Opini

344

Olah Data Pemilih: Sidalih Pantang Berdalih

Olah Data Pemilih: Sidalih Pantang Berdalih   Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab Tangerang   Mengelola Data Pilkada tak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara biasa.  Melainkan butuh piranti tambahan, berbasis digital, berjejaring,  mudah diakses dan pemrosesan cepat. KPU menggunakan Teknologi Informasi Pengolahan Data Pemilih. Termasuk dalam urusan Pilkada. Disebut dengan Sidalih (Sistem Informasi Data Pemilih). Infrastruktur teknologi ini benar-benar membantu di semua lini. Bermuara pada terpenuhinya asas olah data pemilih. Yakni akurat, menyeluruh, terkini, juga terkontrol. Hasil kerja Sidalih pun berhasil mendorong partisipasi publik secara massif. Lantaran warga biasa bisa mengecek langsung, ada di daftar pemilih atau tidak. Cukup dengan rebahan di rumah, sembari buka HP. Sidalih juga membantu percepatan analisis data, agar lebih akurat dan tak tumpang tindih. Misalnya dalam melakukan analisis kegandaan, validasi (pengecekan), plus pembersihan data kotor, bisa dilakukan segera. Fungsi turunan Sidalih juga terbilang istimewa. Mengintegrasikan totalitas komponen kepemiluan. Satuan kebutuhan data logistik, peta TPS, estimasi biaya, sampai aspek pelayanan KPU, berbasis pada olah data Sidalih. Salah satu aspek digitalisasi Pemilu dan Pilkada, hadir dalam Sidalih. Lalu jika sedetil itu, mengapa masih banyak masalah dalam isu daftar pemilih? Hingga detik ini, percakapan publik tak jauh dari soal:  nama pemilih hilang; almarhum yang masuk data pemilih; warga yang terdaftar ganda; anak muda di bawah umur tercatat; pemilih baru tak masuk daftar; hingga soal tuduhan penggelembungan atau pemangkasan data hak pilih. Penyebabnya multi faktor. Dalam teknologi proses data, ada istilah Gigo, alias garbage in garbage out (data sampah akan ke luar sebagai sampah). Sidalih adalah mesin pengolahan data. Jika sumber awal bahan data semrawut, maka resiko keluaran data akan rendah kualitas. Sumber data olahan Sidalih, datang dari atas dan bawah. Dari atas adalah bersumber dari data kependudukan. Dari bawah datang dari Coklit oleh pemilih. Dua sumber data ini yang niscaya menimbulkan "selisih" data yang problematik. Ambil misal, data dari Catatan Sipil yang tak aktual sekaligus tidak faktual. Nama orang wafat masih muncul, padahal bukti aktual dan faktual, orangnya sudah tak ada. Catatan sipil sulit merevisi, karena tak ada laporan dari siapapun. Bahan dasar data ini  yang kemudian dibilas dibersihkan oleh Sidalih, melalui metode Coklit para Pantarlih. Hanya, saking banyak besaran data, ada potensi akurasi rendah.   Di lapangan, KPU sampai Pantarlih, punya solusi jitu, cukup keterangan dari Desa atau Kelurahan, untuk menghapus nama almarhum dari daftar pemilih. Perlu diingat informasi dari Catatan Sipil adalah dokumen kependudukan,  bukan data pemilih. Semua itu menjadi data pemilih saat KPU bekerja melakukan penyortiran. Faktor berikut yang mengganggu kualitas data di Sidalih adalah hasil kerja Pantarlih. Di lapangan, masih terjadi pengecekan data di atas meja. Pantarlih malas menemui, melihat dokumen pemilih, dan memeriksa rumah ke rumah. Mereka merasa kenal dan hapal dengan penduduk sekitaran. Padahal, selalu ada dinamika baru di kalangan warga. Semisal dari warga biasa menjadi TNI Polri, atau sebaliknya. Juga ada warga yang berhak jadi pemilih baru. Juga warga yang sudah pindah KTP (domisili).  Metode Coklit (pencocokan dan penelitian) oleh Pantarlih, wajib head to head, sensus langsung. Tapi karena tak dilakukan, maka hadirlah data serampangan. Cara kerja di atas meja ini yang kemudian merepotkan PPS, karena begitu rendah akurasi data. Bahkan kerap terjadi, nama pemilih salah ketik, NIK beda nomor, dan akhirnya tak bisa masuk sebagai hak pilih. Singkat cerita, sebagai sistem, Sidalih memiliki fitur dan menu yang lengkap. Tapi karena pengerjaan yang tak detil, maka ada residu (sisa) data bermasalah. Termasuk: pemilih sekeluarga namun   terpisah TPS. Beruntung KPU memiliki tahapan berlapis, sebagai kanalisasi (jalan ke luar) perbaikan. Yakni dengan perbaikan DPS (Daftar Pemilih Sementara) sebelum ke DPT (Daftar Pemilih Tetap). Ruang perbaikan ini memungkinkan ceceran data pemilih diperiksa ulang, sekaligus, menampung tanggapan masyarakat. Juga kontrol atas temuan Bawaslu atau Panwas.  Untungnya lagi, KPU memiliki pasukan di setiap jenjang, mulai dari lokasi TPS (oleh  Pantarlih), di Desa Kelurahan (PPS), sampai PPK di kecamatan. Mereka bertugas khusus, baik di lapangan atau di sistem Sidalih. Kerja mereka terbilang berat. Tak semata olah data di depan layar komputer. Tetapi juga kerja lapangan. Melakukan kontrol, supervisi, perbaikan, sekaligus analisis. Sudah tentu, operator Sidalih wajib kerja rapih, pantang berdalih. Semoga....


Selengkapnya
107

Problema Olah Data di Pilkada

Problema Olah Data di Pilkada   Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab Tangerang   Tak lama lagi KPU melakukan proses pemutakhiran data pemilih. Tahapan ini dilakukan berlapis.  Melalui metode manual, digital, dan juga verifikasi internal. Kerja manual misalnya sensus langsung menemui pemilih, rumah ke rumah. Metode ini tenar disebut Coklit, pencocokkan dan penelitian. Dilakukan oleh Pantarlih (Petugas Pemutakhiran Data Pemilih). Sementara operasi digital, memeriksa, menyandingkan, sumber data pemilih, yang berasal dari Dukcapil, data pemilih berkelanjutan, dan DPT Pileg terakhir. Hasil akhirnya adalah daftar pemilih yang akan diperiksa. Sementara olah data internal adalah untuk meletakkan jumlah TPS yang dibutuhkan. Pekerjaan ini samasekali tak sederhana. Melibatkan ribuan orang, waktu yang lama, proses ketat, dan bahkan diawasi oleh Bawaslu. Di sisi lain, pemutakhiran data pemilih oleh KPU terikat berbagai prinsip. Seperti komprehensif (menyeluruh, semua warga yang layak jadi pemilih di data, termasuk kalangan marginal dan disabilitas), akurat, terbuka, partisipatif (bekerjasama dengan aneka kalangan), serta mutakhir (terkini). Semua itu guna mewujudkan dua perkara. Yakni pertama, memastikan orang yang memenuhi syarat harus masuk dalam daftar pemilih. Seraya yang kedua, menghapus nama yang tak memenuhi syarat pemilih. Selain problem teknis yang terurai di atas, olah data hak pilih kerap terganggu oleh aspek psiko sosiologis, alias karakter masyarakat. Di pedesaan, masih kurang kesadaran melengkapi jati diri warga negara sesuai kaidah administratif. Banyak warga yang tak punya KTP bahkan KK. Atau perpindahan alamat yang tak dilaporkan. Belum lagi, warga yang wafat tapi tak diurus keterangan kematian oleh keluarganya. Semua hadangan ini, menjadi kerja tambahan bagi para petugas pendataan. Kasus warga wafat yang tak dicatat di Dukcapil misalnya, menjadi penyebab data pemilih kotor, harus dibersihkan. Pun dengan warga dewasa yang minus identitas, sulit untuk dimasukkan ke daftar pemilih. Sementara di perkotaan, petugas pendataan direpotkan untuk menemui langsung pemilih. Terutama yang mukim di apartemen, cluster elit, dan kos-kosan. Ditambah, dalam konteks Pilkada, selera warga kota untuk jadi pemilih, terbilang rendah. Kendala yang terurai di atas, meniscayakan adanya hak pilih yang tercecer. Alias tak masuk daftar pemilih tetap. Olehnya, KPU membuka ruang lanjutan. Dengan opsi pendaftaran berikutnya, yakni DPTb (Daftar Pemilih Tambahan) dan DPK (Daftar Pemilih Khusus). Dua skema ini menjadi saluran extra bagi warga, agar mereka tetap berkesempatan memilih. Bila kemudian berbagai strategi KPU itu masih menyisakan residu, alias data yang tak benar-benar bersih, maka itu terjadi karena faktor teknis dan bukan politis.


Selengkapnya
96

"Pilkada Wujud Demokrasi Negara"

Indonesia merupakan negara demokrasi konstitusional sebagaimana termaktub dalam nokhtah konstitusi bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD."  Dalam paradigma itu, pelaksanaan kedaulatan rakyat dibingkai dan diwarnai dalam kerangka konstitusi. Konstitusi menjadi pemandu dan acuan bagaimana demokrasi pada pilkada diinstrumentasikan. Pilkada di Indonesia adalah sebuah hajat demokrasi yang melibatkan sumber daya sangat besar. Bukan permasalahan yang mudah mengelola hampir 200 juta pemilih, 5 juta penyelenggara pemilu, setengah juta TPS, tersebar luas dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur dengan beragam persoalannya. Sumber daya yang sedemikian besar tersebut, apabila dikelola secara baik akan pula menghasilkan demokrasi elektoral terbesar dan menuai kesuksesan mengantar Indonesia sebagai negara terbesar yang sukses menyelenggarakan pemilu secara langsung dan serentak di seluruh penjuru tanah air.  Penggunaan kecanggihan teknologi informasi selain menjawab kebutuhan masyarakat akan informasi mutakhir, selain itu juga memudahkan KPU  melakukan koordinasi dan monitoring terhadap kerja-kerja tahapan Pemilu yang dilakukan oleh KPU/KIP Provinsi dan Kabupaten/Kota dan badan ad hoc agar tercipta gerak langkah yang seragam dan padu padan. Pilkada (pilgub dan/atau pilbub/pilwakot) adalah salah satu dari banyaknya pembelajaran demokrasi untuk masyarakat daerah dan sekaligus guna mewujudkan hak esensial individu, (1) kesamaan hak politik, dan (2) kesempatan bagi setiap orang dalam pemerintahan daerah.  Pilkada langsung dimaksudkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, sehingga akses serta kontrol masyarakat terhadap arena dan aktor yang terlibat menjadi sangat amat kuat. Memilih pemimpin merupakan kewajiban guna menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Dalam hal ini pilkada yang diselenggarakan bulan November 2024 merupakan euphoria masyarakat daerah dengan harapan mewujudkan demokrasi negara dan mewujudkan harapan masyarakat demi tercapainya nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara. Dedi Irawan, S.HI., M.H Kadiv. Hukum dan Pengawasan


Selengkapnya
110

Bismillah... Pilkada Bergerak!

Bismillah... Pilkada Bergerak! Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang Selebrasi politik paling riuh rendah saat ini adalah Pilkada. Percakapan khalayak kian berisik.  Tatapan  visual serta konten digital, berderet-deret dengan pelbagai pencitraan. Menyeruak pula  informasi dari segala  pojok. Meski pusaran tema larinya ke itu-itu juga. Jika perhelatan Pilkada adalah panggung showbiz, maka prosesinya (kurang lebih) seperti ini... Layar dibuka. Lampu sorot tertuju pada kursi singgasana. Lantas muncul aktor utama. Meletuplah terompet penyambutan. Penonton berjejingkat girang. Lalu, semua berlalu.  Sedemikian ringkas adegan, jika kontestasi Pilkada berhenti hanya sebagai pesta. Lantaran mengabaikan aneka perkara yang sesungguhnya penting. Publik luas mengunyah ampas politik, dan tak sempat mencicipi suguhan bermutu. Mestinya suguhan Pilkada berjenis-jenis rupa. Mulai dari menu pencerdasan nalar, tertib hukum, profesionalitas penyelenggara, partisipasi publik, kualitas demokrasi, kesetaraan warga negara, sampai ke urusan efisiensi anggaran. Elemen di atas, sesungguhnya adalah prioritas. Lantaran melibatkan seluruh rakyat. Sayangnya, urusan Pilkada semata berpusar pada:  kandidat; agenda partai; serta konflik pertarungan.  Kesemuanya lekat dengan praktek adu kuat, muslihat, serta saling jerat. Algoritma percakapan publik laiknya kita geser ke   narasi berisi. Semisal membincang soal posisi publik dalam kompetisi Pilkada. Struktur publik, terbagi dalam posisi kelompok penekan (seperti mahasiswa, LSM, pegiat sosial, dan aktivis). Komunitas ini disebut sebagai pressure group. Juga kelompok kepentingan, seperti kalangan pebisnis, dunia usaha, dan kaum profesional. Mereka ini disebut vested interest. Lalu ada juga kelompok elit pengambil keputusan, atau public policy. Nah, di setiap kelompok itu, banyak narasi yang bisa digelorakan. Jadi tak berkutat dengan fitnah, olok-olok, atau kebohongan. Di bagian kelompok penekan, mestinya perbincangan lebih variatif. Lantaran mahasiswa dan anak muda bisa memainkan peran. Mereka bisa menghunus isu tajam, agar Pilkada berlangsung bersih dan beradab. Mereka juga bisa berkiprah sebagai pengamat, pengkritik, atau bahkan penyelenggara. Sementara kaum pebisnis dan profesional, bisa mencerdaskan publik, dengan wacana Pilkada cerdas. Semisal merumuskan aneka problem, gagasan, dan solusi atas masalah daerah (yang akan disodorkan ke Calon). Sementara kalangan pengambil keputusan, memainkan peran vital, agar Pilkada lancar. Jika itu yang terjadi, maka Pilkada Bergerak ke arah tepat.


Selengkapnya
79

Jalan Pedang atau Pecundang? Membincang KPPS

Jalan Pedang atau Pecundang? Membincang KPPS Jika penguasa lewat, membungkuklah, lalu... kent#t.  Satir pedas ini telah lama tenar, berasal dari belahan Afrika sana. Namun jika ditarik ke pelbagai perkara, maka pas juga dipakai.  Urusan heboh KPPS, sebagai petikan contoh, yang dimainkan di Medsos, sejatinya bagian dari melepas kepenatan.  Netizen seolah menemukan saluran buang angin bersama. Demi sesaat membuang penat dan kejenuhan. Utamanya di urusan politik Pemilu. Seumumnya buang angin, maka memantik gaduh. Meski tentu tak akan lama. Ini baru satu sisi. Mari kita kuliti. Aneka faktor non lelucon di balik KPPS. Bahwa ada jutaan orang kini menyandang label ini. Seraya berani menadah resiko. Di 2019 bahkan 786 orang perlaya.  Hari ini pun di Kab Tangerang aib mencuat. Bersumber dari tata kelola dan pengorganisasian makanan ringan (yang terlalu lambat, tak enak, dan membuat marah khalayak). Di balik itu, ada rahasia besar yang jarang dipercakapkan. Jutaan petugas KPPS adalah booming kesadaran partisipatif. Jangan melulu orang ikut di situ karena godaan honor sejutaan. Jumlah itu seserpih kuku saja. Tak imbang dengan beban kerja setingkat romusha. Sebuah riset menyebut, proporsi tugas KPPS, tak ada banding, tiada banding. Mereka, sebelumnya, berlelah payah mengurus syarat administratif yang tak sedikit. Lalu ikut dilantik. Kemudian terlibat Bimtek.  Dan, di hari-hari jelang Pemilu, tumpukan kerjaan wajib diselesaikan.  Mengedarkan undangan Pemilih; siapkan lokasi TPS beserta sarana prasarana; mengatur logistik; melayani pemilih; menghitung; dan lainnya. Cek saja, semua ini tak selesai sehari. Belum lagi jika memasukkan unsur-unsur baru yang ada di Pemilu 2024. Beberapa KPPS, harus melek digital. Nah, uraian ini membuktikan pokok perkara. Bahwa bagus saja membincang KPPS dari sisi guyon dan "snack tak ada". Namun jangan lupa, mereka akan menyelesaikan pekerjaan raksasa.  Melayani 200an juta hak pilih. Seraya menjadi bagian dari momentum bersejarah. Yakni menyukseskan Pemilu terbesar dan terumit sedunia. Bisa jadi, sebagian orang memilih jalan pecundang dalam Pemilu ini.  Tetap tunggu juga, kami yang mengambil jalan pedang! Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang.


Selengkapnya
729

Sirekap dan Pertaruhan Gengsi KPU

Sirekap dan Pertaruhan Gengsi KPU Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang   Di Pemilu 2019, terjadi  political distrust (ketidakpercayaan politik) terhadap KPU. Lembaga penyelenggara ini dibombardir kanan kiri depan belakang. Rudal serangan menyasar ke banyak pojok. Terutama soal Situng (Sistem Informasi Penghitungan), yang dianggap banyak salah input, tidak sinkron (antara versi Situng dengan C1 di TPS), juga kelambatan proses unggah data. Khalayak luas pun nyaris pesta pora melontarkan tuduhan, plus olok-olok. Bahkan Bawaslu meminta Situng dihentikan. Perkara ini, jadi salah satu evaluasi KPU, untuk kemudian melakukan perbaikan. Solusi terkini, menggunakan Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi). Pergantian ini tak semata artificial, hanya ganti nama, dan  perbaikan recehan. Melainkan penggantian sistem dan metode. Formulasi Sirekap jauh lebih progresif dibanding pola penghitungan sebelumnya. Diukur dari segala aspek, digitalisasi Sirekap lebih canggih. Muara tujuan dari teknologi Real Count KPU ini adalah menghadirkan visualisasi data penghitungan suara yang lebih otentik (paling asli), lebih akurat (kesalahan sedikit), lebih cepat (by pass dari TPS ke tabulasi KPU), lebih moderen (memakai AI alias mesin pintar), dan lebih sederhana (dari TPS ke media centre KPU). Penjelasannya: basis dokumen yang direkam Sirekap adalah C1 Plano, yang ditulis bersama, dihadiri saksi, dan dibuat lebih awal. Beda dengan Situng, yang berbasis C1 salinan, dibawa ke KPU, dipindai, lalu dientry data. Situng kerap salah input dan gagal membaca data C1 salinan. Artinya, dokumen dasar Sirekap lebih asli, Tinimbang Situng (C 1 salinan dibuat oleh KPPS, yang sudah lelah bekerja, dan energi terkuras). Sirekap juga menawarkan pemrosesan data lebih cepat. Transfer atau pengiriman data sangat segera, dari TPS ke ruang tabulasi KPU (Kabupaten/Kota). Beda dengan Situng, yang pakai pengiriman konvensional, dari TPS dibawa ke KPU, yang mungkin rusak, basah, dan terganggu Paling menonjol, pola rekam dan proses data yang melibatkan AI (Artificial Intelligence), alias kecerdasan buatan. AI akan menerjemahkan dokumen C1 menjadi hidangan hasil penghitungan. Artinya,     coretan tulisan di C1 Plano akan terbaca akurat. Beda dengan Situng, yang hanya mengandalkan pemindai biasa. Paparan di atas, memang mengulas perspektif digitalisasi Pemilu oleh KPU. Dalam praktek, pasti ada kendala dan hadangan. Namun, dalam Forum Bimtek Sirekap KPU RI di Bandung, 25-28 November ini, KPU menghitung infrastruktur dan daya dukung teknologi informasi di Indonesia, cukup memadai. Jadi Sirekap bisa dilaksanakan.


Selengkapnya