tsb berlaku utk semua daerah dalam pilkada sbgmn diatur dalam UU Pilkada.   Namun demikian terdapat perlakuan khusus utk daerah istimewa/khusus, yaitu:   1. Mekanisme Pencalonan 1.1. Untuk Papua terdapat pengaturan khusus ttg syarat calon gubernur dan wakil gubernur yaitu harus orang Papua Asli atau dinyatakan sbg orang Papua Asli oleh MRP (ketentuan ini hanya berlaku utk calon gubernur dan wakil gubernur saja, dan tidak berlaku utk calon bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota). 1.2. Untuk DIY pengaturan khusus berkaitan 2 hal: 1.2.1. Syarat calon gubernur DIY harus Sultan HB dan calon wagub harus Pakualam. 1.2.2. Mekanisme pencalonan melalui penetapan oleh DPRD DIY dan diusulkan ke Presiden utk ditetapkan dan dilantik.   1.3. Untuk Aceh pengaturan kekhususan berkaitan dg: 1.3.1. Syarat calon gubernur/bupati/walikota dan wakilnya harus fasih membaca Qur'an dan melalui tes baca Qur'an. Hanya saja pengaturannya hanya pd level Qonun Prov Aceh (Perda Prov) dan Qonun Kab/Kota (Perda Kab/Kota), bukan pada level UU. 1.3.2. Parpol lokal Aceh dapat mengajukan pendaftaran calon. Ketentuan ttg syarat pencalonan oleh parpol lokal Aceh mengikuti ketentuan UU Pilkada.   2. Metode Pemberian Suara Untuk Papua Pilkada Gubernur/Bupati/Walikota dan wakilnya digunakan metode noken utk daerah2 tertentu. Pengaturan ttg noken pada level PKPU dan penentuan daerah yg pake noken menggunakan SK KPU Prov Papua, bukan pada level UU.   3. Formula Pemilihan Formula pemilihan utk Pilkada DKI Jakarta kekhususannya adalah pemenang pilkada harus memperoleh suara sah lebih dari 50% (>50%) suara sah. Bila tidak terdapat calon yg memperoleh suara lebih dari 50% (>50%) suara sah (suara terbanyak mayoritas), maka digelar pilkada putaran kedua yg diikuti oleh calon yg memperoleh suara terbanyak peringkat pertama dan kedua. Formula pemilihan utk pilkada putaran kedua adalah pemenang harus memperoleh lebih dari 50% (>50%) suara sah.    Berdasarkan hal tsb, maka dapat disimpulkan bahwa kekhususan Pilkada di daerah istimewa/khusus (Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua) hanya pada aspek strategis pilkada sbgmn dijelaskan tsb di atas.   Berkaitan dg waktu penyelenggaraan pilkada berikutnya bagi daerah istimewa/khusus yg Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 (Aceh, DKI Jakarta, DIY, dan Papua), tentu berlaku ketentuan umum pilkada sbgmn diatur dalam Pasal 201 ayat (3), (5), (7), (8), (9) UU 10/2016 ttg Pilkada.   UU 10/2016 ttg Pilkada   Pasal 201   (3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022. (5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023. (7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. (8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. (9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.   Demikian pendapat dan penjelasan saya. Semoga manfaat.   Hasyim Asy'ari Anggota KPU


Selengkapnya