Opini

110

Pemilu Dan Spirit Kemerdekaan

PEMILU DAN SPIRIT KEMERDEKAAN Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang   Martabat Indonesia dimuliakan oleh jerit perih para Kusuma yang perlaya. Mereka yang tumbang di garis pertempuran. Juga dilindas kejamnya perlawanan terhadap penjajahan. Tak semua bangsa di dunia memiliki kehebatan seperti kita. Memperoleh hak dasarnya sebagai bangsa merdeka dengan jalan perang! Tetapi juga tak boleh mengabadikan jalan konflik fisik bersenjata secara terus menerus. Bahkan sejatinya, perang adalah ultimum remedium (jalan akhir, ketika semuanya terkunci). Fitrah asli manusia, termasuk rakyat Indonesia, adalah melakoni jalan hidup dengan damai, harmoni, serta produktif. Meski secara naluriah, pergaulan sesama manusia dan sesama bangsa, selalu pekat dengan nuansa konflik, persaingan, dan kompetisi. Lebih-lebih di medan politik, yang selalu terjadi perguliran kekuasaan. Di era purba, perang selalu menjadi modus vivendi (cara bertahan hidup). Sementara alam modern mengantarkan manusia pada pilihan damai. Yakni dengan cara negosiasi, kompromi, resolusi dan manajemen konflik. Termasuk dalam perkara perebutan atau pergantian kekuasaan. Alternatif untuk melakukan sirkulasi, rotasi, serta pergantian kekuasaan, dilakukan dengan cara-cara beradab. Salah satunya dengan melakukan Pemilihan Umum. Inilah sesungguhnya nilai dasar Pemilu, yakni melembagakan konflik dan kompetisi. Kompetisi sengit antar kubu untuk bertarung dalam jabatan politik, dilembagakan atau disalurkan dengan prosedur demokratis. Menyingkirkan pola-pola tribal (kasar), seperti kudeta, pembunuhan politik, perpecahan kelompok, dan konflik berdarah. Dengan demikian, garis sambung antara Pemilu dan Kemerdekaan adalah menjaga martabat. Agar bangsa ini mampu menikmati harkat sebagai manusia merdeka, tanpa ketakutan perampasan, pembunuhan, pendholiman, dan angkara murka. Pemilu menjadi jaminan, bahwa sampai kapanpun, anak bangsa berkesempatan menentukan nasib politik denga cara sangat mudah, tetapi juga bebas. Dengan Pemilu, perguliran kekuasaan bahkan ditentukan oleh mereka yang terbaring lemah di rumah sakit (karena dilayani petugas KPPS yang datang membawa surat dan kotak suara). Tak terbayangkan, jika Indoesia tak melembagakan kompetisi politik dengan Pemilu. Barangkali nasibnya akan lebih sadis tinimbang negara-negara timur tengah yang tak henti bertarung senjata. Mengapa? Pertama, kekuatan politik di Indonesia begitu beragam, tersebar di berbagai kutub, terpecah ke dalam berbagai spektrum ideologis. Tanpa Pemilu, semua fragmen politik ini akan terpecah belah, karena kehilangan tali pemersatu (dalam hal ini partai politik peserta Pemilu). Kedua, wilayah territorial yang begitu luas yang konsekuensinya butuh mobilisasi militer yang bermodal mahal. Jika pergantian kekuasaan dilakukan tanpa Pemilu, maka satu-satunya kekuatan yang bisa membungkam adalah dominasi militer. Ketiga, selain berbeda kultur, rakyat Indonesia juga memiliki preferensi dan aspirasi ideologis yang tidak tunggal, alias cukup beragam. Tanpa Pemilu, aspirasi akan dilakukan anarkis, tirani mayoritas, lalu menimbulkan perlawanan terbuka dari golongan yang merasa terpinggirkan. Bersyukur, modus operandi kekuasaan di tanah air memiliki saluran yang damai, yaitu melalui Pemilihan Umum, yang dilangsungkan sedara regular, saban lima tahun. Dan tahun depan, berlangsung di 14 Februari 2024.  


Selengkapnya
315

Pelayanan Pindah Memilih Dan Strategi KPU Kabupaten Tangerang

PELAYANAN PINDAH MEMILIH DAN STRATEGI KPU KAB TANGERANG Oleh: Endi Biaro Koordinator Divisi Data dan Informasi, KPU Kab Tangerang Total Pemilih di Kabupaten Tangerang, mencapai 2.353.822 pemilih. Angka ini terbilang raksasa. Jauh di atas rata-rata wilayah lain (terutama di luar Jawa). Sebagai ilustrasi, total pemilih di salah satu kelurahan dan desa di Kabupaten Tangerang, melampaui total pemilih di Kota Solok (Sumbar) dan Kota Sabang (Aceh). Besarnya jumlah DPT itu, tentu mengandung konsekuensi di berbagai hal. Termasuk dampak turunan yang mengiringi. Misalnya soal validitas data. Analisis kegandaan pemilih. Pemetaan lokasi TPS. Penyisiran pemilih yang tak memenuhi syarat, dan lain-lain. Dampak turunannya: resiko pengadaan logisitik, distribusi perlengkapan TPS, penyediaan sumber daya, kerumitan rentang kendali, dan kesalahan lain yang sifatnya human eror. Permasalah ini, berlanjut dengan kerumitan lain, yakni akan hadirnya pemilih pindahan (DPTb). Sebagai daerah megapolitian, menjadi kawasan penyangga Ibukota Jakarta, atau beberapa titik yang disebut kota satelit, maka dipastikan akan banyak permintaan pindah memilih ke Kabupaten Tangerang. Begitu banyak tenaga kerja dari luar, yang menetap, dan di hari H Pemilu nanti pindah memilih di Kabupaten Tangerang. Konsentrasi warga pindah memilih tersebar di beberapa lokasi. Paling banyak adalah di Kawasan industri (seperti Pasar Kemis), kawasan perumahan elit dan besar (seperti Citra Raya), daerah padat apartemen (seperti di Sampora Cisauk), sekitaran kampus (seperti UPH Lippo Karawaci), dan wilayah strategis serta padat lainnya. KPU Kab Tangerang telah memerinci delapan belas titik yang potensial terjadi pembesaran angka pemilih kategori DPTb. Ke delapan belas titik ini, rata-rata memang kawasan pemukiman dan perumahan. Termasuk di pemukiman level elit, seperti apartemen, kondominium, kluster elit, atau real estate. Juga di perumahan level menengan bawah. Problemnya, meski lama mukim di Kab Tangerang, mereka adalah para pekerja komuter, bolak balik dari lokasi kerja ke domisili asal. Atau juga warga yang jauh, tetapi mengontrak, kost, atau menyewa rumah dan apartemen. Jadi mereka tak sempat mengurus alamat dan pindah domisili. Artinya, mayoritas pemilih ini, adalah warga luar Tangerang, yang terdaftar di DPT luar, dan di hari H Pemilu akan memilih di Kabupaten Tangerang. Dalam nomenklatur Pemilu, ini disebut dengan DPTb (daftar pemilih pindahan). Persoalan Tak mudah melayani potensi pembesaran pemilih pindahan ini. Problem mendasar: memastikan warga luar yang akan pindah memilih bersedia mengurus dan mendaftarkan diri, sebelum Pemilu. Mereka kerap hanya datang di saat pemungutan suara dilakukan. Ini jadi kerumitan tersendiri. Terjadi debat dan percekcokan antara pemilih dan KPPS. Di satu sisi, mereka warga negara Indonesia yang punya hak pilih. Tetapi petugas KPPS akan menolak melayani, jika warga itu belum terdaftar di DPT, atau terdaftar di DPT asal lokasi mereka. Persoalan lain, potensi penumpukan pemilih pindahan di satu TPS tertentu. Petugas KPPS kewalahan, untuk mengecek, memvalidasi cek DPT online, dan menyediakan surat suara. Resiko besarnya pemilih pindahan juga adalah dalam hal merelokasi pemilih ke TPS yang masih kosong. Jika di sekitaran masih ada slot untuk pemilih, maka akan mudah. Tetapi jika sulit, tentu jadi soalan besar. Konflik Konflik terjadi di hari H, karena pemilih terkena hoax (atau kabar bohong). Bahwa siapa saja dengan bermodalkan KTP elektronik, bisa bebas memilih di mana saja. Maka berduyun-duyun warga non Kabupaten Tangerang, datang ke TPS minta dilayani. Padahal ini tak benar. Petugas KPPS berhak menolak. Karena pemilih KTP elektronik bisa memilih, tetapi di lokasi TPS sesuai alamat asal mereka. Dalam istilah Pemilu, mereka disebut Daftar Pemilih Khusus. Pemantik keributan lain adalah warga luar, yang pasif dan diam, tidak mengurus perpindahan memilih. KTP mereka dari luar, dan tercantum di DPT luar. Mestinya, jika mereka mengurus sebelum hari H, maka mereka terlayani dengan baik. Masalahnya, jika mereka hanya datang di hari Pemilu, dan sebelumnya tak mengurus pindah memilih, maka problem multitafsir bermunculan. Karena jika mereka terkategori DPTb, maka syarat DPT asal harus dihapus (sementara waktu sudah tak mungkin lagi untuk menghapus di Sidalih). Di sisi lain, jika ditolak, kerap muncul kericuhan. Di sini KPU mengambil garis tegas, bahwa pemilih yang dari luar, yang beridentitas KTP luar, akan ditolak. Kecuali, warga luar yang pindah domisili, sudah memiliki KTP di Kab Tangerang, maka akan dilayani di lokasi TPS. Solusi Meski rumit, tetapi ada kabar baik. Pertama, KPU punya rentang waktu pelayanan cukup panjang. Kedua, penghitungan dan rekap data pemilih tambahan bisa terdeteksi jauh-jauh hari. Ketiga, cadangan surat suara juga banyak. Keempat, masih ada kesempatan menyisir TPS yang memiliki kuota DPT di bawah 270 per TPS. Kelima, sosialisasi dan pelayanan sudah gencar dilakukan.


Selengkapnya
196

Perang Isu DPT Pemilu Dan Antisipasi KPU

PERANG ISU DPT PEMILU DAN ANTISIPASI KPU Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab. Tangerang   Paska penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap) oleh KPU RI, maka perang opini akan segera muncul. Berkaca pengalaman Pemilu 2019, begitu banyak kontroversi lahir. Bebarapa bahkan membuat kerepotan KPU RI (tercatat tiga kali terjadi perubahan DPT). Sisanya yang lain, adalah tekanan publik yang cukup mengganggu. Bagaimana pola, dampak, serta jalan ke luar KPU menghadapi hal ini? Perang opini terkait validitas DPT sejatinya memag bisa dimaklumi. Mengelola ratusan juta data bukan hal mudah, banyak celah terbuka terjadinya kesalahan. Lagipula, sifat data pemilih dinamis serta dialektis. Tidak ajeg. Kalaupun ada standar dan ketetapan, itu dalam konteks regulasi dan instrument hukum. Pun dengan perkara kepercayaan para pihak. Kerap lahir asumsi sumir, bahwa terjadi permainan dalam pengelolaan data. Sejatinya, kecurigaan ini bagian dari rangkaian public distrust (kecurigaan publik), terhadap KPU. Meski faktanya, segala tuduhan sering tak terbukti. Seperti di Pemilu 2019, yang terjadi klaim adanya jutaan orang asing yang tercantum di DPT. Atau 19 juta lebih pemilih invalid, serta jutaan pemilih ganda. Rangkaian lain, yang bermunculan dari isu DPT adalah soal koordinasi, keselarasan, dan harmoni antas sesama stakeholders. Kerap terjadi perbedaan versi, antara KPU, Bawaslu, dan Pemerintah (Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil). Kasemua hal itu, juga menjadi gorengan para pihak. Mereka menyebar pesan massif, kebanyakan adalah konten dusta (hoax), hingga akhirnya isu DPT yang sejatinya adalah kuantitatif dan terukur, menjadi seolah penuh manipulasi. KPU berada dalam pihak yang pro aktif terhadap berbagai narasi besar soal hak pilih. Lantaran ini amanat konstitusi, mengamankan hak warga negara untuk dapat memilih (sejauh sesuai syarat yang berlaku). Boleh dibilang, terjadi langkah fleksibel guna mengantisipasi pelbagai kemungkinan. Langkah terukur KPU, bekerja dalam beberapa aspek. Pertama, menerapkan sistem berbasis teknologi informasi, yakni Sidalih, sebagai perangkat yang mampu mengecek data pemilih secara akurat, terkini, partisipatif dan terbuka. Kedua, memberlakukan mekanisme Daftar Pemilih Berkenaljutan, sebagai bahan dasar olahan menuju DPT. Ketiga, kecepatan dalam memeriksa problem data menjadi jauh lebih baik. Mengecek data ganda, data tak memenuhi syarat, lebih cepat dan akurat. Keempat, ini yang lebih penting, KPU juga melahirkan berbagai regulasi dan instrumen hukum, guna menyesuaikan kebutuhan faktual dalam melayani hak pilih. Saat ini malah tersedia berbagai kanal (saluran) tambahan, guna melayani warga negara dalam memiliki hak pilih. Selain melalui kanal DPT (artinya warga negara sudah dilakukan Coklit, sahih, dan terdaftar), jua ada saluran DPTb (jika mereka berniat pindah memilih), serta DPK (daftar pemilih khusus, untuk mereka yang tidak terdaftar di DPT dan DPTb, tetapi memiliki KTP elektronik). KPU juga berperan pro aktif, menjemput bola, guna melayani hak pilih yang terkonsentrasi di suatu tempat, yaitu menyediakan Lokasi Khusus. Area ini dibuat, di lokasi yang menampung banyak warga negara berusia hak pilih dan terdaftar di DPT, namun tidak bisa memilih di lokasi asal mereka. Seperti di pertambangan, kilang laut lepas, rumah sakit, kampus, pondok pesantren, atau perusahaan besar. Ini adalah antisipasi teknis yang melibatkan pihak luar. Sementara pembenahan internal juga dilakukan ketat. KPU memastikan tersedia SDM penyelenggara yang siap, di semua jenjang. Dengan intensitas tinggi melakukan pelatihan, bimbingan, pertemuan, dan sosialisasi.


Selengkapnya
734

Perihal Pilkada Daerah Istimewa dan Daerah Khusus: Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua

Tigaraksa, (www.kpu-tangerangkab.go.id) -  Pada prinsipnya dikenal ada 2 konsep otonomi daerah: simetri dan asimetris. Indonesia menganut otonomi simetris sbgmn diatur dalam UU 23/2014 ttg Pemda. Namun demikian Indonesia juga menganut otonomi asimetris utk daerah istimewa dan daerah khusus sbgmn amanat UUD 1945 yg diatur dalam UU DKI Jakarta, UU Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua. Dalam konteks perUUan dikenal azas lex specialis derogat legi generalis. Dalam konteks otonomi daerah, UU Pemda adalah lex generalis dan UU Daerah Istimewa/Khusus adalah lex specialis. Dalam konteks Pilkada, UU Pilkada (UU 1/2015, UU 8/2015, UU 10/2016) adalah lex generalis utk mengatur pilkada di semua daerah (provinsi dan kab/kota) di Indonesia. Demikian pula UU ttg daerah istimewa/khusus adalah lex specialis utk pilkada di daerah istimewa/khusus.   Sistem pemilu/pilkada memiliki 4 aspek strategis, yaitu: 1. Daerah pemilihan dan alokasi kursi. 2. Mekanisme pencalonan. 3. Metode pemberian suara. 4. Formula pemilihan.   Berdasarkan 4 aspek strategis pilkada tsb berlaku utk semua daerah dalam pilkada sbgmn diatur dalam UU Pilkada.   Namun demikian terdapat perlakuan khusus utk daerah istimewa/khusus, yaitu:   1. Mekanisme Pencalonan 1.1. Untuk Papua terdapat pengaturan khusus ttg syarat calon gubernur dan wakil gubernur yaitu harus orang Papua Asli atau dinyatakan sbg orang Papua Asli oleh MRP (ketentuan ini hanya berlaku utk calon gubernur dan wakil gubernur saja, dan tidak berlaku utk calon bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota). 1.2. Untuk DIY pengaturan khusus berkaitan 2 hal: 1.2.1. Syarat calon gubernur DIY harus Sultan HB dan calon wagub harus Pakualam. 1.2.2. Mekanisme pencalonan melalui penetapan oleh DPRD DIY dan diusulkan ke Presiden utk ditetapkan dan dilantik.   1.3. Untuk Aceh pengaturan kekhususan berkaitan dg: 1.3.1. Syarat calon gubernur/bupati/walikota dan wakilnya harus fasih membaca Qur'an dan melalui tes baca Qur'an. Hanya saja pengaturannya hanya pd level Qonun Prov Aceh (Perda Prov) dan Qonun Kab/Kota (Perda Kab/Kota), bukan pada level UU. 1.3.2. Parpol lokal Aceh dapat mengajukan pendaftaran calon. Ketentuan ttg syarat pencalonan oleh parpol lokal Aceh mengikuti ketentuan UU Pilkada.   2. Metode Pemberian Suara Untuk Papua Pilkada Gubernur/Bupati/Walikota dan wakilnya digunakan metode noken utk daerah2 tertentu. Pengaturan ttg noken pada level PKPU dan penentuan daerah yg pake noken menggunakan SK KPU Prov Papua, bukan pada level UU.   3. Formula Pemilihan Formula pemilihan utk Pilkada DKI Jakarta kekhususannya adalah pemenang pilkada harus memperoleh suara sah lebih dari 50% (>50%) suara sah. Bila tidak terdapat calon yg memperoleh suara lebih dari 50% (>50%) suara sah (suara terbanyak mayoritas), maka digelar pilkada putaran kedua yg diikuti oleh calon yg memperoleh suara terbanyak peringkat pertama dan kedua. Formula pemilihan utk pilkada putaran kedua adalah pemenang harus memperoleh lebih dari 50% (>50%) suara sah.    Berdasarkan hal tsb, maka dapat disimpulkan bahwa kekhususan Pilkada di daerah istimewa/khusus (Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua) hanya pada aspek strategis pilkada sbgmn dijelaskan tsb di atas.   Berkaitan dg waktu penyelenggaraan pilkada berikutnya bagi daerah istimewa/khusus yg Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 (Aceh, DKI Jakarta, DIY, dan Papua), tentu berlaku ketentuan umum pilkada sbgmn diatur dalam Pasal 201 ayat (3), (5), (7), (8), (9) UU 10/2016 ttg Pilkada.   UU 10/2016 ttg Pilkada   Pasal 201   (3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022. (5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023. (7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. (8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. (9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.   Demikian pendapat dan penjelasan saya. Semoga manfaat.   Hasyim Asy'ari Anggota KPU


Selengkapnya