Dinamika PAW Anggota DPR : Antara Penonaktifan dan Regulasi
Dinamika PAW Anggota DPR: Antara Penonaktifan dan Regulasi Oleh : Dedi Irawan Anggota KPU Kabupaten Tangerang Beberapa hari terakhir dunia demokrasi Indonesia kembali diramaikan dengan maraknya aksi demonstrasi. Isu yang mengemuka kali ini dipicu oleh kebijakan pemerintah terkait tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik bereaksi keras, bukan hanya karena substansi kebijakan yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat, tetapi juga lantaran perilaku sejumlah anggota DPR yang justru memperburuk suasana. Salah satu momen yang viral adalah aksi menari beberapa anggota dewan di dalam Gedung DPR ketika masyarakat sedang meluapkan protes di luar. Fenomena tersebut menimbulkan gelombang kekecewaan dan kritik, baik dari masyarakat sipil maupun dari partai politik itu sendiri. Tidak sedikit yang menilai bahwa sikap tersebut mencederai marwah lembaga perwakilan rakyat. Sebagai respons, beberapa partai politik seperti Partai NasDem, PAN, dan Golkar mengambil langkah tegas dengan memberikan sanksi kepada kadernya. Bentuk sanksi yang dipilih adalah “penonaktifan” dari jabatan atau keanggotaan aktif di parlemen. Namun, keputusan ini justru memunculkan perdebatan. Pertanyaannya sederhana tetapi penting: apakah penonaktifan seorang anggota parlemen memiliki landasan hukum yang jelas? Apakah istilah ini sejalan dengan regulasi yang berlaku di Indonesia, khususnya terkait mekanisme pemberhentian dan penggantian antar waktu (PAW) anggota legislatif? Regulasi PAW di Indonesia Mekanisme pemberhentian dan penggantian anggota legislatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3). Dalam Pasal 239 UU MD3, disebutkan bahwa seorang anggota DPR dapat berhenti antarwaktu dari jabatannya karena tiga hal: Meninggal dunia. Mengundurkan diri. Diberhentikan. Dari ketentuan ini, jelas tidak ada istilah “penonaktifan” sebagaimana yang kini kerap dipraktikkan oleh partai politik. UU MD3 hanya mengenal dua istilah utama: pemberhentian antarwaktu dan pemberhentian sementara. Kategori Pemberhentian Sementara (vide UU MD3 Pasal 244 ayat (1) huruf a dan b): menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Pasal 5 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana telah diubah dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota menyatakan bahwa: Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena: meninggal dunia; mengundurkan diri;atau diberhentikan. Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b karena: Permintaan sendiri; dan/atau Ditetapkan sebagai calon peserta dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati danWakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota. Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila: Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun; Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah untuk Anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; diusulkan oleh Partai Politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD; melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPD dan DPRD; diberhentikan sebagai anggota Partai Politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota; atau menjadi anggota Partai Politik lain bagi Anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Problem Terminologi “Penonaktifan” Penggunaan istilah “penonaktifan” sesungguhnya menjadi titik masalah utama. Istilah ini lebih banyak digunakan dalam bahasa politik praktis ketimbang bahasa hukum. Dalam perspektif hukum tata negara, yang berlaku hanyalah pemberhentian sementara atau antarwaktu. Penggunaan istilah penonaktifan bisa berimplikasi kontradiktif. Di satu sisi, partai politik ingin menunjukkan ketegasan terhadap kadernya yang dianggap mencederai marwah parlemen. Di sisi lain, karena tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, penonaktifan justru membuka ruang multitafsir. Kekaburan inilah yang menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus mengurangi daya efektivitas sanksi politik. Publik bisa saja menilai bahwa penonaktifan hanyalah manuver politik partai untuk meredam kritik, tanpa diikuti tindak lanjut yang jelas. Implikasi Terhadap Demokrasi Indonesia Istilah “penonaktifan” bisa berdampak serius pada demokrasi. Pertama, publik bisa kehilangan kepercayaan pada parlemen jika melihat sanksi hanya berhenti pada simbol tanpa efek substantif. Kedua, dominasi partai politik yang terlalu kuat berpotensi mengurangi akuntabilitas anggota DPR terhadap rakyat, karena posisi mereka lebih ditentukan oleh elite partai ketimbang konstituen. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa menciptakan jurang antara rakyat dengan wakilnya. Anggota legislatif mungkin merasa lebih perlu menjaga hubungan baik dengan partai daripada dengan masyarakat yang memilih mereka. Padahal, dalam demokrasi representatif, wakil rakyat seharusnya bertanggung jawab pertama-tama kepada rakyat, bukan semata kepada partai. Penutup Dinamika terbaru terkait sanksi “penonaktifan” terhadap anggota DPR yang dianggap mencederai marwah lembaga, sesungguhnya membuka ruang diskusi penting mengenai mekanisme pemberhentian dan PAW di Indonesia. UU MD3 sudah mengatur pemberhentian tetap dan sementara, tetapi tidak mengenal istilah penonaktifan. Maka, tantangan bagi Indonesia adalah menemukan titik keseimbangan: bagaimana mekanisme PAW bisa tetap efisien tetapi juga memberi ruang bagi akuntabilitas kepada rakyat. Untuk itu, revisi regulasi mungkin diperlukan agar istilah dan mekanisme pemberhentian lebih jelas, tidak menimbulkan multitafsir, dan benar-benar efektif sebagai bentuk pertanggungjawaban wakil rakyat. Dengan begitu, demokrasi Indonesia dapat terus berkembang, tidak hanya dalam prosedur, tetapi juga dalam substansi dan integritas kelembagaannya.
Selengkapnya