Opini

271

Titik Berat Revisi UU Pemilu

Titik Berat Revisi UU Pemilu Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Undang-Undang Pemilu adalah pemegang rekor. Belum tersaingi undang-undang manapun. Terkait dengan banyaknya putusan MK yang “mengoreksi” UU Pemuilu. Menurut Perludem, sebanyak 159 kali UU ini diuji oleh MK, dengan putusan yang mayoritas berubah. Artinya, UU Pemilu sudah compang-camping, penuh tambalan, dan wajib direvisi total. Dengan demikian, diskursus perubahan UU Pemilu bukan lagi soal perlu dan tidak perlu, atau seberapa banyak perubahan, melainkan Menyusun mana yang lebih prioritas dibahas, seraya membuka ruang partisipasi serta aspirasi publik. Terakhir ini menguat desakan agar dibentu Pansus RUU Pemilu, dimotori Fraksi PKS di DPR RI. PKS mengemukakan alasan, revisi UU Pemilu butuh konsentrasi khusus, yang tak boleh hanya dibahas di Baleg (badan legislasi) atau Komisi, melainkan lintas fraksi dan komisi. Mengingat percepatan waktu untuk penyelesaian, serta Bersiap untuk menghadapi Pemilu ke depan. Sebelumnya, RUU Pemilu juga sudah masuk sebagai Prolegnas (program legislasi nasional). Lain kata, revisi UU Pemilu go show. Percakapan publik melalui media sosial atau ruang seminar dan diskusi juga mulai bermunculan. Pun dengan ragam analisis pakar, aspirasi lembaga, dan kampus, telah mulai fokus. Jika diurutkan, prioritas perubahan yang mengemuka, mencakup tujuh perkara. Pertama memasukkan putusan MK, yang menghapus syarat pasangancalon presiden dan calon wakil presiden, yang sebelumnyta 20% dari total kursi DPR RI, menjadi 0%. Ketentuan ini wajib menjadi bagian utama untuk disetujui. Meski begitu, sejumlah pakar mendesak agar dilakukan penambahan syarat, agar tujuan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yakni melahirkan calon yang banyak, mencegah calon Tunggal, bisa tergapai. Pakar hukum tata negara, Mahfudz MD misalnya, meminta agar DPR juga memasukan syarat dukungan maksimum terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sebab, jika tak dibatasi, ada peluang main borong dan mengambil semua dukungan kursi DPR oleh pasangan calon tertentu. Rumusan ini masuk akal. Sebab tak mustahil ada kubu yang kuat, karena ingin bertanding tanpa lawan, lantas memborong seluruh kursi perwakilan partai di parlemen. Kedua, mengakomodasi tuntutan untuk mengganti sistem proporsional terbuka dengan sistem gabungan. Dalam proporsional terbuka, maka Caleg yang berhak mendapat kursi adalah yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihan masing-masing. Pola ini telah dilakukan sejak Pemilu 2009 sampai 2024 lalu. Lahir reaksi keras, karena sistem ini dianggap membunuh kader-kader penting yang dimiliki partai politik, karena kalah saing oleh pendatang baru atau kutu loncat yang memiliki banyak uang. MK telah memutuskan, bahwa yang dilarang adalah proporsional tertutup (yakni system party list, yaitu kursi diperoleh oleh nomor urut satu). Tetapi untuk sistem gabungan, masih dimungkinkan, sejauh sesuai dengan sistem yang berjalan dan tidak menimbulkan kegaduhan. Proporsional terbuka gabungan adalah: pemenang kursi langsung ke nomor  urut satu, sejauh tak ada caleg lain di partai yang sama dan Dapil yang sama, yang tak memperoleh suara lebih dari 30% BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). BPP adalah rumus baku untuk menghitung nilai suara dari setiap kursi di masing-masing Dapil. Misalnyta, di sebuah Dapil, harga per kursi adalah 10.000 suara, maka ketika tak ada Caleg yang memperoleh suara di atas 3.000, maka otomatis kursi lari ke nomor urut satu. Sistem ini lebih bercorak keadilan dan memberi ruang bagi para pihak untuk memperoleh kursi. Di satu sisi, kader murni partai tak terancam penuh untuk gagal, sementara Caleg cabutan yang punya modal uang, belum tentu juga merebut langsung kursi. Ketiga, mengganti sistem konversi suara ke kursi. Ini wajib dilakukan jika poin kedua disepakati (yakni melaksanakan sistem proporsional gabungan). Mengapa? Di Pemilu 2019 sampai dengan 2024, diberlakukan metode Sainte Lague, yakni membagi perolehan total suara partai dan Caleg, dengan bilangan ganjil (dibagi 1, 3, 5, dst). Resikonya kerap terjadi hasil yang jompang. Ada partai yang misalnya memperoeh 10.000 suara di satu Dapil, tetapi perolehan kursinya setara dengan partai yang memperoleh 3.400 suara (sama-sama mendapat satu kursi). Partai yang 10.000 suara begitu banyak suara yang hangus. Maka, usulan kembali menerapkan sistem divisor, yakni quota hare alias Bilangan Pembagi Pemilih, jauh lebih adil. Dalam sistem ini, harga kursi per Dapil dihitung terlebih dahulu. Misalnya di Dapil A, harga per kursi adalah 6.000 suara sah, maka prioritas kursi diperoleh partai politik yang mendapat suara 6.000an ke atas. Partai yang suaranya kurang dari 6.000, bisa saja memperoleh kursi, tetapi kursi sisa (dihitung di tahap kedua, sejauh masih ada kursi yang belum terisi). Keempat, menggabungkan UU Pemilu sebagai Omnibus Law, atawa mengumpulkan seluruh UU dalam satu paket, seperti era Orde Baru lalu, disebut paket UU Politik. Untuk efisiensi dan kemudahan, maka UU Pemilu ke depan bisa digabung dengan UU Pilkada. Kelima, menjadikan Pemilu serentak dalam dua putaran. Yakni putaran pertama Pemilu Legislatif memilih DPR RI dan DPD, serta Pemilihan Presiden. Dan di putaran kedua, pemilihan Kepala Daerah dan Pileg untuk DPRD Prov, Kabupaten, dan kota. Usulan ini sekaligus juga membuat Pemilu berjarak, dengan rentang waktu selisih dua tahun. Keenam, menurunkan ambang batas parlemen, semula 4% menjadi 2%. Usulan ini datang dari fenomena politik terakhir, yakni sejumlah partai tak lolos ke parlemen. Aspirasi ini kemungkinan sulit diwujudkan, karena partai besar cenderung dengan aturan PT (Parliamentary Treshold) tetap sebesar 4%. Ketujuh, mengganti desain baru kertas suara, agar tidak ribet dan mudah. Hal ini perlu menjadi perhatian, karena angka suara tidak sah begitu banyak, dari Pemilu ke Pemilu. Di sini juga ada usulan lain, yakni penataan Daerah Pemilihan, agar dikembalikan ke KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kota. Yaitu menata Dapil DPRD Kabupaten Kota oleh KPU Kabuapten Kota, serta menata Dapil DPRD Provinsi oleh KPU Provinsi. Sementara Dapil DPR RI oleh KPU RI. Selama ini, KPU RI memborong penataan Dapil untuk DPR RI dan DPRD Provinsi.


Selengkapnya
118

Plus Minus E Voting di Pilkades 2027

Plus Minus E Voting di Pilkades 2027   Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kabupaten Tangerang   Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) di 2027 menerapkan sistem E Voting, atau pemilihan berbasis elektronik, Digital. Warga desa pemilih tak lagi mencoblos kertas suara bergambar calon, melainkan cukup meng-klik pada foto pasangan. Mirip gerakan jempol di layar sentuh. Rencana ini dimatangkan oleh Kementrian dalam negeri. Tujuannya: modernisasi Pilkades. Asumsi global adalah ikut arus kemajuan teknologi informasi. Per definisi, tak ada yang aneh dengan rencana Pemilihan Kepala Desa jalur layar sentuh. Indonesia adalah pengguna Medsos terbesar. Jumlah gadget tiga kali lipat dari penduduk. Kawasan blank spot (tak ada jaringan internet, hanya beberapa zona), dan lagipula, ujicoba Pilkades sistem E Voting sejak lama diterapkan. Beberapa laporan menyebutkan di Boyolali dan Jembrana, jadi pioner. Sedari 2013, E Voting dilakukan. Hingga hari ini, 2000ab desa menerapkan teknologi pencoblosan digital. Pun sebagai perbandingan, KPU mampu menerapkan digitalisasi pemilihan, di ratusan ribu TPS se Indonesia. Memang bukan di tahap pencoblosan, melainkan di level pendataan hak pilih dan penghitungan. Faktanya, di Pilkada 2024 lalu, metode ini relatif berhasil. Artinya, sumber daya, infrastruktur teknologi, jejaring, dan kemampuan standar dalam digitalisasi proses pemilihan, layak diterapkan. Meski begitu, diskusi serius dan investigasi serta mitigasi tantangan Pilkades rasa E Voting wajib dikerjakan. Setiap kebijakan publik pemerintah menyisakan ruang perdebatan. Gugatan mendasar terpapar di empat hal mendasar. Pertama, arus aspirasi dan kemunculan kehendak E Voting Pilkades bukan bersumber dari jeritan atau tuntutan rakyat desa. Tak ada secuil terdengar gerakan publik meminta soal ini. Di mata rakyat desa, Voting Pilkades tak pernah jadi agenda. Ini sama sekali bukan prioritas. Seketika kita melihat, usulan ini murni kehendak elit.  Meski memang ada penjelasan, yakni modernisasi Pilkades, dengan ekor argumen tambahan: efisiensi, transparansi, kecepatan akses, basis data bersama, dan mencegah kecurangan. Poin-poin ini sebagian terkonfirmasi. Benar memang, via teknologi digital, beberapa urusan Pilkades jadi lebih hemat, ramping, terkontrol, dan akses terbuka. Namun bagaimana dengan potensi konflik? Sengketa di bawah, serta ketidakpuasan? Sejatinya faktor-faktor ini wajib menjadi fokus serius pemerintah. Agar tak meletupkan masalah di bawah. Kedua, tata kelola penyelenggaraan pemilihan tak bisa tidak, mesti ikut norma kompetisi politik. Pilkades sepenuhnya adalah konflik, karena di sana ada pertarungan terbuka, kompetisi para kandidat, dan segala sengketa. Ruang lemah ini, layak ditutup pemerintah. Dengan membuat kerangka hukum, regulasi, seraya aturan teknis sedetil mungkin. Dengan melibatkan para pihak untuk merumuskan. Salah satu pihak yang kompeten dilibatkan adalah akademisi, kaum profesional, dan KPU (sebagai praktisi kepemiluan). Ketiga, e-voting di Pilkades jangan meminggirkan ruang partisipasi publik, terutama rakyat desa. Gagasan ini dari atas, tapi pengerjaan wajib mengakomodasi sumber daya lokal. Dalam Pemilu, yang skalanya massif, KPU bertumpu pada warga setempat, untuk jadi panitia (misalnya KPPS dan PPS, yang merupakan penduduk asli di situ). E Voting berpotensi memangkas begitu banyak fungsi kerja, lalu dikelola terpusat, lalu keterlibatan rakyat desa menjadi terbatas. Ini akan problematik. Maka lebih tepat mengajak peran pemilih setempat, untuk jadi panitia. Keempat, tak bisa semua tahapan diganti secara digital. Kombinasi dengan praktek konvensional diperlukan. Semisal dalam pendataan hak pilih. Empat paparan di atas memang prioritas. Belum lagi potensi resiko dalam penerapan digitalisasi Pilkades. Yakni terasa asing, mengubah kultur, dan jauh dari tradisi. Pemerintah harus ingat, Pilkades adalah ajang ritual politik khas desa. Di sana ada kemeriahan, keasyikan, dan bisa disebut golden momen bagi masyarakat desa. E Voting, berpotensi meluruhkan pelbagai keunikan dan daya tarik Pilkades. Semestinya, pemerintah segera menyusun payung hukum, agar Pilkades pola E Voting tidak menjadi kontra produktif, alias memancing keresahan di mana-mana.


Selengkapnya
59

E Voting di Pilkades 2027, Perspektif KPU

E Voting di Pilkades 2027, Perspektif KPU   Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab Tangerang   Kemendagri mendorong penggunaan E Voting di Pilkades 2027. Kebijakan ini bersumber dari kajian, eksperimen, dan perhitungan teknis administratif. Menurut Wamendagri, Bima Arya, pemerintah dengan beberapa pihak telah membuat serangkaian langkah persiapan. Termasuk analisis efisiensi, transparansi, dan dampak e Voting di Pilkades. Sementara dukungan politis dari parlemen dan elit partai juga terus dilakukan. Kemendagri beberapa kali melakukan audiensi. Selain ke DPR juga ke DPP Partai Politik di Jakarta. Suara dukungan juga sudah bermunculan, dari BRIN dan sejumlah akademisi kampus. Lalu bagaimana sikap KPU? Sebagai institusi yang memiliki pengalaman praktis mengelola pemilihan umum dan pemilihan, wajar jika KPU merekomendasikan berbagai catatan. Meski hari ini belum ada sikap resmi, namun perspektif intelektual wajar dilakukan. Paling penting, dari sisi tata kelola, E Voting bukan perkara berat. Dari sisi teknologi, keamanan, sistem, pangkalan data, dan jaringan, dipastikan bisa dilakukan. Perbandingannya jelas. KPU mampu membuktikan penggunaan teknologi digital dalam Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Basis digital banyak membantu dan mempermudah tahapan. Sekaligus transparan plus akuntabel. Memang best practise KPU bukan di tahap pencoblosan (yang masih manual). Namun berlangsung di tahap pencalonan, pendataan hak pilih, dan penghitungan suara. Skala kerja yang dilakukan KPU termasuk raksasa (ingat Pemilu terbesar dan serentak di dunia, berlangsung di Indonesia). Semua ini bisa jadi cerminan, karena beban kerja E Voting di Pilkades 2027, jauh lebih sedikit. Sangat bisa dilakukan di mayoritas desa di Indonesia. Catatan: masih ada desa blankspot, tak ada sarana listrik, dan kekurangan sumber daya, namun prosentase sedikit. Mayoritas bisa dilaksanakan. Sorotan lain yang perlu dikaji serius adalah aspek regulasi dan petunjuk kerja dari pemerintah. Secara umum, MK telah membuat keputusan bahwa pemilihan dengan cara mencoblos, bisa diganti dengan pemilihan pola digital. Tak ada masalah hukum dengan rencana E Voting Pilkades. Justru mendesak adalah pengaturan hukum secara teknis. Mengatur tata cara detil, agar tujuan E Voting dalam Pilkades tepat sasaran. Prioritas yang berada di urutan pertama, aturan hukum harus tegas, mempersempit multitafsir, mengikis peluang sengketa, dan menjamin partisipasi dan transparansi. Saat pelaksanaan, panduan hukum sangat dibutuhkan panitia Pilkades di setiap desa. Karena mereka yang langsung bersentuhan dengan aspek teknis. Sisi penting lain yang tak bisa disepelekan adalah kampanye publik serta sosialisasi massif. Publik wajib memperoleh akses informasi terperinci, agar timbul trust atau kepercayaan.


Selengkapnya
181

Wajah Baru (Undang Undang) Pemilu

Wajah Baru (Undang Undang) Pemilu   Oleh: Endi Biaro, Pegiat Pemilu   Akar tunjang Pemilu berpijak pada aturan main, atau seperangkat kaidah dan norma. Berpatok pada konstitusi dan regulasi. Karena semua produk hukum Pemilu adalah resultan (hasil pergumulan) politik. Di titik ini, perubahan undang-undan Pemilu menjadi niscaya. Hanya saja butuh urutan prioritas, dengan segala urgensinya. Di atas tertinggi, tak ada kebutuhan genting atau mendesak untuk merevisi konstitusi. Pasal-pasal kepemiluan di UUD NKRI 1945, sudah mencukupi. Justru turunannya, yakni Undang Undang Pemilu, yang butuh beberapa penyesuaian. Konteks kebutuhan bisa dilihat dari dialektika dan pergumulan aspirasi publik. Medan gagasan dan kritik tajam para pihak mulai bermunculan. Apabila diurut, kurang lebih adalah:   pertama, tuntutan mengembalikan pola konversi suara ke kursi, dari saint league ke quota hare (atau BPP, bilangan pembagi pemilih). Kedua, menurunkan ambang batas parlemen, sebelumnya 4% ke prosentasi di bawahnya, menjadi 3%, 2 % atau 0 %. Ketiga, sempat kencang di 2022 lampau adalah: menerapkan sistem proporsional tertutup! Usulan ini gagal, karena sudah ada putusan MK. Akan tetapi, MK memberi opsi lunak,  yakni menerapkan sistem campuran. Pesan MK adalah sejauh bisa dilakukan dan tidak melanggar asas keadilan. Ini artinya, sistem campuran masih berpeluang menjadi aturan main di Pemilu 2029. Penjelasan: proporsional tertutup menjadikan seorang Caleg nomor urut satu sebagai pemilik kursi, jika partainya mampu merebut kursi di Dapil masing-masing. Pernah dipakai di Indonesia sejak 1955 sampai 2004). Sistem terbuka, hanya Caleg peraup suara terbanyak yang lolos (diterapkan saat ini). Sistem campuran adalah kombinasi. Yakni, nomor urut satu tak otomatis dapat kursi, jika ada Caleg  lain yang perolehan suaranya melebihi dari 30% harga kursi. Nah, sistem ini, yakni terkait konversi suara ke kursi, wajib paralel dengan sistem party list (nomor urut Caleg). Jika diberlakukan sistem BPP (menghitung harga suara per kursi), maka sistem proporsional campuran bisa diterapkan. Karena ada basis jelas untuk menghitung suara. Keempat, penataan Dapil atau distric magnitude. Dapil adalah isu penting yang kerap diabaikan, hingga itu mudah diakali. Banyak Dapil kacau di Indonesia, seperti gabungan Kota Bogor dengan Cianjur di Jawa Barat. Atau tiga kecamatan yang terpotong di Dapil DKI. Atau Dapil suka suka di Kab Tangerang. Isu Dapil juga penting dibahas di UU Pemilu baru, jika kita melihat kasus Papua. Empat Provinsi Baru di Papua, masih gabung dengan dua Dapil di Papua induk (Papua dan Papua Barat). Kelima, tak kalah kencang adalah soal waktu pelaksanaan Pemilu. Perludem, Puskapol UI, dan lain-lain, meminta agar diberlakukan Pemilu Nasional dan Pemilu lokal, dengan jarak waktu minimal dua tahun. Pemilu nasional adalah gabungan Pilpres dengan Pileg DPR RI dan DPD RI. Sementara Pemilu Lokal adalah gabungan Pilkada dengan Pileg DPRD Prov/Kab/Kota. Nah, kelima poin desakan publik ini, jika terakomodasi dalam revisi UU Pemilu, otomatis mengubah wajah Pemilu kita.


Selengkapnya
558

E Voting di Pilkades 2027, Tantangan Psikologis dan Politis

E Voting di Pilkades 2027, Tantangan Psikologis dan Politis Oleh: Endi Biaro Anggota Komisioner KPU Kab Tangerang   Diskusi penggunaan e voting di Pilkades, seharusnya berpijak pada kerangka kerja (persiapan, mitigasi,  perbaikan sistem, dan sosialisasi). Mengapa? Praktis, secara teknis, metode Pilkades digital itu sudah sering dipakai. Ribuan desa di Indonesia, terbukti bisa mengerjakan. Bukan hanya di wilayah sentral dengan infrastruktur bagus, melainkan di daerah yang jauh dari Jakarta.   Artinya best practise e voting di Pilkades telah nyata. Pun dengan soal bisa tidaknya dilakukan penerapan electronic voting itu di berbagai desa di Indonesia, sepertinya sudah bisa dilaksanakan. Ada data pembanding. Yakni Sirekap di Pilkada serentak 2024 oleh KPU RI. Nyaris tak ada kendala dan kerusakan fatal, dari sisi sistem, jaringan, kontrol, dan pelaksana. Sirekap Pilkada KPU RI sukses digunakan. Tak melenceng dari tujuan. Hebatnya, kecepatan input data, proses olah data, dan publikasi data, berlangsung cepat. Tandanya pasti, seluruh wilayah di Indonesia, termasuk yang blankspot, bisa melakukan e voting. Karena sama-sama berbasis internet. Sebagai penguatan fakta, di Kab Tangerang, ribuan TPS sukses menerapkan Sirekap (teknologi olah dan publikasi data hasil pemungutan suara Pilkada). Per desa, rerata terdapat lebih dari 10 TPS, tersebar di 274 desa. Nah, ini adalah patokan logika, jangankan di setiap desa, di pelosok desa dan kampung sekalipun, teknologi informasi dalam pemilihan, berhasil dilakukan. Ringkas kalimat, kerumitan perangkat digital untuk pesta demokrasi rakyat, tak menjadi kendala utama. Mengutip istilah Onno W Purbo, it's not rocket technology (soal e voting tak serumit teknologi rocket). Tantangan menyembul justru dari aspek psikologis. Masyarakat dalam politik tercekam dalam kultur rasionalitas pendek. Teramat pragmatis.   Mereka melihat sesuatu (pun di konteks politik) hanya berbasis asas manfaat langsung. Baik manfaat material maupun non material. Di politik, termasuk di Pilkades, psikologi pemilih adalah pro terhadap  hal-hal yang langsung dirasa gunanya. Misal menerima politik uang, keramaian, desas desus, dan daya tarik. Kultur Pilkades di desa adalah pertunjukkan dan keramaian. Semacam ritual publik yang hadir di waktu tertentu. Publik jarang bersedia memakai nalar kritis, dan membahas aspek-aspek substansi. Begitu juga dalam perkara e voting. Mentalitas warga desa yang hadir adalah: apa manfaat langsung yang bisa diterima. Tentu, ini merepotkan. Digitalisasi Pilkades berbasis pada nalar rasionalitas dan fungsi demokrasi sejati. E Voting adalah perihal efisiensi, cepat, terbuka, dan mencegah kecurangan dan kesalahan fatal. Dia tidak berurusan dengan memberi uang atau apapun ke pemilih. Juga dipastikan mengurangi kemeriahan Pilkades pola manual atau konvensional. Di level elit masyarakat desa, kemungkinan juga hadir kendala psikologis. Yakni justru mereka menolak karena potensi kehilangan berkah Pilkades yang dilakukan secara digital. Ingat, Pilkades digital adalah memangkas anggaran dan penghematan. Ini barangkali yang malah ditolak.


Selengkapnya
69

Malapetaka Pilkada di Barito Utara

Malapetaka Pilkada di Barito Utara Oleh: Endi Biaro Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Calon A tarung versus calon B. Hasilnya: A menang. Selisih tipis. Si B menggugat ke MK, dengan alasan A main uang. Lalu MK memutuskan pemilihan ulang. Terjadi PSU atau pertandingan yang kedua. Kali ini, B yang menang (sebelumnya kalah), juga selisih tipis. Karuan A juga melakukan hal yang sama, menggugat ke MK, dengan alasan serupa, menuding lawan yang menang pakai praktek politik uang. Kali ini, putusan MK agak lain. Dua-duanya digugurkan. Lantaran ada bukti kuat, A dan B sama-sama kotor, pelaku money politics. Maka arang menjadi abu. Tak ada yang untung. Baik A dan B berkalang tanah. MK menyatakan keduanya tak boleh ikut Pilkada sesi ketiga. Jika dalam pertarungan non politik, bisa jadi fenomena ini mengasyikan. Betapa hebat pertandingan dengan lawan seimbang. Mirip Real Madrid dan Barcelona yang saling balas gol. Menang di kandang, kalah saat tandang, lalu akan berjibaku ulang di putaran berikutnya. Banyak pihak diuntungkan: sponsor, stasiun TV, penonton, sampai penjudi. Tapi dalam konteks Pilkada, benar-benar malapetaka. Begitu banyak uang negara hangus (dari pajak rakyat). Suasana politik di daerah yang melaksanakan Pilkada berulang itu menjadi terganggu. Rakyat setempat kena imbas konflik. Penyelenggara dianggap lumpuh. Agenda pembangunan tersendat. Dan paling parah, daerah itu tak memiliki pemimpin yang sejati, sesuai dengan pilihan asli. Belum lagi rentetan tambahan. Konflik sosial politik yang berujung hukum (semisal pengedar uang sogok Pilkada yang dituntut pidana). Atau ekspresi kemarahan publik yang kecewa. Pilkada berjilid-jilid itu menyembulkan interogasi keras: untuk apa anggaran mahal kalau hanya menyuburkan praktik tak jujur? Bukankah dana publik itu lebih baik dialihkan ke sektor lain? Masih banyak rentetan gugatan lain. Pusaran kemarahan  publik, sejatinya tak melulu di urusan anggaran. Melebar pula ke pojok lain. Semisal, mengapa penyelenggara dan aparat hukum gagal total mengendalikan politik uang? Apa yang dikerjakan KPU, Bawaslu, juga Gakumdu? Apakah partai benar-benar hanya memikirkan kekuasaan? Lantas jika demikian, hanya orang-orang super kaya yang ikut tarung di Pilkada (meski tak kompeten, dan korup). Sementara orang-orang baik yang kompeten, tersisih jauh. Rakyat sebagai pemilih juga kena sasar. Mereka begitu memuja politik uang. Sama sekali tak keberatan. Malah mengharapkan. Jadi di sini jelas. Kerusakan Pilkada  berurat berakar. Regulasi hukum dikangkangi. Aturan main hanya tegak untuk urusan formal dan remeh temeh. Sementara substansi regulasi untuk mengawal demokrasi, menjadi hancur-hancuran. Jika begini terus, tak heran ke depan datang gelombang balik perlawanan. Rakyat yang muak dengan pemborosan anggaran, menuntut Pilkada dihentikan. Lantas bertemu agenda elit politik, yang menyeret arus balik Pilkada, yakni kembali dipilih DPRD. Catatan: isi artikel ini membincang kasus Pilkada Jilid Ketiga di Barito Utara


Selengkapnya