Opini

30

Dinamika PAW Anggota DPR : Antara Penonaktifan dan Regulasi

Dinamika PAW Anggota DPR: Antara Penonaktifan dan Regulasi Oleh :  Dedi Irawan Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Beberapa hari terakhir dunia demokrasi Indonesia kembali diramaikan dengan maraknya aksi demonstrasi. Isu yang mengemuka kali ini dipicu oleh kebijakan pemerintah terkait tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik bereaksi keras, bukan hanya karena substansi kebijakan yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat, tetapi juga lantaran perilaku sejumlah anggota DPR yang justru memperburuk suasana. Salah satu momen yang viral adalah aksi menari beberapa anggota dewan di dalam Gedung DPR ketika masyarakat sedang meluapkan protes di luar. Fenomena tersebut menimbulkan gelombang kekecewaan dan kritik, baik dari masyarakat sipil maupun dari partai politik itu sendiri. Tidak sedikit yang menilai bahwa sikap tersebut mencederai marwah lembaga perwakilan rakyat. Sebagai respons, beberapa partai politik seperti Partai NasDem, PAN, dan Golkar mengambil langkah tegas dengan memberikan sanksi kepada kadernya. Bentuk sanksi yang dipilih adalah “penonaktifan” dari jabatan atau keanggotaan aktif di parlemen. Namun, keputusan ini justru memunculkan perdebatan. Pertanyaannya sederhana tetapi penting: apakah penonaktifan seorang anggota parlemen memiliki landasan hukum yang jelas? Apakah istilah ini sejalan dengan regulasi yang berlaku di Indonesia, khususnya terkait mekanisme pemberhentian dan penggantian antar waktu (PAW) anggota legislatif? Regulasi PAW di Indonesia Mekanisme pemberhentian dan penggantian anggota legislatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3). Dalam Pasal 239 UU MD3, disebutkan bahwa seorang anggota DPR dapat berhenti antarwaktu dari jabatannya karena tiga hal: Meninggal dunia. Mengundurkan diri. Diberhentikan. Dari ketentuan ini, jelas tidak ada istilah “penonaktifan” sebagaimana yang kini kerap dipraktikkan oleh partai politik. UU MD3 hanya mengenal dua istilah utama: pemberhentian antarwaktu dan pemberhentian sementara. Kategori Pemberhentian Sementara (vide UU MD3 Pasal 244 ayat (1) huruf a dan b): menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Pasal 5 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana telah diubah dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota menyatakan bahwa: Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena: meninggal dunia; mengundurkan diri;atau diberhentikan. Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b karena: Permintaan sendiri; dan/atau Ditetapkan sebagai calon peserta dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati danWakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota. Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila: Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun; Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah untuk Anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; diusulkan oleh Partai Politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD; melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPD dan DPRD; diberhentikan sebagai anggota Partai Politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; atau menjadi anggota Partai Politik lain bagi Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Problem Terminologi “Penonaktifan” Penggunaan istilah “penonaktifan” sesungguhnya menjadi titik masalah utama. Istilah ini lebih banyak digunakan dalam bahasa politik praktis ketimbang bahasa hukum. Dalam perspektif hukum tata negara, yang berlaku hanyalah pemberhentian sementara atau antarwaktu. Penggunaan istilah penonaktifan bisa berimplikasi kontradiktif. Di satu sisi, partai politik ingin menunjukkan ketegasan terhadap kadernya yang dianggap mencederai marwah parlemen. Di sisi lain, karena tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, penonaktifan justru membuka ruang multitafsir. Kekaburan inilah yang menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus mengurangi daya efektivitas sanksi politik. Publik bisa saja menilai bahwa penonaktifan hanyalah manuver politik partai untuk meredam kritik, tanpa diikuti tindak lanjut yang jelas. Implikasi Terhadap Demokrasi Indonesia Istilah “penonaktifan” bisa berdampak serius pada demokrasi. Pertama, publik bisa kehilangan kepercayaan pada parlemen jika melihat sanksi hanya berhenti pada simbol tanpa efek substantif. Kedua, dominasi partai politik yang terlalu kuat berpotensi mengurangi akuntabilitas anggota DPR terhadap rakyat, karena posisi mereka lebih ditentukan oleh elite partai ketimbang konstituen. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa menciptakan jurang antara rakyat dengan wakilnya. Anggota legislatif mungkin merasa lebih perlu menjaga hubungan baik dengan partai daripada dengan masyarakat yang memilih mereka. Padahal, dalam demokrasi representatif, wakil rakyat seharusnya bertanggung jawab pertama-tama kepada rakyat, bukan semata kepada partai.   Penutup Dinamika terbaru terkait sanksi “penonaktifan” terhadap anggota DPR yang dianggap mencederai marwah lembaga, sesungguhnya membuka ruang diskusi penting mengenai mekanisme pemberhentian dan PAW di Indonesia. UU MD3 sudah mengatur pemberhentian tetap dan sementara, tetapi tidak mengenal istilah penonaktifan. Maka, tantangan bagi Indonesia adalah menemukan titik keseimbangan: bagaimana mekanisme PAW bisa tetap efisien tetapi juga memberi ruang bagi akuntabilitas kepada rakyat. Untuk itu, revisi regulasi mungkin diperlukan agar istilah dan mekanisme pemberhentian lebih jelas, tidak menimbulkan multitafsir, dan benar-benar efektif sebagai bentuk pertanggungjawaban wakil rakyat. Dengan begitu, demokrasi Indonesia dapat terus berkembang, tidak hanya dalam prosedur, tetapi juga dalam substansi dan integritas kelembagaannya.


Selengkapnya
95

Pilkada Secara Demokratis

Pilkada Secara Demokratis Oleh : Dedi Irawan  Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan melalui DPRD kembali muncul ke permukaan, hal itu disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pemilihan kepala daerah diatur dalam UUD 1945. Pasal itu mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, pasal 18 ayat (4) U UD 1945 yang berbunyi : “ Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai Kepala Pemerintah  Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”. Tito Karnavian berpendapat sistem demokrasi itu tidak harus dilakukan dengan pemilihan secara langsung. Menurutnya, demokrasi juga bisa dipahami dengan memberikan kepercayaan kepada perwakilan rakyat.  Diskursus penataan sistem pemilihan kepala daerah juga kembali mencuat lewat Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, beberapa pekan lalu. Muhaimin merespons putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, pada 26 Juni 2025. Muhaimin mengusulkan dua opsi pemilihan kepala daerah. Pertama, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat. Kedua, pemilihan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dipilih oleh rakyat melalui DPRD kabupaten-kota. "PKB berkesimpulan harus dicari jalan yang efektif antara kemauan rakyat dengan kemauan pemerintah pusat. Selama ini pilkada secara langsung ini berbiaya tinggi, maka kami mengusulkan dua pola itu,” kata Muhaimin, yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, dalam peringatan Hari Lahir ke-27 PKB di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, pada Rabu, 23 Juli 2025. Namun, Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia Titi Anggraini menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD sudah tutup buku setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024. Ia mengatakan, pada putusan 135 itu, MK menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD. Sehingga konsekuensi putusan itu adalah pilkada secara langsung seharusnya tetap dipertahankan. Disisi lain KPU menyatakan, undang-undang (UU) mengamanatkan agar pilkada digelar secara langsung atau melibatkan masyarakat. "Implementasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pilkada secara langsung merupakan bagian penting dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Sudah dua dasawarsa Indonesia melaksanakan Pilkada secara langsung," kata Komisioner KPU Idham Holik. Pilkada Langsung vs DPRD Dari perspektif konstitusi, baik pilkada secara langsung maupun pilkada oleh DPRD dapat dilakukan karena UUD 1945 hanya menentukan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Baik mekanisme pilkada oleh rakyat maupun pilkada melalui ”Wakil” rakyat adalah mekanisme pemilihan yang demokratis sepanjang memang dilaksanakan secara demokratis. Kata ”Demokratis” merupakan refleksi dari dua pandangan yang ada saat pembahasan Perubahan UUD 1945, yaitu yang mengusulkan pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan yang masih menghendaki pilkada dilakukan oleh DPRD. Kesepakatan rumusan ”Secara Demokratis” untuk pilkada dicapai dengan maksud agar bersifat fleksibel. DINAMIKA PILKADA Dalam pelaksanaannya, terdapat perkembangan dan problem dalam penyelenggaraan pilkada. Perkembangan hukum signifikan adalah pergeseran rezim hukum pilkada. UU Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemerintahan daerah. Ketentuan pilkada dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah pernah diajukan pengujian kepada MK karena tidak diposisikan sebagai bagian dari rezim pemilu, tetapi bagian dari rezim pemerintahan daerah. Dalam Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan apakah pilkada dilakukan secara langsung atau tidak serta menentukan apakah pilkada diatur dalam rezim pemilu atau tidak walaupun dari sisi substansi adalah pemilu dan harus dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pemilu. Dalam perkembangannya, melalui UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, pembentuk UU menempatkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu. Pasal 1 angka 1 UU No 22/2007 menyebut secara tegas istilah pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada). Pasal 1 angka 2 UU No 22/2007 juga menegaskan tentang tugas penyelenggara pemilu yang juga meliputi menyelenggarakan pilkada. Pilkada pernah ditetapkan dilakukan oleh DPRD melalui UU No 22/2014. Namun, karena mendapat reaksi publik yang keras, pilkada dikembalikan kepada rakyat melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perubahan lain adalah adanya putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menetapkan pilkada bukan merupakan rezim pemilu. Berbagai macam perkembangan yang terjadi merupakan upaya untuk menyelesaikan berbagai problem yang muncul dan terjadi dalam pelaksanaan pilkada. Dua hal utama yang harus dihadirkan agar pilkada secara langsung semakin berkualitas dan mencegah terjadinya fenomena negatif adalah, pertama, penegakan hukum dan peningkatan kesadaran politik masyarakat. Penegakan hukum sangat diperlukan terutama untuk menjaga dan mengadili pelanggaran pilkada sehingga tidak merusak esensi pilkada itu sendiri. Pelanggaran dapat dilakukan siapa pun, baik peserta, penyelenggara, aparat, ataupun warga negara biasa. Semuanya harus diperlakukan secara sama. Kedua, diperlukan peningkatan kesadaran politik masyarakat. Kesadaran dalam hal ini tidak hanya pengetahuan dan keterampilan aturan dan teknis pelaksanaan pilkada. Kesadaran yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran terhadap makna kedaulatan rakyat dan suara yang dimiliki sebagai warga negara, serta konsekuensi dari pilihannya. Kesadaran ini juga meliputi nilai dan etika dalam berdemokrasi sehingga tidak akan dapat disuap, menjual suara, ataupun melakukan tindakan lain yang merusak demokrasi.   DERAJAT DEMOKRASI Namun, pada saat kita sudah menentukan pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, kemudian diubah menjadi pemilihan oleh DPRD, perlu dipertimbangkan lagi pengaruhnya terhadap perubahan ”derajat” demokrasi di daerah. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tentu dirasakan ”lebih demokratis” jika dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Konsekuensinya, perubahan menjadi pemilihan oleh DPRD akan mengurangi derajat demokrasi. Ada dua hal penting mengapa pemilihan oleh DPRD akan mengurangi derajat demokrasi. Pertama, hal itu akan menghilangkan satu ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pilkada. Partisipasi ini memang dapat diwakili oleh anggota DPRD, tetapi semakin banyak ruang partisipasi langsung tentu lebih baik dan bisa jadi terdapat perbedaan antara pilihan rakyat dan pilihan anggota DPRD yang lebih didominasi pilihan partai politik. Perbedaan antara pilihan rakyat dengan pilihan partai politik sudah banyak terlihat dari hasil pemilihan kepala daerah jika membandingkan antara suara yang diperoleh pasangan calon dengan kekuatan partai politik pengusul. Kedua, hilangnya ruang partisipasi langsung akan berakibat menjauhnya hubungan antara kepala daerah dan masyarakat di daerah. Hubungan dalam hal ini berisi kewajiban gubernur/bupati/wali kota memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat serta legitimasi bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan publik. Sangat dikhawatirkan perubahan itu akan mengakibatkan kepala daerah semakin abai terhadap aspirasi masyarakat karena merasa legitimasinya berasal dari anggota DPRD. Dinamika hukum yang mengatur pilkada telah terjadi sejak awal reformasi. Telah lebih dari 20 tahun pengaturan pilkada dibentuk, dilaksanakan, diuji, dan diubah dengan tujuan untuk menemukan model yang paling sesuai dengan makna demokrasi berdasar UUD 1945 dan kondisi masyarakat Indonesia. Ruang diskursus perubahan tentu harus selalu dibuka. Setiap sistem tentu memiliki kelemahan, termasuk pilkada secara langsung.(Janedjri M Gaffar Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi 2003-2015


Selengkapnya
73

Simulasi Teknokratik Penataan Dapil III Banten

Momentum Pemekaran Dapil Banten III Oleh: Endi Biaro Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Momentum perubahan Undang Undang Pemilu mencapai daya gedor luar biasa keras, pasca keluarnya Putusan Mahkamah Kosititsitusi tentang Pemilu serentak.  Sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) putusan MK bersifat deklaratif, berlaku final dan mengikat, menafsir setiap permasalahan konsititusionalitas sebuah undang-undang (the sole interpreter of constitution).  Di luar konteks perdedatan yang kini mengemuka, terjadi blessing in disguise (berkah tak lansung), bahwa kesadaran para pihak untuk segera merevisi Undang Undang Pemilu kian terasa kencang. Putusan ini hadir tepat waktu. Pembentuk undang-undang, yakni DPR, masih leluasa untuk mempersiakan segala hal. Di sisi lain, masyarakat luas juga berkesempatan melakukan partisipasi bermaka (meaningful participation). Di sisi lain, mahkamah  memang kerap menjadi sumber reformasi hukum Pemilu. Fenomena ini kerap disebut dengan yudisalisasi politik, terkait dengan menguatnya peran MK dalam pengaturan Pemilu.  Menurut Kepala Biro Hukum MK, Fajar Laksono, UU Nomor  7 Tahun 2017 mengalami 152 kali uji materi (atau judicial review). Sementara buku Reformasi Pemilu Jalur Mahkamah Konstitusi, Perludem, 2024, menyebut ada belasan putusan MK yang mengubah, menghapus, memberi norma baru, terhadap UU Pemilu. Nyata sepenuhnya, agenda revisi UU Pemilu harus segera terlaksana. Lantaran begitu banyak masalah dan perkara dalam aturan kepemiluan  yang perlu dierbaiki. Hal ini guna menjamin kepastian hukum dan mejamin terlaksanana Pemilu bermartabat (genuine election). Hukum dan Sistem Pemilu Undang Undang Pemilu adalah akar tunjang dari kerangka hukum kemiluan, meciptakan sistem pemilu, yang akan fondasi pelaksanaan Pemilu. Hukum Pemilu dibutuhkan guna mengadirkan electoral justice system (keadilan Pemilu), yang mengatur seluruh aspek, bersifat tegas atau tak multitafsir, dan bisa dilaksanakan (executeable).  Sementara sistem Pemilu adalah prosedur dan rangkaian untuk mengkonversi suara rayat menjadi kursi. Terdapat adagium, yang kerap dilontarkan pakar kepemiluan, Prof. Ramlan Surbakti, bahwa Pemilu demokratis adalah prosedur yang pasti dan bisa diprediksi sementara hasilya tak pasti dan tak bisa diprediksi (predictable procedure, with unpredictable result). Dengan demikian, agenda perubahan UU Pemilu secara subtantif berpijak pada kepentingan memproduksi sistem dan tata kelola pemilu yang beringritas, yakni bersifat free and fair election (akuntabel, transparan, partisipatif, dan adil). Dalam studi kepemiluan, termasuk norma yang berlaku di dunia internasional, unsur-unsur sistem Pemilu demokratis terdiri dari: (1) besaran daerah pemilihan atau district magnitude, (2) pencalonan (candidacy), (3) pemberian suara (balloting), (4) ambang batas atau threshold, (5) pendajwalan, dan (6) konversi suara menjadi kursi. Penelaahan serius atas perdebatan publik terkait perubahan UU Pemilu mengarah ke beberapa poin di atas.  Isu tentang penataan Dapil, misalnya, salah satu prioritas yang mengemuka, di samping isu-isu mayor lainya. Seperti menurunkan ambang batas parlemen,  mengganti sistem konversi suara dari Sainte Lague ke Divisor (bilangan pembagi pemilih), mengatur keserentakan Pemilu Nasional dan Lokal, dan lain-lain. Konteks Penataan Dapil Keadilan Pemilu lahir jika suara rakyat bernilai setara. Kualitas penyelenggaraan Pemilu bukan hanya soal hak-hak politik terjamin dan pemilih bebes mencoblos di bilik suara. Melainkan juga memastikan bahwa nilai atau bobot suara pemilih setara, terhindar dari bias ketimpanga suara (deviasi).  Semua itu bisa teradi jika penataan Daerah Pemilihan dilakukan secara teknokratis, berbasis data, akademik, dan menghormati kaidah hukum.Tak boleh lagi penataan Dapil diakukan hanya asal-asalan atau bahkan akal-akalan. Problem yang kerap kali diabaikan adalah mengukur bobot dan dampak suara yang diberkan Pemilih. Padahal ukurannya jelas, satu pemilih, satu suara, dan satu nilai (OPOVOV, one person, one vote, one value).  Jika terjadi fakta bahwa bobot suara pemilih tak setara, maka prinsip keadilan tercederai. Garansi untuk menghadirkan nilai suara yang setara adalah dengan mengatur Daerah Pemilihan secara teknokratis, berbasis data penduduk, memperhatikan karakter geografis, dan karakter demografis.  Guna menghindari terjadinya Dapil yang tidak proporsional, terlalu banyak jatah kursi (over represented) atau malah sebaliknya, under represented (alokasi kursi yang kurang mewakili). Fenomena ini disebut dengan malaportiontmen. Di Indonesia, praktek penataan Dapil, kerap kali meleceng dari asas yang tercamtum dalam regulasi, seperti yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.  Asas dimaksud, antara lain, proporsioanal, ketaatan terhadap sistem proporsional, integralitas, kohesivitas, dan lain-lain. Mengapa ini terjadi? Karena operasi penataan Dapil dikendalian oleh DPR, bukan menjadi otoritas KPU.  Pola ini lekat dengan benturan kepentingan (conflict of interest), karena Anggota DPR adalah peserta Pemilu, yang akan berkompetisi di daerah pemilihan masing-masing. Penataan Dapil yang mestinya teknokratik, malah lebih kental dengan nuansa politik.


Selengkapnya
286

Histori Pilkada di Indonesia

Histori Pilkada di Indonesia Oleh : Dedi Irawan Anggota KPU Kabupaten Tangerang   1. Pilkada pada Awal Kemerdekaan: Cikal Bakal Demokrasi Lokal Seiring dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, negara ini mulai membangun sistem pemerintahan yang demokratis, termasuk di tingkat daerah. Meskipun fokus utama saat itu adalah mempertahankan kemerdekaan dan membentuk struktur pemerintahan pusat, gagasan tentang pemerintahan daerah yang demokratis telah muncul. Pada masa awal kemerdekaan, pemilihan kepala daerah belum dilakukan secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah seperti bupati dan walikota umumnya ditunjuk oleh pemerintah pusat atau dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang keanggotaannya pun belum sepenuhnya representatif karena masih dipilih secara terbatas. Meski begitu, semangat demokrasi mulai terlihat dari penyelenggaraan pemilihan anggota DPRD di beberapa daerah, meski belum seragam dan masih banyak keterbatasan, baik dari segi regulasi, infrastruktur, maupun kondisi keamanan. Periode ini menjadi fondasi awal bagi sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih demokratis di kemudian hari. 2. Pilkada pada Masa Orde Baru: Sentralisasi dan Dominasi Pemerintah Pusat Pada masa Orde Baru (1966–1998), sistem pemerintahan Indonesia sangat sentralistik. Presiden Soeharto, sebagai kepala negara, memiliki kontrol penuh terhadap jalannya pemerintahan di pusat maupun daerah. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, sistem Pilkada dilakukan secara tidak langsung melalui DPRD, yang mayoritas anggotanya berasal dari Golongan Karya (Golkar), partai pendukung utama Orde Baru. Kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan walikota, ditentukan melalui proses pemilihan di DPRD, tetapi sangat dipengaruhi oleh restu dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Seringkali, nama-nama calon kepala daerah yang diusulkan oleh DPRD harus mendapat persetujuan presiden, yang pada praktiknya membuat pemilihan kepala daerah hanya bersifat formalitas belaka. Kondisi ini menciptakan jarak antara pemerintah daerah dan masyarakat. Pilkada pada masa ini tidak mencerminkan aspirasi rakyat secara langsung, karena proses seleksinya sarat akan intervensi politik pusat, serta minim partisipasi publik. Praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi pun sering mewarnai proses ini. 3. Pilkada di Era Reformasi: Tonggak Awal Menuju Pilkada Langsung Reformasi yang bergulir sejak 1998 menjadi titik balik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tuntutan masyarakat akan demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas mendorong perubahan besar dalam berbagai sektor, termasuk sistem pemilihan kepala daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi tonggak awal desentralisasi, memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam mengelola urusannya sendiri. Meski pada awalnya Pilkada tetap dilakukan oleh DPRD, namun suasana politik yang lebih terbuka memungkinkan proses pemilihan yang relatif lebih bebas dari intervensi pusat. Puncak dari perubahan ini terjadi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, rakyat diberikan hak penuh untuk memilih langsung gubernur, bupati, dan walikota. Pilkada langsung pertama kali digelar pada tahun 2005 dan menjadi momentum besar dalam penguatan demokrasi lokal. Pilkada langsung dianggap sebagai cara efektif untuk meningkatkan akuntabilitas kepala daerah terhadap rakyat, sekaligus memperpendek rantai birokrasi yang selama ini menjadi hambatan dalam pembangunan daerah. Masyarakat kini memiliki peran sentral dalam menentukan pemimpinnya, dan partisipasi politik meningkat secara signifikan. 4. Alasan Pilkada Serentak Pilkada serentak di Indonesia merupakan sebuah sistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia. Sistem ini diterapkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan integritas penyelenggaraan pilkada, serta untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Efisiensi dan Efektivitas Salah satu alasan utama di balik pilkada serentak adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilihan. Dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak, pemerintah dapat menghemat biaya dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemilu. Selain itu, pilkada serentak juga dapat mengurangi waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk proses pemilu, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan.  Integritas dan Transparansi Pilkada serentak juga diharapkan dapat meningkatkan integritas dan transparansi penyelenggaraan pemilu. Dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak, pemerintah dapat lebih mudah untuk mengawasi dan mengontrol proses pemilu, sehingga dapat meminimalkan potensi kecurangan dan manipulasi. Selain itu, pilkada serentak juga dapat meningkatkan transparansi proses pemilu, sehingga masyarakat dapat lebih mudah untuk memantau dan mengawasi jalannya pemilu.  Partisipasi Masyarakat Pilkada serentak juga diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak, masyarakat dapat lebih mudah untuk terlibat dalam proses pemilu, karena mereka hanya perlu untuk memilih sekali dalam satu periode. Hal ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap proses demokrasi dan mendorong mereka untuk lebih aktif dalam berpartisipasi dalam proses politik.  Tantangan dan Pertimbangan Meskipun memiliki banyak keuntungan, pilkada serentak juga memiliki beberapa tantangan dan pertimbangan. Salah satu tantangannya adalah perlunya sumber daya yang cukup untuk penyelenggaraan pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, pilkada serentak juga dapat menimbulkan potensi konflik dan polarisasi di masyarakat, terutama jika terdapat banyak calon yang bersaing dalam satu daerah.  Pilkada serentak di Indonesia merupakan sebuah sistem pemilihan kepala daerah yang memiliki banyak keuntungan, seperti efisiensi, efektivitas, integritas, dan transparansi. Sistem ini juga diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Namun, pilkada serentak juga memiliki beberapa tantangan dan pertimbangan yang perlu diatasi. Dalam hal bersamaan anggota KPU RI idham Holik menyampaikan : “Sudah dua dasawarsa proses pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 secara langsung ini dilaksanakan dan mendapatkan apresiasi dari dunia internasional”. Sejarah Pilkada di Indonesia menunjukkan perjalanan panjang dari sistem yang sangat tersentralisasi menuju sistem demokrasi yang partisipatif. Dari masa penunjukan langsung oleh pemerintah pusat pada awal kemerdekaan, menuju dominasi Golkar dan pemerintahan Orde Baru, hingga akhirnya rakyat menjadi aktor utama dalam Pilkada langsung di era Reformasi. Perubahan ini tidak hanya mencerminkan dinamika politik nasional, tetapi juga semangat masyarakat Indonesia untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi, terutama di tingkat lokal. Pilkada langsung merupakan simbol dari kedaulatan rakyat yang sejati, meski tantangan seperti politik uang, dinasti politik, dan polarisasi masih menjadi pekerjaan rumah bersama.


Selengkapnya
117

Algoritma Pemilu dan Kotak Pandora Putusan MK

Algoritma Pemilu dan Kotak Pandora Putusan MK Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab. Tangerang   Sisi terbaik dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah meletupkan percakapan publik.  Membuka ruang diskusi berbasis argumentasi. Seraya meningkatkan kualitas   pertukaran informasi dari segala sisi. Putusan mahkamah tentang pengaturan keserentakan Pemilu ini seperti membuka kotak padora,  meyebulkan aneka persoalan kepemiluan ke permukaan. Dalam mitologi Yunani, kotak pandora adalah sebuah misteri yang tertutup, lantas terbuka. Benar, dominasi perdebatan yang paling menyita atensi; apakah judicial order dari MK ke para pembuat undang-undang bisa dilaksakan atau tidak. perintah itu disebut ultra petita (pengabulan melampaui permohonan), terlalu detil mengurus teknis yang mestinya menjadi open legal policy (kebijakan terbuka), dan deklarasi keras bahwa MK  inkonsisten sekaligus inkonstitusional. Sumber respon kontra ini mayoritas bersumber dari elit politik dan parlemen. Sementara para pakar, pegiat isu kepemiluan, akademisi, penyelenggara, dan intelektual kritis,  memberikan perspektif yang lain. Per definisi, pola saling tanggap ini terkesan opposition biner (saling berlawanan). Senyatanya tidak. Lantaran masih ada diskursus yang merambah tema-tema lebih penting. Pelacakan paling awal menyetuh aspek genting dan mendesak. Melakukan perbaikan, revisi atau perubahan terhadap Undang Undang Pemilu. Kebutuhan mendesak ini menemukan momentum di saat ini, dan tambah kencang dengan keluarnya putusan MK. Tertutup sudah ruang pengabaian di parlemen. Kita berpengalaman pasca Pemilu 2019. Saat itu desakan perubahan UU Pemilu begitu kuat, namun DPR menguci rapat, bahkan rencana pembahasan menghilang dari Prolegnas (Program Legisasi Nasional). Daya ledak putusan itu menggedor benak khalayak. Percakapan publik kini menyasar isu-isu tambahan (terkait sistem pemilu). Di sisi lain, kalangan masyarakat sipil kini memiliki wawasan baru, bahwa begitu banyak alasan untuk segera membahas revisi UU Pemilu. Di aras sistemik, putusan yang bermula dari uji materi oleh Perludem ini, memaparkan problem rumit Pemilu Lima Kotak (di 2019 dan 2024) sekaligus resolusi yang wajib ditindaklanjuti. Betapa banyak korban meninggal, redupnya agenda lokal oleh kontestasi Pilpres, kualitas penyelenggaraan di bawah standar (angka suara tak sah tinggi, jauh di atas standar internasional, mecapai 8%n dan 10%), kejenuhan pemilih, kerumitan produksi dan distribusi logistik, sampai  tetap tingginya pelaggaran atau sengketa. Putusan MK  memaksa semua pihak melakukan reevaluasi atas sistem Pemilu kita. Di level teknis, diskursus perbaikan elemen sistem Pemilu kian menguat. Pemilu bermartabat (genuine election), tercermin dari sistem yang adil dan jujur. Maka perbaikan elemen teknis menjadi perlu. Opini para ahli tentang hal ini bermunculan. Tema-tema seputar penataan daerah pemilihan, penerapan sistem proporsioal campuran, menghitung kembali ambang batas parlemen, menerapkan konversi suara ke kursi dengan formula BPP (bilangan pembagi pemilih), pola rekrutmen calon,  penegakan hukum, sampai soal seleksi  penyelenggara sebelum tahapan Pemilu dimulai, kerap bermuculan. Semula, elemen teknis ini mejadi isu minor, kini major (sering diwacanakan). Sepertinya ini paralel dengan pergeseran selera diskusi publik di media sosial, yang mulai gandrung terhadap pembahasan  mendalam, argumentatif, merujuk pada influencer yang kompeten, serta gelisah terhadap perbaikan demokrasi politik. Termasuk isu-isu seputar Pemilu. Lalu bagaimana artikulasi kita dengan algoritma isu Pemilu yang sedang hits ini? Mengawal putusan  MK adalah kemestian, ini langkah pertama. Ingat, ada belasan amar putusan yang wajib masuk di UU Pemilu yang baru, bukan hanya soal pengaturan keserentakan. Langkah kedua, sebagaimana dilakukan Perludem dan kalangan masyarakat madani lainya, mersepon setiap penyesatan informasi dan pemutarbalkan fakta. Melucurkan variasi informasi secara intensif, bukan hanya bermakna terhadap edukasi publik, melainkan memperluas dukungan untuk advokasi. Gerakan memperkuat partisipasi bermakna (meaningful participations) ke banyak segmen masyarakat sipil, termasuk dengan kalangan penyeleggara. Evaluasi bersama, bedah kasus, dan rekomedasi aksi, akan berguna dalam berhadap-hadapan dengan agenda tersembunyi para aktor. Ini langkah ketiga. Memperbanyak upaya kreatif untuk melambungkan isu Pemilu, sebagai langkah keempat, adalah mengokohkan jejaring dan melipatgandakan partisiaspi aktif publik. Saat ini, cukup banyak influencer dan konten kreator yang berani kritis dan berpihak pada jeritan rakyat. Insya Allah.


Selengkapnya
56

Pemilu 2024 : Mengenal Dapil dan Alokasi Kursi DPRD Kabupaten Tangerang

Pemilu 2024 : Mengenal Dapil dan Alokasi Kursi DPRD Kabupaten Tangerang Oleh : Dedi Irawan  Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Secara umum, Total 2.710 daerah pemilihan (Dapil) dengan jumlah kursi sebanyak 20.462 tersebar di 38 provinsi se-Indonesia untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Total Dapil dan jumlah kursi tersebut tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2023. PKPU 6/2023 mengatur tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilahan Umum Tahun 2024. Klasifikasi Dapil di wilayah Indonesia pada pemilu tahun 2024 : Di Dapil DPR RI terdiri 84 Dapil dan 580 Kursi, Di Tingkat DPRD Provinsi terdiri dari 301 Dapil dan 2.372 Kursi, serta Ditingkat Kabupaten/ kota ada 2.325  dengan jumlah Kursi 17.510. Di Kabupaten Tangerang, Untuk Pemilu tahun 2024 terdapat perubahan untuk alokasi kursi DPRD. Kabupaten Tangerang dikarenakan bertambahnya penduduk, yang semua berjumlah 50 Kursi untuk tahun 2019 di pemilu 2024 kemarin bertambah 5 kursi dengan total semuanya 55 Kursi. Dapil menjadi hal yang sangat krusial dalam pelaksanaan pemilu. Hal itu karena Dapil merupakan tempat para calon legislatif (caleg) untuk meraih banyak suara atau berkontestasi. Dengan bertambahnya kursi dihampir setiap Dapil menjadi tantangan sebenarnya untuk semua peserta pemilu untuk menambah kursinya atau bahkan partai yang sebelumnya belum mendapatkan kursi untuk bisa mengambil peran dengan kondisi tersebut, hal ini pula menjadi tantangan untuk penyelenggara karena pastinya semakin bertambah beban kerja karena pemilihnya semakin bertambah salah satunya dalam hal pemutakhiran DPT-nya. Tercatat dalam urutan DPT di seluruh Indonesia, Kabupaten Tangerang menjadi nomor 3 tertinggi DPTnya, setelah Kabupaten Bogor dan Kota Jakarta Timur. Selain wilayah dengan letak geografis yang luas, Masyarakat urban yang sangat tinggi populasinya, kabupaten Tangerang juga menjadi wilayah yang spesial dan lengkap karena semua lini sektor perekonomian tersedia mulai dari pertanian, kelautan, serta industri menjadi ciri khas kabupaten Tangerang ditambah dengan populasi penduduk yang sangat padat. Dibawah ini merupakan pembagian wilayah Dapil DPRD Kabupaten, di wilayah kabupaten Tangerang Pada Pemilu Tahun 2024 dari Jumlah 29 Kecamatan dan 274 Desa/ Kelurahan, terbagi menjadi 6 Dapil. Pembagiannya antara lain : Dapil 1 terdiri dari 6 Kecamatan (Tigaraksa, Jambe, Cisoka, Solear, Jayanti, Balaraja) dari 6 Kecamatan ini memiliki alokasi 10 Kursi. Dapil 2 terdiri dari 8 Kecamatan (Sukamulya, Kresek, Gunung Kaler, Mekar Baru, Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri) dari 8 Kecamatan ini memiliki alokasi 9 Kursi. Dapil 3 terdiri dari 5 Kecamatan (Sepatan, Sepatan Timur, Pakuhaji, Teluknaga, Kosambi) dari 5 Kecamatan ini memiliki alokasi 10 Kursi. Dapil 4 terdiri dari 3 Kecamatan (Pasar Kemis, Sindang Jaya, Rajeg) dari 3 Kecamatan ini memiliki alokasi 9 Kursi. Dapil 5 terdiri dari 3 Kecamatan (Curug, Cikupa, Panongan) dari 3 Kecamatan ini memiliki alokasi 9 Kursi. Dapil 6 terdiri dari 4 Kecamatan (Kelapa Dua, Cisauk, Pagedangan, Legok) dari 4 Kecamatan ini memiliki alokasi 8 Kursi. Tujuan pembentukan dapil adalah untuk menetapkan alokasi kursi yang menjadi dasar dalam mengajukan calon oleh pimpinan partai politik (parpol) dan menetapkan calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih. Dapil berperan sebagai sebagai tempat di mana para calon legislatif bersaing dan berkontestasi untuk mendapatkan dukungan suara. Sistem Dapil adalah manifestasi dari representasi politik dan demokrasi perwakilan yang bertujuan agar rakyat dan wakil rakyat yang terpilih tetap dapat menjaga hubungan dan komunikasi kepentingan setelah Pemilu selesai. Melalui sistem Dapil, konstituen dapat mengetahui siapa yang mewakili suara dan aspirasi mereka, dan kepada siapa mereka dapat menuntut akuntabilitas. Demikian pula, wakil rakyat mengetahui siapa yang mereka wakili dan kepada siapa mereka harus bertanggung jawab atas amanah kekuasaan yang diembannya.


Selengkapnya