Titik Berat Revisi UU Pemilu
Titik Berat Revisi UU Pemilu Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kabupaten Tangerang Undang-Undang Pemilu adalah pemegang rekor. Belum tersaingi undang-undang manapun. Terkait dengan banyaknya putusan MK yang “mengoreksi” UU Pemuilu. Menurut Perludem, sebanyak 159 kali UU ini diuji oleh MK, dengan putusan yang mayoritas berubah. Artinya, UU Pemilu sudah compang-camping, penuh tambalan, dan wajib direvisi total. Dengan demikian, diskursus perubahan UU Pemilu bukan lagi soal perlu dan tidak perlu, atau seberapa banyak perubahan, melainkan Menyusun mana yang lebih prioritas dibahas, seraya membuka ruang partisipasi serta aspirasi publik. Terakhir ini menguat desakan agar dibentu Pansus RUU Pemilu, dimotori Fraksi PKS di DPR RI. PKS mengemukakan alasan, revisi UU Pemilu butuh konsentrasi khusus, yang tak boleh hanya dibahas di Baleg (badan legislasi) atau Komisi, melainkan lintas fraksi dan komisi. Mengingat percepatan waktu untuk penyelesaian, serta Bersiap untuk menghadapi Pemilu ke depan. Sebelumnya, RUU Pemilu juga sudah masuk sebagai Prolegnas (program legislasi nasional). Lain kata, revisi UU Pemilu go show. Percakapan publik melalui media sosial atau ruang seminar dan diskusi juga mulai bermunculan. Pun dengan ragam analisis pakar, aspirasi lembaga, dan kampus, telah mulai fokus. Jika diurutkan, prioritas perubahan yang mengemuka, mencakup tujuh perkara. Pertama memasukkan putusan MK, yang menghapus syarat pasangancalon presiden dan calon wakil presiden, yang sebelumnyta 20% dari total kursi DPR RI, menjadi 0%. Ketentuan ini wajib menjadi bagian utama untuk disetujui. Meski begitu, sejumlah pakar mendesak agar dilakukan penambahan syarat, agar tujuan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yakni melahirkan calon yang banyak, mencegah calon Tunggal, bisa tergapai. Pakar hukum tata negara, Mahfudz MD misalnya, meminta agar DPR juga memasukan syarat dukungan maksimum terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sebab, jika tak dibatasi, ada peluang main borong dan mengambil semua dukungan kursi DPR oleh pasangan calon tertentu. Rumusan ini masuk akal. Sebab tak mustahil ada kubu yang kuat, karena ingin bertanding tanpa lawan, lantas memborong seluruh kursi perwakilan partai di parlemen. Kedua, mengakomodasi tuntutan untuk mengganti sistem proporsional terbuka dengan sistem gabungan. Dalam proporsional terbuka, maka Caleg yang berhak mendapat kursi adalah yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihan masing-masing. Pola ini telah dilakukan sejak Pemilu 2009 sampai 2024 lalu. Lahir reaksi keras, karena sistem ini dianggap membunuh kader-kader penting yang dimiliki partai politik, karena kalah saing oleh pendatang baru atau kutu loncat yang memiliki banyak uang. MK telah memutuskan, bahwa yang dilarang adalah proporsional tertutup (yakni system party list, yaitu kursi diperoleh oleh nomor urut satu). Tetapi untuk sistem gabungan, masih dimungkinkan, sejauh sesuai dengan sistem yang berjalan dan tidak menimbulkan kegaduhan. Proporsional terbuka gabungan adalah: pemenang kursi langsung ke nomor urut satu, sejauh tak ada caleg lain di partai yang sama dan Dapil yang sama, yang tak memperoleh suara lebih dari 30% BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). BPP adalah rumus baku untuk menghitung nilai suara dari setiap kursi di masing-masing Dapil. Misalnyta, di sebuah Dapil, harga per kursi adalah 10.000 suara, maka ketika tak ada Caleg yang memperoleh suara di atas 3.000, maka otomatis kursi lari ke nomor urut satu. Sistem ini lebih bercorak keadilan dan memberi ruang bagi para pihak untuk memperoleh kursi. Di satu sisi, kader murni partai tak terancam penuh untuk gagal, sementara Caleg cabutan yang punya modal uang, belum tentu juga merebut langsung kursi. Ketiga, mengganti sistem konversi suara ke kursi. Ini wajib dilakukan jika poin kedua disepakati (yakni melaksanakan sistem proporsional gabungan). Mengapa? Di Pemilu 2019 sampai dengan 2024, diberlakukan metode Sainte Lague, yakni membagi perolehan total suara partai dan Caleg, dengan bilangan ganjil (dibagi 1, 3, 5, dst). Resikonya kerap terjadi hasil yang jompang. Ada partai yang misalnya memperoeh 10.000 suara di satu Dapil, tetapi perolehan kursinya setara dengan partai yang memperoleh 3.400 suara (sama-sama mendapat satu kursi). Partai yang 10.000 suara begitu banyak suara yang hangus. Maka, usulan kembali menerapkan sistem divisor, yakni quota hare alias Bilangan Pembagi Pemilih, jauh lebih adil. Dalam sistem ini, harga kursi per Dapil dihitung terlebih dahulu. Misalnya di Dapil A, harga per kursi adalah 6.000 suara sah, maka prioritas kursi diperoleh partai politik yang mendapat suara 6.000an ke atas. Partai yang suaranya kurang dari 6.000, bisa saja memperoleh kursi, tetapi kursi sisa (dihitung di tahap kedua, sejauh masih ada kursi yang belum terisi). Keempat, menggabungkan UU Pemilu sebagai Omnibus Law, atawa mengumpulkan seluruh UU dalam satu paket, seperti era Orde Baru lalu, disebut paket UU Politik. Untuk efisiensi dan kemudahan, maka UU Pemilu ke depan bisa digabung dengan UU Pilkada. Kelima, menjadikan Pemilu serentak dalam dua putaran. Yakni putaran pertama Pemilu Legislatif memilih DPR RI dan DPD, serta Pemilihan Presiden. Dan di putaran kedua, pemilihan Kepala Daerah dan Pileg untuk DPRD Prov, Kabupaten, dan kota. Usulan ini sekaligus juga membuat Pemilu berjarak, dengan rentang waktu selisih dua tahun. Keenam, menurunkan ambang batas parlemen, semula 4% menjadi 2%. Usulan ini datang dari fenomena politik terakhir, yakni sejumlah partai tak lolos ke parlemen. Aspirasi ini kemungkinan sulit diwujudkan, karena partai besar cenderung dengan aturan PT (Parliamentary Treshold) tetap sebesar 4%. Ketujuh, mengganti desain baru kertas suara, agar tidak ribet dan mudah. Hal ini perlu menjadi perhatian, karena angka suara tidak sah begitu banyak, dari Pemilu ke Pemilu. Di sini juga ada usulan lain, yakni penataan Daerah Pemilihan, agar dikembalikan ke KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kota. Yaitu menata Dapil DPRD Kabupaten Kota oleh KPU Kabuapten Kota, serta menata Dapil DPRD Provinsi oleh KPU Provinsi. Sementara Dapil DPR RI oleh KPU RI. Selama ini, KPU RI memborong penataan Dapil untuk DPR RI dan DPRD Provinsi.
Selengkapnya