Opini

368

Menjaga Hak Konstitusional Pemilih : Dengan Cara Melakukan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB)

Menjaga Hak Konstitusional Pemilih : Dengan Cara Melakukan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) Oleh : Dedi Irawan Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Undang-undang mengartikan pemilih adalah warga negara indonesia yang sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin (Pasal 1 angka 19 Peraturan KPU 7/2022). Berkaitan dengan Pemilu, Data pemilih merupakan salah satu instrumen yang sangat krusial dalam pemilihan umum maupun pemilihan. Untuk menjaga kesinambungan data pemilih diluar tahapan pemilu dan pemilihan, Undang-Undang  7 tahun 2017 tentang pemilihan umum telah memberikan ketentuan pada pasal 14 huruf l, pasal 17 huruf l, dan pasal 20 huruf l, komisi pemilihan umum, komisi pemilihan umum provinsi, komisi pemilihan umum kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Berdasarkan  PKPU Nomor 1 tahun 2025 Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan, Pasal 1 angka 13 menyebutkan “pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang selanjutnya disingkat PDPB adalah kegiatan untuk memperbaharui data pemilih berdasarkan DPT pemilu atau pemilihan terakhir dan telah disingkronisasikan dengan data kependudukan secara nasional termasuk luar negeri”.  PKPU 1 tahun 2025 tentang pemutakhiran data pemilih berkelanjutan menjadi pedoman KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan pemutakhiran data pemilih diluar tahapan pemilu dan pemilihan. Tujuan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan sebagaimana disebutkan dalam pasal 3, yakni,  a.         Memelihara dan memperbaharui DPT pemilu dan/atau pemilihan terakhir secara berkelanjutan untuk penyusunan DPT pada pemilu dan/atau pemilihan berikutnya dengan tetap menjamin kerahasian data; dan b.         Menyediakan data dan informasi pemilih berskala nasional mengenai data pemilih secara komprehensif, akurat dan mutakhir. PDPB penting dilaksanakan untuk memelihara data pemilih secara berkesinambungan. PDPB memelihara data pemilih agar tetap terjaga. PDPB memberikan kesempatan lebih dini kepada pemilih yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih untuk segera didata sebagai pemilih. Kendala Melaksanakan Coktas (Coklit Terbatas) Sebagaimana saat memutakhirkan data pemilih, saat tahapan pemilu maupun pemilihan, PDPB diharapkan bisa menjangkau perubahan pemilih yang terjadi disebuah kecamatan, desa/kelurahan maupun TPS.  Tidak adanya badan adhoc di tingkat kecamatan yaitu PPK, PPS ditingkat desa/kelurahan maupun Pantarlih yang berada di tiap-tiap TPS diluar tahapan pemilu dan pemilihan, menjadi tantangan besar bagi KPU dalam melaksanakan PDPB.  Butuh kreatifitas yang efektif dan efisien ditengah keterbatasan sumber daya manusia dan juga keterbatasan anggaran diluar tahapan pemilu dan pemilihan atau sesuai putusan MK dikenal dengan istilah Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal (Putusan MK :  Nomor 135/PUU-XXII/2024). Koordinasi menjadi hal yang bisa dilakukan oleh KPU dalam rangka melakukan kegiatan dilapangan agar mendapatkan masukan perubahan data pemilih. Koordinasi tersebut dapat dilakukan kepada ; Bawaslu kabupaten, dinas yang menyelenggarakan urusan di bidang kependudukan dan pencatatan sipil kabupaten/kota, lembaga pemasyarakatan / rumah tahanan negara, tentara nasional Indonesia, kepolisian negara republic Indonesia, pemerintah tingkat kecamatan, pemerintahan tingkat desa/kelurahan, rukun tetangga/rukun warga atau sebutan lain, serta instansi terkait lainya.


Selengkapnya
167

Analisis Terhadap Putusan MK, Tentang Pemilu Nasional dan Lokal

Analisis Terhadap Putusan MK, Tentang Pemilu Nasional dan Lokal Oleh : Endi Biaro Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Baru saja, hari ini, Kamis 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa ke depan, Pemilu serentak dipecah dua kali, dengan jarak waktu mencukupi. Sekitar dua tahunan. Nomenklatur yang digunakan adalah Pemilu Nasional (Pilpres, Pileg DPR RI/DPD RI) dan Pemilu Lokal (Pilkada, Pileg DPRD). Dasar pertimbangan mahkamah, antara lain: beban berat partai politik sebagai subyek hukum, dalam mengikuti kontestasi berat, serentak, lima kertas suara. Juga beban penyelenggara, yang non stop, mengerjakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada di tahun bersamaan. Sementara itu Perludem, sebagai pemohon, menyatakan bahwa Pemilu serentak dengan lima kotak suara (disusul Pilkada di tahun yang sama) menjadi penyebab terhadap: (1) pemilih jenuh, (2) mengganggu konsentrasi pembangunan daerah, dan (3) kualitas penyelenggaraan terdegradasi. Apa sisi baiknya? Pertama harus dilihat, yudisialisasi terhadap UU Pemilu, terus berlahiran. UU Pemilu adalah UU paling compang-camping sepanjang sejarah Indonesia (mungkin di dunia). Segala pasal dan bahkan definisi di UU Pemilu, diuji dan ditinjau kembali. Beberapa diputuskan oleh MK, dengan demikian, pilihan pasal harus dihapus. Putusan MK hari ini, menambah peluru akan pentingnya UU Pemilu direvisi. Segera. Agar ada waktu cukup. Kedua, putusan MK yang terkait Pemilu Nasional dan Lokal ini, wajib ditelaah serius. Karena MK hanya menelurkan norma yuridis, bukan praktis. Artinya, Pemerintah, DPR, Partai Politik, dan para pemangku kepentingan, wajib kerja keras, mengeluarkan instrumen hukum yang lebih detil, agar tidak terjadi tabrakan kepentingan. Ketiga, momen keluarnya putusan mahkamah, tepat waktu. Karena saat ini, UU Pemilu baru tengah digodok. Jadi, kesempatan menyisipkan UU Pemilu Lokal dan Nasional, masih terbuka. Tak akan melahirkan kegemparan. Keempat, kesempatan untuk menggodok revisi UU Pemilu, dengan poin-poin prioritas, menjadi kian terbuka. Kita tak boleh tutup mata, berapa banyak celah hukum di UU Pemilu lama, yang dipakai di Pemilu 2024 kemarin. Kami sebagai penyelenggara tahu persis, pelbagai lubang hukum, celah kontroversi, dan tafsir karet, gara-gara UU Pemilu No 7 Tahun 2017, yang saat dibuat sangat buru-buru. Terakhir, setidaknya ada sembilan isu besar yang akan dibahas di revisi UU Pemilu saat ini. Semoga berbagai pihak yang terlibat, menghormati logika demokrasi. Tidak menggiring UU Pemilu hanya sesuai dengan logika politik semata.


Selengkapnya
472

Titik Berat Revisi UU Pemilu

Titik Berat Revisi UU Pemilu Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Undang-Undang Pemilu adalah pemegang rekor. Belum tersaingi undang-undang manapun. Terkait dengan banyaknya putusan MK yang “mengoreksi” UU Pemuilu. Menurut Perludem, sebanyak 159 kali UU ini diuji oleh MK, dengan putusan yang mayoritas berubah. Artinya, UU Pemilu sudah compang-camping, penuh tambalan, dan wajib direvisi total. Dengan demikian, diskursus perubahan UU Pemilu bukan lagi soal perlu dan tidak perlu, atau seberapa banyak perubahan, melainkan Menyusun mana yang lebih prioritas dibahas, seraya membuka ruang partisipasi serta aspirasi publik. Terakhir ini menguat desakan agar dibentu Pansus RUU Pemilu, dimotori Fraksi PKS di DPR RI. PKS mengemukakan alasan, revisi UU Pemilu butuh konsentrasi khusus, yang tak boleh hanya dibahas di Baleg (badan legislasi) atau Komisi, melainkan lintas fraksi dan komisi. Mengingat percepatan waktu untuk penyelesaian, serta Bersiap untuk menghadapi Pemilu ke depan. Sebelumnya, RUU Pemilu juga sudah masuk sebagai Prolegnas (program legislasi nasional). Lain kata, revisi UU Pemilu go show. Percakapan publik melalui media sosial atau ruang seminar dan diskusi juga mulai bermunculan. Pun dengan ragam analisis pakar, aspirasi lembaga, dan kampus, telah mulai fokus. Jika diurutkan, prioritas perubahan yang mengemuka, mencakup tujuh perkara. Pertama memasukkan putusan MK, yang menghapus syarat pasangancalon presiden dan calon wakil presiden, yang sebelumnyta 20% dari total kursi DPR RI, menjadi 0%. Ketentuan ini wajib menjadi bagian utama untuk disetujui. Meski begitu, sejumlah pakar mendesak agar dilakukan penambahan syarat, agar tujuan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yakni melahirkan calon yang banyak, mencegah calon Tunggal, bisa tergapai. Pakar hukum tata negara, Mahfudz MD misalnya, meminta agar DPR juga memasukan syarat dukungan maksimum terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sebab, jika tak dibatasi, ada peluang main borong dan mengambil semua dukungan kursi DPR oleh pasangan calon tertentu. Rumusan ini masuk akal. Sebab tak mustahil ada kubu yang kuat, karena ingin bertanding tanpa lawan, lantas memborong seluruh kursi perwakilan partai di parlemen. Kedua, mengakomodasi tuntutan untuk mengganti sistem proporsional terbuka dengan sistem gabungan. Dalam proporsional terbuka, maka Caleg yang berhak mendapat kursi adalah yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihan masing-masing. Pola ini telah dilakukan sejak Pemilu 2009 sampai 2024 lalu. Lahir reaksi keras, karena sistem ini dianggap membunuh kader-kader penting yang dimiliki partai politik, karena kalah saing oleh pendatang baru atau kutu loncat yang memiliki banyak uang. MK telah memutuskan, bahwa yang dilarang adalah proporsional tertutup (yakni system party list, yaitu kursi diperoleh oleh nomor urut satu). Tetapi untuk sistem gabungan, masih dimungkinkan, sejauh sesuai dengan sistem yang berjalan dan tidak menimbulkan kegaduhan. Proporsional terbuka gabungan adalah: pemenang kursi langsung ke nomor  urut satu, sejauh tak ada caleg lain di partai yang sama dan Dapil yang sama, yang tak memperoleh suara lebih dari 30% BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). BPP adalah rumus baku untuk menghitung nilai suara dari setiap kursi di masing-masing Dapil. Misalnyta, di sebuah Dapil, harga per kursi adalah 10.000 suara, maka ketika tak ada Caleg yang memperoleh suara di atas 3.000, maka otomatis kursi lari ke nomor urut satu. Sistem ini lebih bercorak keadilan dan memberi ruang bagi para pihak untuk memperoleh kursi. Di satu sisi, kader murni partai tak terancam penuh untuk gagal, sementara Caleg cabutan yang punya modal uang, belum tentu juga merebut langsung kursi. Ketiga, mengganti sistem konversi suara ke kursi. Ini wajib dilakukan jika poin kedua disepakati (yakni melaksanakan sistem proporsional gabungan). Mengapa? Di Pemilu 2019 sampai dengan 2024, diberlakukan metode Sainte Lague, yakni membagi perolehan total suara partai dan Caleg, dengan bilangan ganjil (dibagi 1, 3, 5, dst). Resikonya kerap terjadi hasil yang jompang. Ada partai yang misalnya memperoeh 10.000 suara di satu Dapil, tetapi perolehan kursinya setara dengan partai yang memperoleh 3.400 suara (sama-sama mendapat satu kursi). Partai yang 10.000 suara begitu banyak suara yang hangus. Maka, usulan kembali menerapkan sistem divisor, yakni quota hare alias Bilangan Pembagi Pemilih, jauh lebih adil. Dalam sistem ini, harga kursi per Dapil dihitung terlebih dahulu. Misalnya di Dapil A, harga per kursi adalah 6.000 suara sah, maka prioritas kursi diperoleh partai politik yang mendapat suara 6.000an ke atas. Partai yang suaranya kurang dari 6.000, bisa saja memperoleh kursi, tetapi kursi sisa (dihitung di tahap kedua, sejauh masih ada kursi yang belum terisi). Keempat, menggabungkan UU Pemilu sebagai Omnibus Law, atawa mengumpulkan seluruh UU dalam satu paket, seperti era Orde Baru lalu, disebut paket UU Politik. Untuk efisiensi dan kemudahan, maka UU Pemilu ke depan bisa digabung dengan UU Pilkada. Kelima, menjadikan Pemilu serentak dalam dua putaran. Yakni putaran pertama Pemilu Legislatif memilih DPR RI dan DPD, serta Pemilihan Presiden. Dan di putaran kedua, pemilihan Kepala Daerah dan Pileg untuk DPRD Prov, Kabupaten, dan kota. Usulan ini sekaligus juga membuat Pemilu berjarak, dengan rentang waktu selisih dua tahun. Keenam, menurunkan ambang batas parlemen, semula 4% menjadi 2%. Usulan ini datang dari fenomena politik terakhir, yakni sejumlah partai tak lolos ke parlemen. Aspirasi ini kemungkinan sulit diwujudkan, karena partai besar cenderung dengan aturan PT (Parliamentary Treshold) tetap sebesar 4%. Ketujuh, mengganti desain baru kertas suara, agar tidak ribet dan mudah. Hal ini perlu menjadi perhatian, karena angka suara tidak sah begitu banyak, dari Pemilu ke Pemilu. Di sini juga ada usulan lain, yakni penataan Daerah Pemilihan, agar dikembalikan ke KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kota. Yaitu menata Dapil DPRD Kabupaten Kota oleh KPU Kabuapten Kota, serta menata Dapil DPRD Provinsi oleh KPU Provinsi. Sementara Dapil DPR RI oleh KPU RI. Selama ini, KPU RI memborong penataan Dapil untuk DPR RI dan DPRD Provinsi.


Selengkapnya
226

Plus Minus E Voting di Pilkades 2027

Plus Minus E Voting di Pilkades 2027   Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kabupaten Tangerang   Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) di 2027 menerapkan sistem E Voting, atau pemilihan berbasis elektronik, Digital. Warga desa pemilih tak lagi mencoblos kertas suara bergambar calon, melainkan cukup meng-klik pada foto pasangan. Mirip gerakan jempol di layar sentuh. Rencana ini dimatangkan oleh Kementrian dalam negeri. Tujuannya: modernisasi Pilkades. Asumsi global adalah ikut arus kemajuan teknologi informasi. Per definisi, tak ada yang aneh dengan rencana Pemilihan Kepala Desa jalur layar sentuh. Indonesia adalah pengguna Medsos terbesar. Jumlah gadget tiga kali lipat dari penduduk. Kawasan blank spot (tak ada jaringan internet, hanya beberapa zona), dan lagipula, ujicoba Pilkades sistem E Voting sejak lama diterapkan. Beberapa laporan menyebutkan di Boyolali dan Jembrana, jadi pioner. Sedari 2013, E Voting dilakukan. Hingga hari ini, 2000ab desa menerapkan teknologi pencoblosan digital. Pun sebagai perbandingan, KPU mampu menerapkan digitalisasi pemilihan, di ratusan ribu TPS se Indonesia. Memang bukan di tahap pencoblosan, melainkan di level pendataan hak pilih dan penghitungan. Faktanya, di Pilkada 2024 lalu, metode ini relatif berhasil. Artinya, sumber daya, infrastruktur teknologi, jejaring, dan kemampuan standar dalam digitalisasi proses pemilihan, layak diterapkan. Meski begitu, diskusi serius dan investigasi serta mitigasi tantangan Pilkades rasa E Voting wajib dikerjakan. Setiap kebijakan publik pemerintah menyisakan ruang perdebatan. Gugatan mendasar terpapar di empat hal mendasar. Pertama, arus aspirasi dan kemunculan kehendak E Voting Pilkades bukan bersumber dari jeritan atau tuntutan rakyat desa. Tak ada secuil terdengar gerakan publik meminta soal ini. Di mata rakyat desa, Voting Pilkades tak pernah jadi agenda. Ini sama sekali bukan prioritas. Seketika kita melihat, usulan ini murni kehendak elit.  Meski memang ada penjelasan, yakni modernisasi Pilkades, dengan ekor argumen tambahan: efisiensi, transparansi, kecepatan akses, basis data bersama, dan mencegah kecurangan. Poin-poin ini sebagian terkonfirmasi. Benar memang, via teknologi digital, beberapa urusan Pilkades jadi lebih hemat, ramping, terkontrol, dan akses terbuka. Namun bagaimana dengan potensi konflik? Sengketa di bawah, serta ketidakpuasan? Sejatinya faktor-faktor ini wajib menjadi fokus serius pemerintah. Agar tak meletupkan masalah di bawah. Kedua, tata kelola penyelenggaraan pemilihan tak bisa tidak, mesti ikut norma kompetisi politik. Pilkades sepenuhnya adalah konflik, karena di sana ada pertarungan terbuka, kompetisi para kandidat, dan segala sengketa. Ruang lemah ini, layak ditutup pemerintah. Dengan membuat kerangka hukum, regulasi, seraya aturan teknis sedetil mungkin. Dengan melibatkan para pihak untuk merumuskan. Salah satu pihak yang kompeten dilibatkan adalah akademisi, kaum profesional, dan KPU (sebagai praktisi kepemiluan). Ketiga, e-voting di Pilkades jangan meminggirkan ruang partisipasi publik, terutama rakyat desa. Gagasan ini dari atas, tapi pengerjaan wajib mengakomodasi sumber daya lokal. Dalam Pemilu, yang skalanya massif, KPU bertumpu pada warga setempat, untuk jadi panitia (misalnya KPPS dan PPS, yang merupakan penduduk asli di situ). E Voting berpotensi memangkas begitu banyak fungsi kerja, lalu dikelola terpusat, lalu keterlibatan rakyat desa menjadi terbatas. Ini akan problematik. Maka lebih tepat mengajak peran pemilih setempat, untuk jadi panitia. Keempat, tak bisa semua tahapan diganti secara digital. Kombinasi dengan praktek konvensional diperlukan. Semisal dalam pendataan hak pilih. Empat paparan di atas memang prioritas. Belum lagi potensi resiko dalam penerapan digitalisasi Pilkades. Yakni terasa asing, mengubah kultur, dan jauh dari tradisi. Pemerintah harus ingat, Pilkades adalah ajang ritual politik khas desa. Di sana ada kemeriahan, keasyikan, dan bisa disebut golden momen bagi masyarakat desa. E Voting, berpotensi meluruhkan pelbagai keunikan dan daya tarik Pilkades. Semestinya, pemerintah segera menyusun payung hukum, agar Pilkades pola E Voting tidak menjadi kontra produktif, alias memancing keresahan di mana-mana.


Selengkapnya
91

E Voting di Pilkades 2027, Perspektif KPU

E Voting di Pilkades 2027, Perspektif KPU   Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab Tangerang   Kemendagri mendorong penggunaan E Voting di Pilkades 2027. Kebijakan ini bersumber dari kajian, eksperimen, dan perhitungan teknis administratif. Menurut Wamendagri, Bima Arya, pemerintah dengan beberapa pihak telah membuat serangkaian langkah persiapan. Termasuk analisis efisiensi, transparansi, dan dampak e Voting di Pilkades. Sementara dukungan politis dari parlemen dan elit partai juga terus dilakukan. Kemendagri beberapa kali melakukan audiensi. Selain ke DPR juga ke DPP Partai Politik di Jakarta. Suara dukungan juga sudah bermunculan, dari BRIN dan sejumlah akademisi kampus. Lalu bagaimana sikap KPU? Sebagai institusi yang memiliki pengalaman praktis mengelola pemilihan umum dan pemilihan, wajar jika KPU merekomendasikan berbagai catatan. Meski hari ini belum ada sikap resmi, namun perspektif intelektual wajar dilakukan. Paling penting, dari sisi tata kelola, E Voting bukan perkara berat. Dari sisi teknologi, keamanan, sistem, pangkalan data, dan jaringan, dipastikan bisa dilakukan. Perbandingannya jelas. KPU mampu membuktikan penggunaan teknologi digital dalam Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Basis digital banyak membantu dan mempermudah tahapan. Sekaligus transparan plus akuntabel. Memang best practise KPU bukan di tahap pencoblosan (yang masih manual). Namun berlangsung di tahap pencalonan, pendataan hak pilih, dan penghitungan suara. Skala kerja yang dilakukan KPU termasuk raksasa (ingat Pemilu terbesar dan serentak di dunia, berlangsung di Indonesia). Semua ini bisa jadi cerminan, karena beban kerja E Voting di Pilkades 2027, jauh lebih sedikit. Sangat bisa dilakukan di mayoritas desa di Indonesia. Catatan: masih ada desa blankspot, tak ada sarana listrik, dan kekurangan sumber daya, namun prosentase sedikit. Mayoritas bisa dilaksanakan. Sorotan lain yang perlu dikaji serius adalah aspek regulasi dan petunjuk kerja dari pemerintah. Secara umum, MK telah membuat keputusan bahwa pemilihan dengan cara mencoblos, bisa diganti dengan pemilihan pola digital. Tak ada masalah hukum dengan rencana E Voting Pilkades. Justru mendesak adalah pengaturan hukum secara teknis. Mengatur tata cara detil, agar tujuan E Voting dalam Pilkades tepat sasaran. Prioritas yang berada di urutan pertama, aturan hukum harus tegas, mempersempit multitafsir, mengikis peluang sengketa, dan menjamin partisipasi dan transparansi. Saat pelaksanaan, panduan hukum sangat dibutuhkan panitia Pilkades di setiap desa. Karena mereka yang langsung bersentuhan dengan aspek teknis. Sisi penting lain yang tak bisa disepelekan adalah kampanye publik serta sosialisasi massif. Publik wajib memperoleh akses informasi terperinci, agar timbul trust atau kepercayaan.


Selengkapnya
300

Wajah Baru (Undang Undang) Pemilu

Wajah Baru (Undang Undang) Pemilu   Oleh: Endi Biaro, Pegiat Pemilu   Akar tunjang Pemilu berpijak pada aturan main, atau seperangkat kaidah dan norma. Berpatok pada konstitusi dan regulasi. Karena semua produk hukum Pemilu adalah resultan (hasil pergumulan) politik. Di titik ini, perubahan undang-undan Pemilu menjadi niscaya. Hanya saja butuh urutan prioritas, dengan segala urgensinya. Di atas tertinggi, tak ada kebutuhan genting atau mendesak untuk merevisi konstitusi. Pasal-pasal kepemiluan di UUD NKRI 1945, sudah mencukupi. Justru turunannya, yakni Undang Undang Pemilu, yang butuh beberapa penyesuaian. Konteks kebutuhan bisa dilihat dari dialektika dan pergumulan aspirasi publik. Medan gagasan dan kritik tajam para pihak mulai bermunculan. Apabila diurut, kurang lebih adalah:   pertama, tuntutan mengembalikan pola konversi suara ke kursi, dari saint league ke quota hare (atau BPP, bilangan pembagi pemilih). Kedua, menurunkan ambang batas parlemen, sebelumnya 4% ke prosentasi di bawahnya, menjadi 3%, 2 % atau 0 %. Ketiga, sempat kencang di 2022 lampau adalah: menerapkan sistem proporsional tertutup! Usulan ini gagal, karena sudah ada putusan MK. Akan tetapi, MK memberi opsi lunak,  yakni menerapkan sistem campuran. Pesan MK adalah sejauh bisa dilakukan dan tidak melanggar asas keadilan. Ini artinya, sistem campuran masih berpeluang menjadi aturan main di Pemilu 2029. Penjelasan: proporsional tertutup menjadikan seorang Caleg nomor urut satu sebagai pemilik kursi, jika partainya mampu merebut kursi di Dapil masing-masing. Pernah dipakai di Indonesia sejak 1955 sampai 2004). Sistem terbuka, hanya Caleg peraup suara terbanyak yang lolos (diterapkan saat ini). Sistem campuran adalah kombinasi. Yakni, nomor urut satu tak otomatis dapat kursi, jika ada Caleg  lain yang perolehan suaranya melebihi dari 30% harga kursi. Nah, sistem ini, yakni terkait konversi suara ke kursi, wajib paralel dengan sistem party list (nomor urut Caleg). Jika diberlakukan sistem BPP (menghitung harga suara per kursi), maka sistem proporsional campuran bisa diterapkan. Karena ada basis jelas untuk menghitung suara. Keempat, penataan Dapil atau distric magnitude. Dapil adalah isu penting yang kerap diabaikan, hingga itu mudah diakali. Banyak Dapil kacau di Indonesia, seperti gabungan Kota Bogor dengan Cianjur di Jawa Barat. Atau tiga kecamatan yang terpotong di Dapil DKI. Atau Dapil suka suka di Kab Tangerang. Isu Dapil juga penting dibahas di UU Pemilu baru, jika kita melihat kasus Papua. Empat Provinsi Baru di Papua, masih gabung dengan dua Dapil di Papua induk (Papua dan Papua Barat). Kelima, tak kalah kencang adalah soal waktu pelaksanaan Pemilu. Perludem, Puskapol UI, dan lain-lain, meminta agar diberlakukan Pemilu Nasional dan Pemilu lokal, dengan jarak waktu minimal dua tahun. Pemilu nasional adalah gabungan Pilpres dengan Pileg DPR RI dan DPD RI. Sementara Pemilu Lokal adalah gabungan Pilkada dengan Pileg DPRD Prov/Kab/Kota. Nah, kelima poin desakan publik ini, jika terakomodasi dalam revisi UU Pemilu, otomatis mengubah wajah Pemilu kita.


Selengkapnya