Opini

433

Penyelenggaraan Pemilu Itu Mahal, Tim Sidalih Salah Satu Solusi Hulunya

Penyelenggaraan Pemilu Itu Mahal, Tim Sidalih Salah Satu Solusi Hulunya Oleh Harman Syahri PPK Kecamatan Pasar Kemis   Sura  Sulu, Suara Rakyat Suara Pemilu menjadi maskot pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024. Alhamdulilah pelaksanaanya telah berhasil memfasilitasi terpilihnya presiden dan wakil presiden, anggota legislatif yaitu anggota DPD RI,   DPR RI,  DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota se- Indonesia. Semua itu sebagai perwujudan suara rakyat Indonesia. Pemilu adalah pesta demokrasi. Layaknya sebuah pesta tentulah membutuhkan dukungan anggaran. Semua alat dan bahan dalam prosesi pesta adalah adalah hasil konversi dari angka angka rupiah. semua itu tidaklah gratis, bahkan muncul kritikan dari berbagai kalangan yang menganggap bahwa penyelenggaraan pemilu itu mahal. Pada prinsipnya  siapapun penyelenggara sebuah pesta pasti ingin acara itu meriah dan murah. Namun faktanya pada Pemilu 2024, dalam berita online CNBC Indonesia tanggal 22 Februari 2024, menurut menteri keuangan ibu Sri Mulyani, realisasi anggaran pemilu yang baru saja kita selesaikan untuk Pileg dan Pilpres sampai 12 Februari telah terealisir sekitar Rp 16,5 triliun. Dana sebesar itu tentu saja  digunakan untuk membiayai semua tahapan pemilu, sejak tahapan persiapan hingga rekapitulasi akhir perhitungan suara. Apa sajakah yang membuat dana pemilu menjadi besar? salah satu hal yang paling gampang terlihat adalah jumlah TPS. Semakin banyak jumlah TPS (Tempat Pemungutan Suara)  tentu akan semakin banyak pula KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) beserta logistik dan fasilitas pendukungnya. Pemungutan suara yang diselenggarakan oleh KPPS akan beranggotakan sebanyak tujuh orang terdiri atas satu Ketua KPPS, 6 orang anggota KPPS, dan  ditambah 2 orang dari linmas (Perlindungan Masyarakat). Setiap satu TPS dan KPPS nya akan membutuhkan pembiayaan yang lumayan besar, berupa biaya untuk honorarium, biaya pembuatan TPS, alat dan kelengkapan, termasuk dokumen, operasional dan konsumsi, yang totalnya tentu mencapai jutaan rupiah setiap TPS. Menurut KPU, pada tanggal 2 mei 2024 lalu, Kemendagri sudah memberikan data by name by address sejumlah 207 juta data se-Indonesia. Semua data itu akan diolah dalam Sidalih (Sistem Informasi Data Pemilih) yang dikendalikan oleh KPU. Sidalih adalah layanan pendataan pemilih pemilu. Sistem ini dibuat untuk mempermudah KPU melayani masyarakat agar terjaga hak pilihnya. Karenanya sidalih harus mampu menjalankan fungsi sosialisasi indikatornya mudah diakses; fungsi perekaman data indikatornya  data pemilih terekam dan terlindungi; fungsi pendeteksi data ganda indikatornya sesuai dengan data lapangan. Untuk memastikan semua itu, maka data tersebut diverifikasi langsung melalui proses coklit (pencocokan dan penelitian) oleh Petugas Pantarlih  (Pemutakhiran Data Pemilih). Tim yang tergabung dalam divisi Sidalih diharapkan dapat menciptakan kesamaan data kependudukan antara KPU, Dukcapil, dan Bawaslu. Pada gilirannya diharapkan pemutakhiran data pemilih akan menghasilkan data berkelanjutan. Muara dari semua itu adalah untuk menghasilkan data pemilih yang berkualitas, transparan, aksesibel, sehingga dapat memastikan terlindunginya hak pilih setiap warga negara. Berdasarkan laporan KPU, jumlah TPS untuk Pemilu 2024 sebanyak 823.220 titik. Jumlah TPS Pemilu 2024 terdiri dari 820.161 TPS di dalam negeri dan 3.059 TPS di luar negeri. Provinsi Banten mempunyai sebanyak  33.324 TPS. Khusus kabupaten Tangerang dengan 55 kursi DPRD Kabupaten mempunyai  DPT (Daftar Pemilih Tetap) 2.353.825 orang dan Jumlah TPS 9.016 tempat. Pemilu pilpres dan pileg yang menggunakan total 5 lembar kertas suara menjadi pertimbangan kuat yang mendasari setiap TPS hanya sekitar 300 orang pemilih. Sehingga kalau di hitung jumlah aktivitas pencoblosan di satu TPS kurang lebih terjadi 1.500 kali pencoblosan. Berdasarkan pengalaman pada pemilu pilpres dan pileg bulan februari kemarin , dengan volume coblosan mencapai 1.500 kali pencoblosan terbukti para KPPS masih bisa menyelesaikan secara baik, sesuai jadwal waktu pemungutan dan perhitungan suara. Dalam pemilu kepala daerah kertas suara hanya akan ada dua lembar, yaitu kertas suara pemilihan gubernur, dan kertas suara pemilihan bupati/walikota. Atas dasar itu maka direncanakan pemilih yang akan mencoblos di TPS akan berkisar antara 500 SD 600 orang. Dengan demikian jumlah aktivitas pencoblosan di satu TPS kurang lebih terjadi 1.000 sampai dengan 1.200 kali pencoblosan atau sederhananya pemilih dari dua TPS dijadikan satu TPS. secara volume pencoblosan lebih sedikit dibanding saat pemilu pilpres dan pileg, jadi  secara teknis pelaksanaan sangat mungkin untuk diterapkan.  Langkah ini tentu akan membuat berkurangnya jumlah TPS menjadi kurang lebih setengah dari jumlah TPS saat pemilu presiden dan legislatif. Disinilah peran tim divisi Sidalih menjadi sangat penting, karena harus melakukan pemetaan ulang jumlah dan sebaran TPS, berikut data by name by address para pemilih yang akan mencoblos di TPS tersebut.  Upaya melakukan efisiensi anggaran pemilu kepala daerah dengan mengurangi jumlah TPS akan berdampak langsung pada anggaran berbagai alat, perlengkapan, dokumen, kebutuhan operasional, hingga konsumsi penyelenggaraan pemilu kepala daerah. Disinilah tim penyelenggara pemilu termasuk badan ad hoc khususnya divisi sidalih mulai dari jajaran KPU hingga, PPK, PPS, sampai Pantarlih menjadi penentu jumlah TPS, titik sebarannya, dan menentukan siapa saja pemilih yang memenuhi syarat untuk memilih di TPS tersebut. Keberhasilan menyukseskan upaya efisisensi peyelenggaraan pemilu kepala daerah, akan menjadi ujian bagi para anggota KPU beserta jajarannya termasuk badan ad hoc untuk membuktikan kemampuannya dalam hal penguasaan dan pemahaman wilayah, sekaligus kemampuan pengolahan data dalam perangkat digital.  Tentu saja Pantarlih akan menjadi ujung tombaknya. Kesuksesan membuat pemetaan TPS yang berkurang sekitar setengah dari jumlah TPS saat pemilu pilpres dan legislatif, diharapkan akan berimbas pada berkurangnya kebutuhan dana anggaran penyelenggaraan untuk pemilu pemilihan kepala daerah di masing masing provinsi dan kabupaten/kota. Inilah sedikit upaya divisi sidalih untuk berkontribusi melakukan efisiensi anggaran dari hulu agar terwujud penyelenggaraan pesta demokrasi yang tetap meriah tapi jadi lebih murah. Semoga menjadi amal ibadah. Amin.


Selengkapnya
149

Big Data Pilkada di Tangan Penyelenggara

Big Data Pilkada di Tangan Penyelenggara   Oleh Endi Biaro   Jutaan data pemilih diperiksa langsung. Petugas menemui rumah ke rumah. Mencocokkan nama, memotret dokumen, plus memperbaiki kesalahan. Atau sebaliknya, mencatat nama pemilih baru. Pekerjaan skala raksasa ini, hanya terjadi di musim Pemilu atau Pilkada, oleh KPU dan perangkat di bawahnya. Tak pernah terjadi, dalam model sensus, survey, ataupun pencacahan penduduk, yang dilakukan total. Sementara KPU, memeriksa semua rumah dan penghuninya. Di Pemilu 2024 lalu, dua ratus juta lebih data diperiksa. Sementara di Pilkada, jumlahnya bisa lebih. Mengingat pertambahan jumlah pemilih baru. Meski volume datanya dipecah di setiap Kabupaten Kota. Misalnya di Kabupaten Tangerang, terjadi penambahan jumlah pemilih. Semula 2,3 juta, kini menjadi 2,5 juta. Semua nama akan dicacah satu per satu. Para petugas, disebut Pantarlih (Petugas Pemutakhiran Data Pemilih), menyigi rinci, nama-nama yang tertera. Mereka bekerja berbasis lokasi TPS (di RT atau RW setempat). Rata-rata, Pantarlih memeriksa 500-600 daftar pemilih, untuk dicoklit (pencocokkan dan penelitian). Menanyakan ke warga, apakah nama, NIK, KK, sesuai atau tidak. Jika salah, diperbaiki. Jika benar dianggap memenuhi syarat. Lalu kalau ada warga yang  memenuhi syarat sebagai pemilih, namun belum masuk daftar, maka ditambahkan. Pola kerja Pantarlih juga didukung aplikasi E-Coklit, yang bermanfaat merekam, menyesuaikan, dan mengolah basis data digital. Ditakar dari segala sisi, maka olahan data Pilkada, layak disebut Big Data. Karena volume besar, variasi tinggi, struktur (susunan) data spesifik, dan pangkalan data (data base) terpusat. Syarat lain yang membuat olah data KPU di Pemilu dan Pilkada layak disebut Big Data, lantaran bisa diakses cepat, mudah dikontrol, dan akurasi tinggi. Pun dengan keluaran atau output data yang ditampilkan, dalam bentuk visualisasi sederhana, namun terbuka untuk publik. Sisi istimewa Bid Data KPU, adalah karena interaktif. Rakyat luas bisa mengecek kesahihan namanya sebagai pemilih. Bisa mengajukan aspirasi dan koreksi. Dari uraian di atas, sekali lagi, hanya KPU yang mampu. Lembaga lain, baik pemerintah atau swasta, dalam negeri atau asing, tak ada yang mengerjakan data raksasa sedetil KPU. Memang masih ada residu, sisa data kotor, yang tak valid. Dalam bahasa KPU, data memenuhi syarat dan tak memenuhi syarat yang tertukar. Misalnya, seorang warga yang sudah wafat, mestinya berkategori TMS (tak memenuhi syarat), tetapi masih muncul di daftar hak pilih. Juga sebaliknya, warga yang memenuhi syarat, yakni pemilih pemula, tak tak tercantum di daftar hak pilih. Kesalahan bersumber dari atas dan bawah. Dari atas, pangkalan data tak benar benar bersih. Dari atas, karena pelaksanaan Coklit yang tak cermat. Atau bisa saja eror system.


Selengkapnya
391

Olah Data Pemilih: Sidalih Pantang Berdalih

Olah Data Pemilih: Sidalih Pantang Berdalih   Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab Tangerang   Mengelola Data Pilkada tak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara biasa.  Melainkan butuh piranti tambahan, berbasis digital, berjejaring,  mudah diakses dan pemrosesan cepat. KPU menggunakan Teknologi Informasi Pengolahan Data Pemilih. Termasuk dalam urusan Pilkada. Disebut dengan Sidalih (Sistem Informasi Data Pemilih). Infrastruktur teknologi ini benar-benar membantu di semua lini. Bermuara pada terpenuhinya asas olah data pemilih. Yakni akurat, menyeluruh, terkini, juga terkontrol. Hasil kerja Sidalih pun berhasil mendorong partisipasi publik secara massif. Lantaran warga biasa bisa mengecek langsung, ada di daftar pemilih atau tidak. Cukup dengan rebahan di rumah, sembari buka HP. Sidalih juga membantu percepatan analisis data, agar lebih akurat dan tak tumpang tindih. Misalnya dalam melakukan analisis kegandaan, validasi (pengecekan), plus pembersihan data kotor, bisa dilakukan segera. Fungsi turunan Sidalih juga terbilang istimewa. Mengintegrasikan totalitas komponen kepemiluan. Satuan kebutuhan data logistik, peta TPS, estimasi biaya, sampai aspek pelayanan KPU, berbasis pada olah data Sidalih. Salah satu aspek digitalisasi Pemilu dan Pilkada, hadir dalam Sidalih. Lalu jika sedetil itu, mengapa masih banyak masalah dalam isu daftar pemilih? Hingga detik ini, percakapan publik tak jauh dari soal:  nama pemilih hilang; almarhum yang masuk data pemilih; warga yang terdaftar ganda; anak muda di bawah umur tercatat; pemilih baru tak masuk daftar; hingga soal tuduhan penggelembungan atau pemangkasan data hak pilih. Penyebabnya multi faktor. Dalam teknologi proses data, ada istilah Gigo, alias garbage in garbage out (data sampah akan ke luar sebagai sampah). Sidalih adalah mesin pengolahan data. Jika sumber awal bahan data semrawut, maka resiko keluaran data akan rendah kualitas. Sumber data olahan Sidalih, datang dari atas dan bawah. Dari atas adalah bersumber dari data kependudukan. Dari bawah datang dari Coklit oleh pemilih. Dua sumber data ini yang niscaya menimbulkan "selisih" data yang problematik. Ambil misal, data dari Catatan Sipil yang tak aktual sekaligus tidak faktual. Nama orang wafat masih muncul, padahal bukti aktual dan faktual, orangnya sudah tak ada. Catatan sipil sulit merevisi, karena tak ada laporan dari siapapun. Bahan dasar data ini  yang kemudian dibilas dibersihkan oleh Sidalih, melalui metode Coklit para Pantarlih. Hanya, saking banyak besaran data, ada potensi akurasi rendah.   Di lapangan, KPU sampai Pantarlih, punya solusi jitu, cukup keterangan dari Desa atau Kelurahan, untuk menghapus nama almarhum dari daftar pemilih. Perlu diingat informasi dari Catatan Sipil adalah dokumen kependudukan,  bukan data pemilih. Semua itu menjadi data pemilih saat KPU bekerja melakukan penyortiran. Faktor berikut yang mengganggu kualitas data di Sidalih adalah hasil kerja Pantarlih. Di lapangan, masih terjadi pengecekan data di atas meja. Pantarlih malas menemui, melihat dokumen pemilih, dan memeriksa rumah ke rumah. Mereka merasa kenal dan hapal dengan penduduk sekitaran. Padahal, selalu ada dinamika baru di kalangan warga. Semisal dari warga biasa menjadi TNI Polri, atau sebaliknya. Juga ada warga yang berhak jadi pemilih baru. Juga warga yang sudah pindah KTP (domisili).  Metode Coklit (pencocokan dan penelitian) oleh Pantarlih, wajib head to head, sensus langsung. Tapi karena tak dilakukan, maka hadirlah data serampangan. Cara kerja di atas meja ini yang kemudian merepotkan PPS, karena begitu rendah akurasi data. Bahkan kerap terjadi, nama pemilih salah ketik, NIK beda nomor, dan akhirnya tak bisa masuk sebagai hak pilih. Singkat cerita, sebagai sistem, Sidalih memiliki fitur dan menu yang lengkap. Tapi karena pengerjaan yang tak detil, maka ada residu (sisa) data bermasalah. Termasuk: pemilih sekeluarga namun   terpisah TPS. Beruntung KPU memiliki tahapan berlapis, sebagai kanalisasi (jalan ke luar) perbaikan. Yakni dengan perbaikan DPS (Daftar Pemilih Sementara) sebelum ke DPT (Daftar Pemilih Tetap). Ruang perbaikan ini memungkinkan ceceran data pemilih diperiksa ulang, sekaligus, menampung tanggapan masyarakat. Juga kontrol atas temuan Bawaslu atau Panwas.  Untungnya lagi, KPU memiliki pasukan di setiap jenjang, mulai dari lokasi TPS (oleh  Pantarlih), di Desa Kelurahan (PPS), sampai PPK di kecamatan. Mereka bertugas khusus, baik di lapangan atau di sistem Sidalih. Kerja mereka terbilang berat. Tak semata olah data di depan layar komputer. Tetapi juga kerja lapangan. Melakukan kontrol, supervisi, perbaikan, sekaligus analisis. Sudah tentu, operator Sidalih wajib kerja rapih, pantang berdalih. Semoga....


Selengkapnya
117

Problema Olah Data di Pilkada

Problema Olah Data di Pilkada   Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab Tangerang   Tak lama lagi KPU melakukan proses pemutakhiran data pemilih. Tahapan ini dilakukan berlapis.  Melalui metode manual, digital, dan juga verifikasi internal. Kerja manual misalnya sensus langsung menemui pemilih, rumah ke rumah. Metode ini tenar disebut Coklit, pencocokkan dan penelitian. Dilakukan oleh Pantarlih (Petugas Pemutakhiran Data Pemilih). Sementara operasi digital, memeriksa, menyandingkan, sumber data pemilih, yang berasal dari Dukcapil, data pemilih berkelanjutan, dan DPT Pileg terakhir. Hasil akhirnya adalah daftar pemilih yang akan diperiksa. Sementara olah data internal adalah untuk meletakkan jumlah TPS yang dibutuhkan. Pekerjaan ini samasekali tak sederhana. Melibatkan ribuan orang, waktu yang lama, proses ketat, dan bahkan diawasi oleh Bawaslu. Di sisi lain, pemutakhiran data pemilih oleh KPU terikat berbagai prinsip. Seperti komprehensif (menyeluruh, semua warga yang layak jadi pemilih di data, termasuk kalangan marginal dan disabilitas), akurat, terbuka, partisipatif (bekerjasama dengan aneka kalangan), serta mutakhir (terkini). Semua itu guna mewujudkan dua perkara. Yakni pertama, memastikan orang yang memenuhi syarat harus masuk dalam daftar pemilih. Seraya yang kedua, menghapus nama yang tak memenuhi syarat pemilih. Selain problem teknis yang terurai di atas, olah data hak pilih kerap terganggu oleh aspek psiko sosiologis, alias karakter masyarakat. Di pedesaan, masih kurang kesadaran melengkapi jati diri warga negara sesuai kaidah administratif. Banyak warga yang tak punya KTP bahkan KK. Atau perpindahan alamat yang tak dilaporkan. Belum lagi, warga yang wafat tapi tak diurus keterangan kematian oleh keluarganya. Semua hadangan ini, menjadi kerja tambahan bagi para petugas pendataan. Kasus warga wafat yang tak dicatat di Dukcapil misalnya, menjadi penyebab data pemilih kotor, harus dibersihkan. Pun dengan warga dewasa yang minus identitas, sulit untuk dimasukkan ke daftar pemilih. Sementara di perkotaan, petugas pendataan direpotkan untuk menemui langsung pemilih. Terutama yang mukim di apartemen, cluster elit, dan kos-kosan. Ditambah, dalam konteks Pilkada, selera warga kota untuk jadi pemilih, terbilang rendah. Kendala yang terurai di atas, meniscayakan adanya hak pilih yang tercecer. Alias tak masuk daftar pemilih tetap. Olehnya, KPU membuka ruang lanjutan. Dengan opsi pendaftaran berikutnya, yakni DPTb (Daftar Pemilih Tambahan) dan DPK (Daftar Pemilih Khusus). Dua skema ini menjadi saluran extra bagi warga, agar mereka tetap berkesempatan memilih. Bila kemudian berbagai strategi KPU itu masih menyisakan residu, alias data yang tak benar-benar bersih, maka itu terjadi karena faktor teknis dan bukan politis.


Selengkapnya
109

"Pilkada Wujud Demokrasi Negara"

Indonesia merupakan negara demokrasi konstitusional sebagaimana termaktub dalam nokhtah konstitusi bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD."  Dalam paradigma itu, pelaksanaan kedaulatan rakyat dibingkai dan diwarnai dalam kerangka konstitusi. Konstitusi menjadi pemandu dan acuan bagaimana demokrasi pada pilkada diinstrumentasikan. Pilkada di Indonesia adalah sebuah hajat demokrasi yang melibatkan sumber daya sangat besar. Bukan permasalahan yang mudah mengelola hampir 200 juta pemilih, 5 juta penyelenggara pemilu, setengah juta TPS, tersebar luas dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur dengan beragam persoalannya. Sumber daya yang sedemikian besar tersebut, apabila dikelola secara baik akan pula menghasilkan demokrasi elektoral terbesar dan menuai kesuksesan mengantar Indonesia sebagai negara terbesar yang sukses menyelenggarakan pemilu secara langsung dan serentak di seluruh penjuru tanah air.  Penggunaan kecanggihan teknologi informasi selain menjawab kebutuhan masyarakat akan informasi mutakhir, selain itu juga memudahkan KPU  melakukan koordinasi dan monitoring terhadap kerja-kerja tahapan Pemilu yang dilakukan oleh KPU/KIP Provinsi dan Kabupaten/Kota dan badan ad hoc agar tercipta gerak langkah yang seragam dan padu padan. Pilkada (pilgub dan/atau pilbub/pilwakot) adalah salah satu dari banyaknya pembelajaran demokrasi untuk masyarakat daerah dan sekaligus guna mewujudkan hak esensial individu, (1) kesamaan hak politik, dan (2) kesempatan bagi setiap orang dalam pemerintahan daerah.  Pilkada langsung dimaksudkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, sehingga akses serta kontrol masyarakat terhadap arena dan aktor yang terlibat menjadi sangat amat kuat. Memilih pemimpin merupakan kewajiban guna menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Dalam hal ini pilkada yang diselenggarakan bulan November 2024 merupakan euphoria masyarakat daerah dengan harapan mewujudkan demokrasi negara dan mewujudkan harapan masyarakat demi tercapainya nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara. Dedi Irawan, S.HI., M.H Kadiv. Hukum dan Pengawasan


Selengkapnya
121

Bismillah... Pilkada Bergerak!

Bismillah... Pilkada Bergerak! Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang Selebrasi politik paling riuh rendah saat ini adalah Pilkada. Percakapan khalayak kian berisik.  Tatapan  visual serta konten digital, berderet-deret dengan pelbagai pencitraan. Menyeruak pula  informasi dari segala  pojok. Meski pusaran tema larinya ke itu-itu juga. Jika perhelatan Pilkada adalah panggung showbiz, maka prosesinya (kurang lebih) seperti ini... Layar dibuka. Lampu sorot tertuju pada kursi singgasana. Lantas muncul aktor utama. Meletuplah terompet penyambutan. Penonton berjejingkat girang. Lalu, semua berlalu.  Sedemikian ringkas adegan, jika kontestasi Pilkada berhenti hanya sebagai pesta. Lantaran mengabaikan aneka perkara yang sesungguhnya penting. Publik luas mengunyah ampas politik, dan tak sempat mencicipi suguhan bermutu. Mestinya suguhan Pilkada berjenis-jenis rupa. Mulai dari menu pencerdasan nalar, tertib hukum, profesionalitas penyelenggara, partisipasi publik, kualitas demokrasi, kesetaraan warga negara, sampai ke urusan efisiensi anggaran. Elemen di atas, sesungguhnya adalah prioritas. Lantaran melibatkan seluruh rakyat. Sayangnya, urusan Pilkada semata berpusar pada:  kandidat; agenda partai; serta konflik pertarungan.  Kesemuanya lekat dengan praktek adu kuat, muslihat, serta saling jerat. Algoritma percakapan publik laiknya kita geser ke   narasi berisi. Semisal membincang soal posisi publik dalam kompetisi Pilkada. Struktur publik, terbagi dalam posisi kelompok penekan (seperti mahasiswa, LSM, pegiat sosial, dan aktivis). Komunitas ini disebut sebagai pressure group. Juga kelompok kepentingan, seperti kalangan pebisnis, dunia usaha, dan kaum profesional. Mereka ini disebut vested interest. Lalu ada juga kelompok elit pengambil keputusan, atau public policy. Nah, di setiap kelompok itu, banyak narasi yang bisa digelorakan. Jadi tak berkutat dengan fitnah, olok-olok, atau kebohongan. Di bagian kelompok penekan, mestinya perbincangan lebih variatif. Lantaran mahasiswa dan anak muda bisa memainkan peran. Mereka bisa menghunus isu tajam, agar Pilkada berlangsung bersih dan beradab. Mereka juga bisa berkiprah sebagai pengamat, pengkritik, atau bahkan penyelenggara. Sementara kaum pebisnis dan profesional, bisa mencerdaskan publik, dengan wacana Pilkada cerdas. Semisal merumuskan aneka problem, gagasan, dan solusi atas masalah daerah (yang akan disodorkan ke Calon). Sementara kalangan pengambil keputusan, memainkan peran vital, agar Pilkada lancar. Jika itu yang terjadi, maka Pilkada Bergerak ke arah tepat.


Selengkapnya