Opini

1061

E Voting di Pilkades 2027, Tantangan Psikologis dan Politis

E Voting di Pilkades 2027, Tantangan Psikologis dan Politis Oleh: Endi Biaro Anggota Komisioner KPU Kab Tangerang   Diskusi penggunaan e voting di Pilkades, seharusnya berpijak pada kerangka kerja (persiapan, mitigasi,  perbaikan sistem, dan sosialisasi). Mengapa? Praktis, secara teknis, metode Pilkades digital itu sudah sering dipakai. Ribuan desa di Indonesia, terbukti bisa mengerjakan. Bukan hanya di wilayah sentral dengan infrastruktur bagus, melainkan di daerah yang jauh dari Jakarta.   Artinya best practise e voting di Pilkades telah nyata. Pun dengan soal bisa tidaknya dilakukan penerapan electronic voting itu di berbagai desa di Indonesia, sepertinya sudah bisa dilaksanakan. Ada data pembanding. Yakni Sirekap di Pilkada serentak 2024 oleh KPU RI. Nyaris tak ada kendala dan kerusakan fatal, dari sisi sistem, jaringan, kontrol, dan pelaksana. Sirekap Pilkada KPU RI sukses digunakan. Tak melenceng dari tujuan. Hebatnya, kecepatan input data, proses olah data, dan publikasi data, berlangsung cepat. Tandanya pasti, seluruh wilayah di Indonesia, termasuk yang blankspot, bisa melakukan e voting. Karena sama-sama berbasis internet. Sebagai penguatan fakta, di Kab Tangerang, ribuan TPS sukses menerapkan Sirekap (teknologi olah dan publikasi data hasil pemungutan suara Pilkada). Per desa, rerata terdapat lebih dari 10 TPS, tersebar di 274 desa. Nah, ini adalah patokan logika, jangankan di setiap desa, di pelosok desa dan kampung sekalipun, teknologi informasi dalam pemilihan, berhasil dilakukan. Ringkas kalimat, kerumitan perangkat digital untuk pesta demokrasi rakyat, tak menjadi kendala utama. Mengutip istilah Onno W Purbo, it's not rocket technology (soal e voting tak serumit teknologi rocket). Tantangan menyembul justru dari aspek psikologis. Masyarakat dalam politik tercekam dalam kultur rasionalitas pendek. Teramat pragmatis.   Mereka melihat sesuatu (pun di konteks politik) hanya berbasis asas manfaat langsung. Baik manfaat material maupun non material. Di politik, termasuk di Pilkades, psikologi pemilih adalah pro terhadap  hal-hal yang langsung dirasa gunanya. Misal menerima politik uang, keramaian, desas desus, dan daya tarik. Kultur Pilkades di desa adalah pertunjukkan dan keramaian. Semacam ritual publik yang hadir di waktu tertentu. Publik jarang bersedia memakai nalar kritis, dan membahas aspek-aspek substansi. Begitu juga dalam perkara e voting. Mentalitas warga desa yang hadir adalah: apa manfaat langsung yang bisa diterima. Tentu, ini merepotkan. Digitalisasi Pilkades berbasis pada nalar rasionalitas dan fungsi demokrasi sejati. E Voting adalah perihal efisiensi, cepat, terbuka, dan mencegah kecurangan dan kesalahan fatal. Dia tidak berurusan dengan memberi uang atau apapun ke pemilih. Juga dipastikan mengurangi kemeriahan Pilkades pola manual atau konvensional. Di level elit masyarakat desa, kemungkinan juga hadir kendala psikologis. Yakni justru mereka menolak karena potensi kehilangan berkah Pilkades yang dilakukan secara digital. Ingat, Pilkades digital adalah memangkas anggaran dan penghematan. Ini barangkali yang malah ditolak.


Selengkapnya
81

Malapetaka Pilkada di Barito Utara

Malapetaka Pilkada di Barito Utara Oleh: Endi Biaro Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Calon A tarung versus calon B. Hasilnya: A menang. Selisih tipis. Si B menggugat ke MK, dengan alasan A main uang. Lalu MK memutuskan pemilihan ulang. Terjadi PSU atau pertandingan yang kedua. Kali ini, B yang menang (sebelumnya kalah), juga selisih tipis. Karuan A juga melakukan hal yang sama, menggugat ke MK, dengan alasan serupa, menuding lawan yang menang pakai praktek politik uang. Kali ini, putusan MK agak lain. Dua-duanya digugurkan. Lantaran ada bukti kuat, A dan B sama-sama kotor, pelaku money politics. Maka arang menjadi abu. Tak ada yang untung. Baik A dan B berkalang tanah. MK menyatakan keduanya tak boleh ikut Pilkada sesi ketiga. Jika dalam pertarungan non politik, bisa jadi fenomena ini mengasyikan. Betapa hebat pertandingan dengan lawan seimbang. Mirip Real Madrid dan Barcelona yang saling balas gol. Menang di kandang, kalah saat tandang, lalu akan berjibaku ulang di putaran berikutnya. Banyak pihak diuntungkan: sponsor, stasiun TV, penonton, sampai penjudi. Tapi dalam konteks Pilkada, benar-benar malapetaka. Begitu banyak uang negara hangus (dari pajak rakyat). Suasana politik di daerah yang melaksanakan Pilkada berulang itu menjadi terganggu. Rakyat setempat kena imbas konflik. Penyelenggara dianggap lumpuh. Agenda pembangunan tersendat. Dan paling parah, daerah itu tak memiliki pemimpin yang sejati, sesuai dengan pilihan asli. Belum lagi rentetan tambahan. Konflik sosial politik yang berujung hukum (semisal pengedar uang sogok Pilkada yang dituntut pidana). Atau ekspresi kemarahan publik yang kecewa. Pilkada berjilid-jilid itu menyembulkan interogasi keras: untuk apa anggaran mahal kalau hanya menyuburkan praktik tak jujur? Bukankah dana publik itu lebih baik dialihkan ke sektor lain? Masih banyak rentetan gugatan lain. Pusaran kemarahan  publik, sejatinya tak melulu di urusan anggaran. Melebar pula ke pojok lain. Semisal, mengapa penyelenggara dan aparat hukum gagal total mengendalikan politik uang? Apa yang dikerjakan KPU, Bawaslu, juga Gakumdu? Apakah partai benar-benar hanya memikirkan kekuasaan? Lantas jika demikian, hanya orang-orang super kaya yang ikut tarung di Pilkada (meski tak kompeten, dan korup). Sementara orang-orang baik yang kompeten, tersisih jauh. Rakyat sebagai pemilih juga kena sasar. Mereka begitu memuja politik uang. Sama sekali tak keberatan. Malah mengharapkan. Jadi di sini jelas. Kerusakan Pilkada  berurat berakar. Regulasi hukum dikangkangi. Aturan main hanya tegak untuk urusan formal dan remeh temeh. Sementara substansi regulasi untuk mengawal demokrasi, menjadi hancur-hancuran. Jika begini terus, tak heran ke depan datang gelombang balik perlawanan. Rakyat yang muak dengan pemborosan anggaran, menuntut Pilkada dihentikan. Lantas bertemu agenda elit politik, yang menyeret arus balik Pilkada, yakni kembali dipilih DPRD. Catatan: isi artikel ini membincang kasus Pilkada Jilid Ketiga di Barito Utara


Selengkapnya
137

Sirekap Pilkada dan Literasi Digital Super Kolosal

Sirekap Pilkada dan  Literasi Digital Super Kolosal Oleh: Endi Biaro Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Ratusan ribu orang (atau mungkin jutaan) mengoperasikan aplikasi hitung suara Pilkada, serempak. Tepat di 27 November 2024.   Mereka mencatat, merekam, mendokumentasi, serta menyebarluaskan informasi penghitungan suara, di berbagai TPS. Se-Indonesia. Prosesi ini adalah rekor tiada tanding. Tak ada aktivitas digital yang dikerjakan massif dan sekolosal ini. Dengan waktu, objek, fungsi, dan tujuan yang sama. Mengapa? Bisa jadi memang netizen atau pengguna Smartphone, tiap hari berinteraksi, mengakses, atau menggunakan aplikasi tertentu. Katakanlah scroll TikTok, browsing google, atau posting di Instagram. Tetapi, semua itu acak, dengan fungsi dan tujuan beragam, dan tanpa instruksi terpusat. Sementara Sirekap, yang akan dikerjakan jutaan orang di waktu dan hari yang sama,  bukan saja memiliki  tujuan tunggal (yakni melaporkan hasil TPS), tetapi juga dikontrol, dikendalikan, dan diatur ketat.  Lebih penting lagi, pengguna Sirekap, sebelum hari H Pilkada, telah dilatih intensif. Dipersiapkan serius oleh KPU RI. Melibatkan KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, sampai KPPS. Dalam pusaran itu, terjadilah literasi Digital skala besar-besaran. Jutaan warga negara, via bimbingan teknis Sirekap, melakukan pertukaran informasi, kolaborasi teknis, dan berbagi pengalaman faktual. Sekali lagi, secara kultural, Sirekap adalah parade kolosal pemanfaatan teknologi digital secara produktif. Terjadi multiplier effect. Ratusan ribu atau jutaan orang berkirim pesan berisi data dasar potensi digital di Indonesia. Seperti wilayah covering area internet, lokasi TPS, kelistrikan di TPS, dan stabilitas jaringan. Kesemua ini masuk ke pangkalan data pusat di KPU RI. Berguna untuk memetakan zona digital di Indonesia. Berikut, informasi yang dikirim via Sirekap, sangat detil dan spesifik. Mulai dari jumlah pemilih, disabilitas, partisipasi, dan keabsahan suara. Data data ini, menjadi referensi faktual, berguna untuk kajian akademik dan perumusan strategis bagi pemerintah. Artinya, Sirekap melampaui fungsi aslinya. Jauh lebih dari sekedar dokumentasi digital di Pilkada. Melainkan meletupkan literasi digital secara kolosal. Lagipula bangsa ini memang sudah wajib bergerak maju, dalam digitalisasi Pemilu. Meski belum ke level eVoting, tetapi faktor lain sudah menggunakan perangkat teknologi.


Selengkapnya
590

Mengenal Ragam Hitung Cepat Pilkada 2024

Mengenal Ragam Hitung Cepat Pilkada 2024 Oleh: Endi Biaro Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Hari Rabu, tanggal 27 November 2024, ratusan juta warga negara Indonesia menggunakan hak pilih di TPS masing-masing. Mereka mencoblos calon pilihan, baik untuk Gubernur atau Bupati/ Walikota.   Merujuk pada regulasi KPU RI yang selama ini berlaku, maka proses pemungutan suara selesai pukul 13:00. Lantas dilanjut dengan penghitungan suara. Di Pilkada,  penghitungan hasil suara jauh lebih cepat. Lantaran simpel, hanya beberapa calon, dan cara menulis hasil hitungan sangat mudah. Pengalaman sebelumnya, proses penghitungan suara  selesai dalam satu dua jam. Artinya, di pukul 15:30, sudah ada hasil di setiap TPS. Lalu, seberapa cepat publik luas mengetahui hasil suara masing-masing calon dari seluruh TPS? Kecepatan akses informasi di era digital menjadi patokan utama. Publik berhak untuk tahu lebih awal. Media massa dan media sosial akan riuh rendah mempublikasikan hasil hitungan suara. Jika dipetakan, beberapa jenis informasi hasil hitung cepat, adalah sebagai berikut: Pertama, quick count, alias hitung cepat. Dirilis oleh berbagai lembaga survey atau konsultan politik. Basis hitungan quick count adalah uji petik, dicuplik dari beberapa TPS. Namun, meski tidak menghitung keseluruhan, tapi kerap Quick Count akurat. Mengapa? Karena mereka ketat dalam melakukan sampling. Responden (dalam hal ini TPS), diseleksi, diaduk, hingga mencerminkan karakter keseluruhan. Kedua, real count, atau hitung cepat dari seluruh TPS. Metodenya adalah total sampling, alias semua TPS dihitung, lalu dijumlah secara keseluruhan. Tabulasi data dilakukan oleh Tim Pemenangan Pasangan Calon. Dengan mengerahkan relawan, saksi, petugas khusus, dan lain-lain. Metode ini, jika dilakukan cermat dan obyektif, akan menunjukkan hasil yang sebenarnya dari seluruh TPS. Ketiga adalah exit pool. Metode ini sama dengan quick count, yaitu mengambil sampel hanya di beberapa titik. Bedanya, jika quick count melaporkan dan menjumlahkan hasil penghitungan suara persis sesuai penghitungan di TPS selesai, maka exit poll justru dilakukan lebih awal, saat pemungutan suara berlangsung. Artinya, surveyor mewawancara pemilih, langsung di TPS, saat pemilih ke luar TPS. Lalu dilakukan tabulasi, dan prediksi siapa yang menjadi pemenang. Keempat, hitung cepat yang dilakukan oleh KPU (dalam konteks Pilkada, oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kita). Saat ini, KPU akan menerapkan kembali aplikasi Sirekap, sebagai alat bantu penghitungan hasil Pilkada secara digital. Metode Sirekap adalah total sampling. Semua hasil di TPS difoto, diolah, lalu dikirim ke pangkalan data utama, untuk kemudian di tayangkan di infopemilu. Perlu diketahui, seluruh informasi hasil hitung cepat ini, bersifat tak resmi alias unofficial. Versi resmi penghitungan suara Pilkada, tetap berada dalam pleno KPU, yang dilakukan berjenjang. Yakni pleno penghitungan hasil secara langsung di TPS, lalu Pleno di PPK, di KPU Kabupaten Kota, dan KPU Provinsi. Pola penghitungan ini memang lama, tetapi akurat. Sebenarnya, masih ada beberapa varian hitung cepat, yang berfungsi sebagai pembanding, serta melibatkan warga. Secara spesifik, metode hitung cepat alternatif ini lebih sebagai alat kontrol, mencegah kecurangan, seraya membantu publik untuk melakukan koreksi mandiri. Beberapa kali momen Pemilu, muncul aplikasi yang ikut menghitung hasil penghitungan suara di TPS. Seperti dilakukan KawalPemilu.org, yang digawangi pakar IT, yaitu Ainun Nadjib. Juga aplikasi JagaSuara, yang diluncurkan oleh NetGrid. Dengan demikian, khalayak bisa memilih dan mengakses ragam kanal informasi, terkait hasil suara Pilkada. Semoga....


Selengkapnya
789

Quo Vadis Sirekap Pilkada 2024

Quo Vadis Sirekap Pilkada 2024   Oleh: Endi Biaro Anggota KPU Kabupaten Tangerang   KPU memiliki kesempatan mengembalikan kepercayaan publik, di Pilkada 2024. Terkhusus untuk aplikasi Sirekap (sistem rekapitulasi suara). Caranya, memastikan dilakukan perbaikan serius. Masukan dari Bawaslu, para pakar IT, saksi ahli KPU RI saat sidang MK, politisi, dan kritik khalayak, wajib diakomodasi. Pokok permasalahan yang jadi biang kontroversi ada di tiga hal. Pertama, memperbaiki kualitas OCR (Optical Character Recognition) yang ditanam di Sirekap. Piranti ini semacam AI di dalam aplikasi Sirekap, yang berfungsi membaca gambar C Plano Hasil di TPS, lalu dikonversi menjadi angka-angka numierik (hasil perolehan suara). Cara kerja OCR di Sirekap ini sebetulnya bagus, pemrosesan data secara cepat, otentik, lalu masuk dalam tabulasi KPU (di Sirekap Web dari PPS hingga KPU RI). Lalu kemudian tampil visualisasi di Info Pemilu. Publik bisa mengakses dan melihat Sirekap langsung via Info Pemilu, tanpa perlu ke TPS atau melihat C Hasil Plano. Masalahnya, terjadi eror massif di mana-mana. Sirekap salah membaca angka-angka hasil penghitungan di TPS. Kesalahan begitu mencengangkan. Di TPS, suara calon hanya 5, di Sirekap malah 555, padahal DPT hanya 250 orang. Ini memantik kegaduhan. Problem pelik ini, diatasi dengan memperbaiki kualitas OCR. KPU merancang OCR sebagai alat pindai yang lebih presisi (akurat). Di lengkapi dengan self correcting system, yakni mengatasi kesalahan secara langsung. Jadi di saat salah baca data, yaitu perolehan suara melebihi jumlah DPT di suatu TPS, maka otomatis tertolak (ada indikator merah). Kemudian pemegang HP Sirekap, mengedit segera, sesuai dengan angka di C Plano Hasil. Ini perbaikan penting. Kedua, masalah kelambatan Sirekap dalam mengirim data online dari TPS ke KPU. Problem delay atau pending ini (tertunda) menjadi fatal. Publik akhirnya tak bisa memperoleh angka hasil secara real time. Melainkan di hari hari awal pasca Pemilu, data TPS hanya terkirim di bawah 30 persen. Kegagalan ini bersumber dari sistem. Tabulasi dan visualisasi jauh dari kenyataan. Target real time malah menjadi buying time (membuang waktu). Perbaikan KPU adalah dengan menyediakan server lebih besar, agar arus data berlangsung lancar. Masalah ketiga, kualitas user (pengguna, KPPS), perangkat HP, dan kerapihan kerja di TPS. Meski server bagus, cara baca angka di sistem akurat, tetapi kalau pelaksana lapangan buruk, maka akan gagal. Termasuk perangkat HP yang wajib support atau kompatibel  (mendukung, minimal Android 7, RAM 4 Giga dan resolusi kamera 8 megapixel. Tambahan, cara foto C hasil plano juga wajib akurat. Dalam keadaan terang, permukaan rata, dan tak ada lipatan yang mengganggu. Untuk masalah SDM dan perangkat ini, KPU di berbagai tingkatan wajib memastikan support maksimal. Sementara untuk cara memoto yang harus terang dan bersih, bisa mudah teratasi, karena Pilkada dihitung siang hari sampai sore, masih terang. Tiga tantangan besar ini, meski pelik, sudah dilakukan mitigasi dan resolusi. Kabar baiknya, penghitungan di TPS saat Pilkada jauh lebih sederhana. Jumlah lembar C hasil plano yang difoto tak banyak (hanya 6 lembar). Cara isi juga mudah dan cepat. Petugas KPPS tak akan kelelahan, sore sudah selesai, masih terang, dan ada waktu cukup untuk perbaikan. Lantas bagaimana dengan resiko politik, jika Sirekap gagal memenuhi fungsinya? Di Pileg lalu, kejengkelan publik terekam dalam tagar dan trending topik di Medsos. Pakar Analisis Big Data dari Drone Emprif, Ismail Fahmi, menyebut sentimen negatif terhadap Sirekap mencapai 87%, artinya publik kecewa dengan kualitas Sirekap di Pileg dan Pilpres 2024. Hanya saja, kekecewaan itu sekedar meletup di percakapan sosial dan konten Medsos. Tidak manifes dalam gerakan massa atau tekanan langsung. Di Pilkada, jika saja Sirekap gagal menjalankan fungsi optimal, maka potensial kekecewaan diekspreiskan langsung. Para pendukung melakukan tekanan massa. Tidak cuma ribut di Medsos. Melihat tantangan ini, semoga Sirekap Pilkada 2024 oleh KPU RI, makin baik. Insya Allah.Quo Vadis (akan ke mana arah) Sirekap Pilkada?


Selengkapnya
838

Analisis Kampanya Pilkada di Era Post Truth

Analisis Kampanya Pilkada di Era Post Truth   Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Harold Laswell mengatakan, politik adalah cara mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Lasswel, pakar politik legendaris ini dari Amerika ini, begitu akurat mendefinisikan metode inti politik, yakni mempengaruhi orang lain. Kurun sejarah memperkenalkan kita tentang aneka rupa praktek mempengaruhi khalayak luas. Era kuno, saat manusia masih terkungkung logika mistika, takhyul, serta klenik  supranatural, maka metode "meyakinkan" alam pikir orang lain adalah dengan narasi mitologi. Bahwa seseorang layak didukung atau dipilih untuk jadi penguasa karena mereka titisan dewa, atau titipan Tuhan (teokrasi). Kampanye publik saat itu, sudah tentu pekat dengan kisah-kisah dongeng, gelar-gelar agung, atau ritual-ritual perdukunan. Agar rakyat tesihir dan hilang nyali. Berikut modus operandi mempengaruhi opini orang lain, di era klasik, juga tak kalah seram. Rakyat dihegemoni (ditaklukan pikirannya), lewat kampanye propaganda dan agitasi. Seseorang menampilkan diri bak pahlawan atau ratu adil. Dicitrakan sebagai penyelamat  satu-satunya. Maka di era ini politik moderen bersentuhan dengan kampanye yang megah, jorjoran, atraktif, dan show of force (unjuk kekuatan). Guna melengkapi kampanye propaganda seperti ini, ditopang oleh metode agitasi, yakni menyerang, memprovokasi, dan menjelek-jelekan lawan. Fase berikut, nuansa propaganda dan agitasi tetap berlanjut. Hanya saja ada perbedaan sedikit, yakni melibatkan sentuhan pencitraan, memakai buzzer atau pendengung, seraya melibatkan begitu banyak instrumen media.  Lantas bagaimana kira-kira pola kampanye Pilkada saat ini? Sebagaimana ungkapan populer soal era post truth, bahwa fakta tak lagi menjadi basis pembentuk opini publik, melainkan sentimen dan emosi. Sepertinya ini yang terjadi. Kampanye Pilkada di era post truth, masih akan kental dengan permainan persepsi, sensasi, dan daya gugah yang mengaduk perasaan. Di era post truth, reaksi orang lahir dengan cepat dan ekspresif. Karena terbiasa dengan scroll tiktok, orang tak mau lagi berpikir atau menyimak pesan detil dan argumentatif. Dengan demikian, pesan kampanye Pilkada era post truth akan gagal menyentuh minat audiensi jika bertele-tele. Khalayak Ingin pesan singkat, pendek, tapi menarik. Celakanya, model pesan post truth seperti ini, kerap dimenangkan oleh konten yang sensasional, provokatif, polutif (penuh kebohongan), dan click bait (judul dan kata kata bombastis). Lalu apakah kampanye Pilkada masih bisa edukatif dan mencerdaskan? Undang Undang Pemilu dan Pemilihan selalu menyebut kampanye sebagai bagian dalam pendidikan politik. Ini soal tanggungjawab moral. Harus tetap ada upaya mengirim pesan cerdas dan mencerahkan, dalam kampanye. Semua itu bisa dilakukan oleh, terutama, pihak-pihak yang terlibat langsung dalam Pilkada. Baik partai, calon, penyelenggara, kampus, kaum profesional, media, dan lain-lain.


Selengkapnya