Berita Acara Penetapan Angka Tingkat Partisipasi Pemilih Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 | Pengumuman Hasil Audit Dana Kampanye Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tangerang Tahun 2024 | Laporan Belanja Hibah Pilkada Serentak Tahun 2024

Headline

#Trending

Informasi

Opini

PARPOL : Mekanisme Penyelesaian Dua Lisme

PARPOL : Mekanisme Penyelesaian Dua Lisme Oleh :  Dedi Irawan Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Mencuatnya polemik di internal partai politik yang pada akhirnya menarik perhatian dan konsumsi publik secara luas tentulah sedikit banyak akan memengaruhi citra partai. Konflik di organisasi partai sedikit banyak berdampak pada perubahan perwajahan pengelolaan partai, kekuatan soliditas, hingga berbagai kepentingan politis lainnya. Kekacauan di dalam yang berujung pada memburuknya perolehan suara membuktikan bahwa tak mudah bagi partai untuk mengembalikan gerak selaras mesin partai pasca-kekisruhan yang terjadi. Bagaimanapun, dualisme kepengurusan menyisakan berbagai benih persoalan yang dapat mencuat kembali. Dengan begitu, proses rekonsiliasi yang ditempuh harus benar-benar dapat menjadi titik temu dari keterbelahan yang ada. Kisruh perpecahan yang berimbas pada kondisi elektabilitas partai juga diungkap oleh hasil survei Litbang Kompas terbaru pada periode 2019 hingga awal 2021. Selama periode survei tersebut, ada dua partai yang dilanda dualisme, yaitu Hanura dan Berkarya. Mengacu pada temuan tingkat keterpilihan publik kepada partai, perpecahan internal tersebut tak pelak membawa keterpurukan bagi elektabilitas kedua partai itu. Tercatat elektabilitas Partai Hanura dan Berkarya tak juga membaik, masih berada di bawah 1 persen. Perpecahan yang terjadi di tubuh partai politik memang akan membawa banyak kerugian, terlebih jika hal itu harus melibatkan campur tangan dari pihak di luar partai. Dalam organisasi kepartaian, kongres atau musyawarah luar biasa sebagai upaya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan lumrah dilakukan. Pada tahun 2025 ini , Partai Politik Indonesia diramaiakan lagi dengan perseteruan parpol berlambang ka’bah yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), antara kubu PPP Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, pemerintah menyebut sudah ada dua kubu Partai Persatuan Pembangunan atau PPP yang memasukkan susunan kepengurusan ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum. Pemerintah menegaskan akan mengkaji dengan hati-hati keabsahan dokumen dari masing-masing pihak sebelum memutuskan siapa yang sah. Seperti diberitakan, Muktamar X PPP di Ancol, Jakarta, berakhir ricuh dan melahirkan dua ketua umum. Kubu pertama menetapkan Muhamad Mardiono sebagai ketua umum secara aklamasi pada hari pertama muktamar, Sabtu (27/9/2025), dengan dalih kondisi darurat. Langkah itu ditolak kubu kedua yang kemudian melanjutkan muktamar dan menetapkan Agus Suparmanto sebagai ketua umum. Kedua kubu kini saling mengklaim kepemimpinan yang sah sesuai dengan AD/ART partai. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas resmi menandatangani Surat Keputusan (SK) Kepengurusan PPP dengan Ketua Umum Mardiono. Supratman mengatakan SK tersebut ditandatangani seusai penelitian sejumlah dokumen. "Kemarin pagi saya sudah menandatangani SK pengesahan kepengurusan Bapak Mardiono," kata Supratman saat akan menghadiri rapat paripurna DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/9/2025). Disisi yang lain, Kubu Agus Suparmanto bakal melayangkan gugatan hukum terhadap Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum (Menkum) yang mengakui kepengurusan Muhammad Mardiono sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) . Langkah itu bakal ditempuh lantaran mereka menolak SK Menkun tersebut. Mantan Ketua Majelis Pertimbangan PPP M Romahurmuziy (Rommy) menyebut janggal terbitnya SK Menkum tersebut. Baginya, SK kepegurusan Mardiono cacat hukum lantaran tak memenuhi syarat 8 poin yang tertuang dalam Pemenkumham RI No. 34/2017. "Pengajuan SK kepengurusan Mardiono tidak mendapatkan persyaratan poin 6 Permenkumham 34/2017 yaitu: 'Surat Keterangan tidak dalam Perselisihan Internal Partai Politik dari Mahkamah Partai Politik," ujar Rommy, Jumat (3/10/2025)   Mekanisme Penyelesaian Dua Lisme Konflik kepengurusan Partai Demokrat telah melahirkan suatu kaidah hukum melalui Putusan Perkara Nomor: 128 PK/TUN/2023. Kaidah hukum yang dihasilkan adalah sengketa partai politik berupa dualisme kepengurusan pada hakikatnya merupakan masalah penilaian internal partai sehingga harus diselesaikan lebih dulu melalui Mahkamah Partai. Penyelesaian melalui Mahkamah Partai terhadap sengketa internal partai sudah diatur di dalam Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik : Mekanisme Penyelsaian di Pengadilan Mahkamah Partai Dan Pengadilan sampai ke Mahkamah Agung : Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. (2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. (3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. (4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. (5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Pasal 33 (1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.

Dinamika PAW Anggota DPR : Antara Penonaktifan dan Regulasi

Dinamika PAW Anggota DPR: Antara Penonaktifan dan Regulasi Oleh :  Dedi Irawan Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Beberapa hari terakhir dunia demokrasi Indonesia kembali diramaikan dengan maraknya aksi demonstrasi. Isu yang mengemuka kali ini dipicu oleh kebijakan pemerintah terkait tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik bereaksi keras, bukan hanya karena substansi kebijakan yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat, tetapi juga lantaran perilaku sejumlah anggota DPR yang justru memperburuk suasana. Salah satu momen yang viral adalah aksi menari beberapa anggota dewan di dalam Gedung DPR ketika masyarakat sedang meluapkan protes di luar. Fenomena tersebut menimbulkan gelombang kekecewaan dan kritik, baik dari masyarakat sipil maupun dari partai politik itu sendiri. Tidak sedikit yang menilai bahwa sikap tersebut mencederai marwah lembaga perwakilan rakyat. Sebagai respons, beberapa partai politik seperti Partai NasDem, PAN, dan Golkar mengambil langkah tegas dengan memberikan sanksi kepada kadernya. Bentuk sanksi yang dipilih adalah “penonaktifan” dari jabatan atau keanggotaan aktif di parlemen. Namun, keputusan ini justru memunculkan perdebatan. Pertanyaannya sederhana tetapi penting: apakah penonaktifan seorang anggota parlemen memiliki landasan hukum yang jelas? Apakah istilah ini sejalan dengan regulasi yang berlaku di Indonesia, khususnya terkait mekanisme pemberhentian dan penggantian antar waktu (PAW) anggota legislatif? Regulasi PAW di Indonesia Mekanisme pemberhentian dan penggantian anggota legislatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3). Dalam Pasal 239 UU MD3, disebutkan bahwa seorang anggota DPR dapat berhenti antarwaktu dari jabatannya karena tiga hal: Meninggal dunia. Mengundurkan diri. Diberhentikan. Dari ketentuan ini, jelas tidak ada istilah “penonaktifan” sebagaimana yang kini kerap dipraktikkan oleh partai politik. UU MD3 hanya mengenal dua istilah utama: pemberhentian antarwaktu dan pemberhentian sementara. Kategori Pemberhentian Sementara (vide UU MD3 Pasal 244 ayat (1) huruf a dan b): menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Pasal 5 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana telah diubah dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota menyatakan bahwa: Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena: meninggal dunia; mengundurkan diri;atau diberhentikan. Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b karena: Permintaan sendiri; dan/atau Ditetapkan sebagai calon peserta dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati danWakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota. Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila: Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun; Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah untuk Anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; diusulkan oleh Partai Politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD; melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPD dan DPRD; diberhentikan sebagai anggota Partai Politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; atau menjadi anggota Partai Politik lain bagi Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Problem Terminologi “Penonaktifan” Penggunaan istilah “penonaktifan” sesungguhnya menjadi titik masalah utama. Istilah ini lebih banyak digunakan dalam bahasa politik praktis ketimbang bahasa hukum. Dalam perspektif hukum tata negara, yang berlaku hanyalah pemberhentian sementara atau antarwaktu. Penggunaan istilah penonaktifan bisa berimplikasi kontradiktif. Di satu sisi, partai politik ingin menunjukkan ketegasan terhadap kadernya yang dianggap mencederai marwah parlemen. Di sisi lain, karena tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, penonaktifan justru membuka ruang multitafsir. Kekaburan inilah yang menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus mengurangi daya efektivitas sanksi politik. Publik bisa saja menilai bahwa penonaktifan hanyalah manuver politik partai untuk meredam kritik, tanpa diikuti tindak lanjut yang jelas. Implikasi Terhadap Demokrasi Indonesia Istilah “penonaktifan” bisa berdampak serius pada demokrasi. Pertama, publik bisa kehilangan kepercayaan pada parlemen jika melihat sanksi hanya berhenti pada simbol tanpa efek substantif. Kedua, dominasi partai politik yang terlalu kuat berpotensi mengurangi akuntabilitas anggota DPR terhadap rakyat, karena posisi mereka lebih ditentukan oleh elite partai ketimbang konstituen. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa menciptakan jurang antara rakyat dengan wakilnya. Anggota legislatif mungkin merasa lebih perlu menjaga hubungan baik dengan partai daripada dengan masyarakat yang memilih mereka. Padahal, dalam demokrasi representatif, wakil rakyat seharusnya bertanggung jawab pertama-tama kepada rakyat, bukan semata kepada partai.   Penutup Dinamika terbaru terkait sanksi “penonaktifan” terhadap anggota DPR yang dianggap mencederai marwah lembaga, sesungguhnya membuka ruang diskusi penting mengenai mekanisme pemberhentian dan PAW di Indonesia. UU MD3 sudah mengatur pemberhentian tetap dan sementara, tetapi tidak mengenal istilah penonaktifan. Maka, tantangan bagi Indonesia adalah menemukan titik keseimbangan: bagaimana mekanisme PAW bisa tetap efisien tetapi juga memberi ruang bagi akuntabilitas kepada rakyat. Untuk itu, revisi regulasi mungkin diperlukan agar istilah dan mekanisme pemberhentian lebih jelas, tidak menimbulkan multitafsir, dan benar-benar efektif sebagai bentuk pertanggungjawaban wakil rakyat. Dengan begitu, demokrasi Indonesia dapat terus berkembang, tidak hanya dalam prosedur, tetapi juga dalam substansi dan integritas kelembagaannya.

Pilkada Secara Demokratis

Pilkada Secara Demokratis Oleh : Dedi Irawan  Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan melalui DPRD kembali muncul ke permukaan, hal itu disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pemilihan kepala daerah diatur dalam UUD 1945. Pasal itu mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, pasal 18 ayat (4) U UD 1945 yang berbunyi : “ Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai Kepala Pemerintah  Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”. Tito Karnavian berpendapat sistem demokrasi itu tidak harus dilakukan dengan pemilihan secara langsung. Menurutnya, demokrasi juga bisa dipahami dengan memberikan kepercayaan kepada perwakilan rakyat.  Diskursus penataan sistem pemilihan kepala daerah juga kembali mencuat lewat Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, beberapa pekan lalu. Muhaimin merespons putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, pada 26 Juni 2025. Muhaimin mengusulkan dua opsi pemilihan kepala daerah. Pertama, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat. Kedua, pemilihan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dipilih oleh rakyat melalui DPRD kabupaten-kota. "PKB berkesimpulan harus dicari jalan yang efektif antara kemauan rakyat dengan kemauan pemerintah pusat. Selama ini pilkada secara langsung ini berbiaya tinggi, maka kami mengusulkan dua pola itu,” kata Muhaimin, yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, dalam peringatan Hari Lahir ke-27 PKB di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, pada Rabu, 23 Juli 2025. Namun, Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia Titi Anggraini menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD sudah tutup buku setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024. Ia mengatakan, pada putusan 135 itu, MK menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD. Sehingga konsekuensi putusan itu adalah pilkada secara langsung seharusnya tetap dipertahankan. Disisi lain KPU menyatakan, undang-undang (UU) mengamanatkan agar pilkada digelar secara langsung atau melibatkan masyarakat. "Implementasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pilkada secara langsung merupakan bagian penting dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Sudah dua dasawarsa Indonesia melaksanakan Pilkada secara langsung," kata Komisioner KPU Idham Holik. Pilkada Langsung vs DPRD Dari perspektif konstitusi, baik pilkada secara langsung maupun pilkada oleh DPRD dapat dilakukan karena UUD 1945 hanya menentukan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Baik mekanisme pilkada oleh rakyat maupun pilkada melalui ”Wakil” rakyat adalah mekanisme pemilihan yang demokratis sepanjang memang dilaksanakan secara demokratis. Kata ”Demokratis” merupakan refleksi dari dua pandangan yang ada saat pembahasan Perubahan UUD 1945, yaitu yang mengusulkan pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan yang masih menghendaki pilkada dilakukan oleh DPRD. Kesepakatan rumusan ”Secara Demokratis” untuk pilkada dicapai dengan maksud agar bersifat fleksibel. DINAMIKA PILKADA Dalam pelaksanaannya, terdapat perkembangan dan problem dalam penyelenggaraan pilkada. Perkembangan hukum signifikan adalah pergeseran rezim hukum pilkada. UU Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemerintahan daerah. Ketentuan pilkada dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah pernah diajukan pengujian kepada MK karena tidak diposisikan sebagai bagian dari rezim pemilu, tetapi bagian dari rezim pemerintahan daerah. Dalam Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan apakah pilkada dilakukan secara langsung atau tidak serta menentukan apakah pilkada diatur dalam rezim pemilu atau tidak walaupun dari sisi substansi adalah pemilu dan harus dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pemilu. Dalam perkembangannya, melalui UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, pembentuk UU menempatkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu. Pasal 1 angka 1 UU No 22/2007 menyebut secara tegas istilah pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada). Pasal 1 angka 2 UU No 22/2007 juga menegaskan tentang tugas penyelenggara pemilu yang juga meliputi menyelenggarakan pilkada. Pilkada pernah ditetapkan dilakukan oleh DPRD melalui UU No 22/2014. Namun, karena mendapat reaksi publik yang keras, pilkada dikembalikan kepada rakyat melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perubahan lain adalah adanya putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menetapkan pilkada bukan merupakan rezim pemilu. Berbagai macam perkembangan yang terjadi merupakan upaya untuk menyelesaikan berbagai problem yang muncul dan terjadi dalam pelaksanaan pilkada. Dua hal utama yang harus dihadirkan agar pilkada secara langsung semakin berkualitas dan mencegah terjadinya fenomena negatif adalah, pertama, penegakan hukum dan peningkatan kesadaran politik masyarakat. Penegakan hukum sangat diperlukan terutama untuk menjaga dan mengadili pelanggaran pilkada sehingga tidak merusak esensi pilkada itu sendiri. Pelanggaran dapat dilakukan siapa pun, baik peserta, penyelenggara, aparat, ataupun warga negara biasa. Semuanya harus diperlakukan secara sama. Kedua, diperlukan peningkatan kesadaran politik masyarakat. Kesadaran dalam hal ini tidak hanya pengetahuan dan keterampilan aturan dan teknis pelaksanaan pilkada. Kesadaran yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran terhadap makna kedaulatan rakyat dan suara yang dimiliki sebagai warga negara, serta konsekuensi dari pilihannya. Kesadaran ini juga meliputi nilai dan etika dalam berdemokrasi sehingga tidak akan dapat disuap, menjual suara, ataupun melakukan tindakan lain yang merusak demokrasi.   DERAJAT DEMOKRASI Namun, pada saat kita sudah menentukan pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, kemudian diubah menjadi pemilihan oleh DPRD, perlu dipertimbangkan lagi pengaruhnya terhadap perubahan ”derajat” demokrasi di daerah. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tentu dirasakan ”lebih demokratis” jika dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Konsekuensinya, perubahan menjadi pemilihan oleh DPRD akan mengurangi derajat demokrasi. Ada dua hal penting mengapa pemilihan oleh DPRD akan mengurangi derajat demokrasi. Pertama, hal itu akan menghilangkan satu ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pilkada. Partisipasi ini memang dapat diwakili oleh anggota DPRD, tetapi semakin banyak ruang partisipasi langsung tentu lebih baik dan bisa jadi terdapat perbedaan antara pilihan rakyat dan pilihan anggota DPRD yang lebih didominasi pilihan partai politik. Perbedaan antara pilihan rakyat dengan pilihan partai politik sudah banyak terlihat dari hasil pemilihan kepala daerah jika membandingkan antara suara yang diperoleh pasangan calon dengan kekuatan partai politik pengusul. Kedua, hilangnya ruang partisipasi langsung akan berakibat menjauhnya hubungan antara kepala daerah dan masyarakat di daerah. Hubungan dalam hal ini berisi kewajiban gubernur/bupati/wali kota memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat serta legitimasi bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan publik. Sangat dikhawatirkan perubahan itu akan mengakibatkan kepala daerah semakin abai terhadap aspirasi masyarakat karena merasa legitimasinya berasal dari anggota DPRD. Dinamika hukum yang mengatur pilkada telah terjadi sejak awal reformasi. Telah lebih dari 20 tahun pengaturan pilkada dibentuk, dilaksanakan, diuji, dan diubah dengan tujuan untuk menemukan model yang paling sesuai dengan makna demokrasi berdasar UUD 1945 dan kondisi masyarakat Indonesia. Ruang diskursus perubahan tentu harus selalu dibuka. Setiap sistem tentu memiliki kelemahan, termasuk pilkada secara langsung.(Janedjri M Gaffar Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi 2003-2015

Simulasi Teknokratik Penataan Dapil III Banten

Momentum Pemekaran Dapil Banten III Oleh: Endi Biaro Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Momentum perubahan Undang Undang Pemilu mencapai daya gedor luar biasa keras, pasca keluarnya Putusan Mahkamah Kosititsitusi tentang Pemilu serentak.  Sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) putusan MK bersifat deklaratif, berlaku final dan mengikat, menafsir setiap permasalahan konsititusionalitas sebuah undang-undang (the sole interpreter of constitution).  Di luar konteks perdedatan yang kini mengemuka, terjadi blessing in disguise (berkah tak lansung), bahwa kesadaran para pihak untuk segera merevisi Undang Undang Pemilu kian terasa kencang. Putusan ini hadir tepat waktu. Pembentuk undang-undang, yakni DPR, masih leluasa untuk mempersiakan segala hal. Di sisi lain, masyarakat luas juga berkesempatan melakukan partisipasi bermaka (meaningful participation). Di sisi lain, mahkamah  memang kerap menjadi sumber reformasi hukum Pemilu. Fenomena ini kerap disebut dengan yudisalisasi politik, terkait dengan menguatnya peran MK dalam pengaturan Pemilu.  Menurut Kepala Biro Hukum MK, Fajar Laksono, UU Nomor  7 Tahun 2017 mengalami 152 kali uji materi (atau judicial review). Sementara buku Reformasi Pemilu Jalur Mahkamah Konstitusi, Perludem, 2024, menyebut ada belasan putusan MK yang mengubah, menghapus, memberi norma baru, terhadap UU Pemilu. Nyata sepenuhnya, agenda revisi UU Pemilu harus segera terlaksana. Lantaran begitu banyak masalah dan perkara dalam aturan kepemiluan  yang perlu dierbaiki. Hal ini guna menjamin kepastian hukum dan mejamin terlaksanana Pemilu bermartabat (genuine election). Hukum dan Sistem Pemilu Undang Undang Pemilu adalah akar tunjang dari kerangka hukum kemiluan, meciptakan sistem pemilu, yang akan fondasi pelaksanaan Pemilu. Hukum Pemilu dibutuhkan guna mengadirkan electoral justice system (keadilan Pemilu), yang mengatur seluruh aspek, bersifat tegas atau tak multitafsir, dan bisa dilaksanakan (executeable).  Sementara sistem Pemilu adalah prosedur dan rangkaian untuk mengkonversi suara rayat menjadi kursi. Terdapat adagium, yang kerap dilontarkan pakar kepemiluan, Prof. Ramlan Surbakti, bahwa Pemilu demokratis adalah prosedur yang pasti dan bisa diprediksi sementara hasilya tak pasti dan tak bisa diprediksi (predictable procedure, with unpredictable result). Dengan demikian, agenda perubahan UU Pemilu secara subtantif berpijak pada kepentingan memproduksi sistem dan tata kelola pemilu yang beringritas, yakni bersifat free and fair election (akuntabel, transparan, partisipatif, dan adil). Dalam studi kepemiluan, termasuk norma yang berlaku di dunia internasional, unsur-unsur sistem Pemilu demokratis terdiri dari: (1) besaran daerah pemilihan atau district magnitude, (2) pencalonan (candidacy), (3) pemberian suara (balloting), (4) ambang batas atau threshold, (5) pendajwalan, dan (6) konversi suara menjadi kursi. Penelaahan serius atas perdebatan publik terkait perubahan UU Pemilu mengarah ke beberapa poin di atas.  Isu tentang penataan Dapil, misalnya, salah satu prioritas yang mengemuka, di samping isu-isu mayor lainya. Seperti menurunkan ambang batas parlemen,  mengganti sistem konversi suara dari Sainte Lague ke Divisor (bilangan pembagi pemilih), mengatur keserentakan Pemilu Nasional dan Lokal, dan lain-lain. Konteks Penataan Dapil Keadilan Pemilu lahir jika suara rakyat bernilai setara. Kualitas penyelenggaraan Pemilu bukan hanya soal hak-hak politik terjamin dan pemilih bebes mencoblos di bilik suara. Melainkan juga memastikan bahwa nilai atau bobot suara pemilih setara, terhindar dari bias ketimpanga suara (deviasi).  Semua itu bisa teradi jika penataan Daerah Pemilihan dilakukan secara teknokratis, berbasis data, akademik, dan menghormati kaidah hukum.Tak boleh lagi penataan Dapil diakukan hanya asal-asalan atau bahkan akal-akalan. Problem yang kerap kali diabaikan adalah mengukur bobot dan dampak suara yang diberkan Pemilih. Padahal ukurannya jelas, satu pemilih, satu suara, dan satu nilai (OPOVOV, one person, one vote, one value).  Jika terjadi fakta bahwa bobot suara pemilih tak setara, maka prinsip keadilan tercederai. Garansi untuk menghadirkan nilai suara yang setara adalah dengan mengatur Daerah Pemilihan secara teknokratis, berbasis data penduduk, memperhatikan karakter geografis, dan karakter demografis.  Guna menghindari terjadinya Dapil yang tidak proporsional, terlalu banyak jatah kursi (over represented) atau malah sebaliknya, under represented (alokasi kursi yang kurang mewakili). Fenomena ini disebut dengan malaportiontmen. Di Indonesia, praktek penataan Dapil, kerap kali meleceng dari asas yang tercamtum dalam regulasi, seperti yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.  Asas dimaksud, antara lain, proporsioanal, ketaatan terhadap sistem proporsional, integralitas, kohesivitas, dan lain-lain. Mengapa ini terjadi? Karena operasi penataan Dapil dikendalian oleh DPR, bukan menjadi otoritas KPU.  Pola ini lekat dengan benturan kepentingan (conflict of interest), karena Anggota DPR adalah peserta Pemilu, yang akan berkompetisi di daerah pemilihan masing-masing. Penataan Dapil yang mestinya teknokratik, malah lebih kental dengan nuansa politik.

Histori Pilkada di Indonesia

Histori Pilkada di Indonesia Oleh : Dedi Irawan Anggota KPU Kabupaten Tangerang   1. Pilkada pada Awal Kemerdekaan: Cikal Bakal Demokrasi Lokal Seiring dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, negara ini mulai membangun sistem pemerintahan yang demokratis, termasuk di tingkat daerah. Meskipun fokus utama saat itu adalah mempertahankan kemerdekaan dan membentuk struktur pemerintahan pusat, gagasan tentang pemerintahan daerah yang demokratis telah muncul. Pada masa awal kemerdekaan, pemilihan kepala daerah belum dilakukan secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah seperti bupati dan walikota umumnya ditunjuk oleh pemerintah pusat atau dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang keanggotaannya pun belum sepenuhnya representatif karena masih dipilih secara terbatas. Meski begitu, semangat demokrasi mulai terlihat dari penyelenggaraan pemilihan anggota DPRD di beberapa daerah, meski belum seragam dan masih banyak keterbatasan, baik dari segi regulasi, infrastruktur, maupun kondisi keamanan. Periode ini menjadi fondasi awal bagi sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih demokratis di kemudian hari. 2. Pilkada pada Masa Orde Baru: Sentralisasi dan Dominasi Pemerintah Pusat Pada masa Orde Baru (1966–1998), sistem pemerintahan Indonesia sangat sentralistik. Presiden Soeharto, sebagai kepala negara, memiliki kontrol penuh terhadap jalannya pemerintahan di pusat maupun daerah. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, sistem Pilkada dilakukan secara tidak langsung melalui DPRD, yang mayoritas anggotanya berasal dari Golongan Karya (Golkar), partai pendukung utama Orde Baru. Kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan walikota, ditentukan melalui proses pemilihan di DPRD, tetapi sangat dipengaruhi oleh restu dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Seringkali, nama-nama calon kepala daerah yang diusulkan oleh DPRD harus mendapat persetujuan presiden, yang pada praktiknya membuat pemilihan kepala daerah hanya bersifat formalitas belaka. Kondisi ini menciptakan jarak antara pemerintah daerah dan masyarakat. Pilkada pada masa ini tidak mencerminkan aspirasi rakyat secara langsung, karena proses seleksinya sarat akan intervensi politik pusat, serta minim partisipasi publik. Praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi pun sering mewarnai proses ini. 3. Pilkada di Era Reformasi: Tonggak Awal Menuju Pilkada Langsung Reformasi yang bergulir sejak 1998 menjadi titik balik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tuntutan masyarakat akan demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas mendorong perubahan besar dalam berbagai sektor, termasuk sistem pemilihan kepala daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi tonggak awal desentralisasi, memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam mengelola urusannya sendiri. Meski pada awalnya Pilkada tetap dilakukan oleh DPRD, namun suasana politik yang lebih terbuka memungkinkan proses pemilihan yang relatif lebih bebas dari intervensi pusat. Puncak dari perubahan ini terjadi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, rakyat diberikan hak penuh untuk memilih langsung gubernur, bupati, dan walikota. Pilkada langsung pertama kali digelar pada tahun 2005 dan menjadi momentum besar dalam penguatan demokrasi lokal. Pilkada langsung dianggap sebagai cara efektif untuk meningkatkan akuntabilitas kepala daerah terhadap rakyat, sekaligus memperpendek rantai birokrasi yang selama ini menjadi hambatan dalam pembangunan daerah. Masyarakat kini memiliki peran sentral dalam menentukan pemimpinnya, dan partisipasi politik meningkat secara signifikan. 4. Alasan Pilkada Serentak Pilkada serentak di Indonesia merupakan sebuah sistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia. Sistem ini diterapkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan integritas penyelenggaraan pilkada, serta untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Efisiensi dan Efektivitas Salah satu alasan utama di balik pilkada serentak adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilihan. Dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak, pemerintah dapat menghemat biaya dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemilu. Selain itu, pilkada serentak juga dapat mengurangi waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk proses pemilu, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan.  Integritas dan Transparansi Pilkada serentak juga diharapkan dapat meningkatkan integritas dan transparansi penyelenggaraan pemilu. Dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak, pemerintah dapat lebih mudah untuk mengawasi dan mengontrol proses pemilu, sehingga dapat meminimalkan potensi kecurangan dan manipulasi. Selain itu, pilkada serentak juga dapat meningkatkan transparansi proses pemilu, sehingga masyarakat dapat lebih mudah untuk memantau dan mengawasi jalannya pemilu.  Partisipasi Masyarakat Pilkada serentak juga diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak, masyarakat dapat lebih mudah untuk terlibat dalam proses pemilu, karena mereka hanya perlu untuk memilih sekali dalam satu periode. Hal ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap proses demokrasi dan mendorong mereka untuk lebih aktif dalam berpartisipasi dalam proses politik.  Tantangan dan Pertimbangan Meskipun memiliki banyak keuntungan, pilkada serentak juga memiliki beberapa tantangan dan pertimbangan. Salah satu tantangannya adalah perlunya sumber daya yang cukup untuk penyelenggaraan pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, pilkada serentak juga dapat menimbulkan potensi konflik dan polarisasi di masyarakat, terutama jika terdapat banyak calon yang bersaing dalam satu daerah.  Pilkada serentak di Indonesia merupakan sebuah sistem pemilihan kepala daerah yang memiliki banyak keuntungan, seperti efisiensi, efektivitas, integritas, dan transparansi. Sistem ini juga diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Namun, pilkada serentak juga memiliki beberapa tantangan dan pertimbangan yang perlu diatasi. Dalam hal bersamaan anggota KPU RI idham Holik menyampaikan : “Sudah dua dasawarsa proses pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 secara langsung ini dilaksanakan dan mendapatkan apresiasi dari dunia internasional”. Sejarah Pilkada di Indonesia menunjukkan perjalanan panjang dari sistem yang sangat tersentralisasi menuju sistem demokrasi yang partisipatif. Dari masa penunjukan langsung oleh pemerintah pusat pada awal kemerdekaan, menuju dominasi Golkar dan pemerintahan Orde Baru, hingga akhirnya rakyat menjadi aktor utama dalam Pilkada langsung di era Reformasi. Perubahan ini tidak hanya mencerminkan dinamika politik nasional, tetapi juga semangat masyarakat Indonesia untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi, terutama di tingkat lokal. Pilkada langsung merupakan simbol dari kedaulatan rakyat yang sejati, meski tantangan seperti politik uang, dinasti politik, dan polarisasi masih menjadi pekerjaan rumah bersama.

Publikasi