Opini

135

Algoritma Pemilu dan Kotak Pandora Putusan MK

Algoritma Pemilu dan Kotak Pandora Putusan MK Oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kab. Tangerang   Sisi terbaik dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah meletupkan percakapan publik.  Membuka ruang diskusi berbasis argumentasi. Seraya meningkatkan kualitas   pertukaran informasi dari segala sisi. Putusan mahkamah tentang pengaturan keserentakan Pemilu ini seperti membuka kotak padora,  meyebulkan aneka persoalan kepemiluan ke permukaan. Dalam mitologi Yunani, kotak pandora adalah sebuah misteri yang tertutup, lantas terbuka. Benar, dominasi perdebatan yang paling menyita atensi; apakah judicial order dari MK ke para pembuat undang-undang bisa dilaksakan atau tidak. perintah itu disebut ultra petita (pengabulan melampaui permohonan), terlalu detil mengurus teknis yang mestinya menjadi open legal policy (kebijakan terbuka), dan deklarasi keras bahwa MK  inkonsisten sekaligus inkonstitusional. Sumber respon kontra ini mayoritas bersumber dari elit politik dan parlemen. Sementara para pakar, pegiat isu kepemiluan, akademisi, penyelenggara, dan intelektual kritis,  memberikan perspektif yang lain. Per definisi, pola saling tanggap ini terkesan opposition biner (saling berlawanan). Senyatanya tidak. Lantaran masih ada diskursus yang merambah tema-tema lebih penting. Pelacakan paling awal menyetuh aspek genting dan mendesak. Melakukan perbaikan, revisi atau perubahan terhadap Undang Undang Pemilu. Kebutuhan mendesak ini menemukan momentum di saat ini, dan tambah kencang dengan keluarnya putusan MK. Tertutup sudah ruang pengabaian di parlemen. Kita berpengalaman pasca Pemilu 2019. Saat itu desakan perubahan UU Pemilu begitu kuat, namun DPR menguci rapat, bahkan rencana pembahasan menghilang dari Prolegnas (Program Legisasi Nasional). Daya ledak putusan itu menggedor benak khalayak. Percakapan publik kini menyasar isu-isu tambahan (terkait sistem pemilu). Di sisi lain, kalangan masyarakat sipil kini memiliki wawasan baru, bahwa begitu banyak alasan untuk segera membahas revisi UU Pemilu. Di aras sistemik, putusan yang bermula dari uji materi oleh Perludem ini, memaparkan problem rumit Pemilu Lima Kotak (di 2019 dan 2024) sekaligus resolusi yang wajib ditindaklanjuti. Betapa banyak korban meninggal, redupnya agenda lokal oleh kontestasi Pilpres, kualitas penyelenggaraan di bawah standar (angka suara tak sah tinggi, jauh di atas standar internasional, mecapai 8%n dan 10%), kejenuhan pemilih, kerumitan produksi dan distribusi logistik, sampai  tetap tingginya pelaggaran atau sengketa. Putusan MK  memaksa semua pihak melakukan reevaluasi atas sistem Pemilu kita. Di level teknis, diskursus perbaikan elemen sistem Pemilu kian menguat. Pemilu bermartabat (genuine election), tercermin dari sistem yang adil dan jujur. Maka perbaikan elemen teknis menjadi perlu. Opini para ahli tentang hal ini bermunculan. Tema-tema seputar penataan daerah pemilihan, penerapan sistem proporsioal campuran, menghitung kembali ambang batas parlemen, menerapkan konversi suara ke kursi dengan formula BPP (bilangan pembagi pemilih), pola rekrutmen calon,  penegakan hukum, sampai soal seleksi  penyelenggara sebelum tahapan Pemilu dimulai, kerap bermuculan. Semula, elemen teknis ini mejadi isu minor, kini major (sering diwacanakan). Sepertinya ini paralel dengan pergeseran selera diskusi publik di media sosial, yang mulai gandrung terhadap pembahasan  mendalam, argumentatif, merujuk pada influencer yang kompeten, serta gelisah terhadap perbaikan demokrasi politik. Termasuk isu-isu seputar Pemilu. Lalu bagaimana artikulasi kita dengan algoritma isu Pemilu yang sedang hits ini? Mengawal putusan  MK adalah kemestian, ini langkah pertama. Ingat, ada belasan amar putusan yang wajib masuk di UU Pemilu yang baru, bukan hanya soal pengaturan keserentakan. Langkah kedua, sebagaimana dilakukan Perludem dan kalangan masyarakat madani lainya, mersepon setiap penyesatan informasi dan pemutarbalkan fakta. Melucurkan variasi informasi secara intensif, bukan hanya bermakna terhadap edukasi publik, melainkan memperluas dukungan untuk advokasi. Gerakan memperkuat partisipasi bermakna (meaningful participations) ke banyak segmen masyarakat sipil, termasuk dengan kalangan penyeleggara. Evaluasi bersama, bedah kasus, dan rekomedasi aksi, akan berguna dalam berhadap-hadapan dengan agenda tersembunyi para aktor. Ini langkah ketiga. Memperbanyak upaya kreatif untuk melambungkan isu Pemilu, sebagai langkah keempat, adalah mengokohkan jejaring dan melipatgandakan partisiaspi aktif publik. Saat ini, cukup banyak influencer dan konten kreator yang berani kritis dan berpihak pada jeritan rakyat. Insya Allah.


Selengkapnya
455

Pemilu 2024 : Mengenal Dapil dan Alokasi Kursi DPRD Kabupaten Tangerang

Pemilu 2024 : Mengenal Dapil dan Alokasi Kursi DPRD Kabupaten Tangerang Oleh : Dedi Irawan  Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Secara umum, Total 2.710 daerah pemilihan (Dapil) dengan jumlah kursi sebanyak 20.462 tersebar di 38 provinsi se-Indonesia untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Total Dapil dan jumlah kursi tersebut tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2023. PKPU 6/2023 mengatur tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilahan Umum Tahun 2024. Klasifikasi Dapil di wilayah Indonesia pada pemilu tahun 2024 : Di Dapil DPR RI terdiri 84 Dapil dan 580 Kursi, Di Tingkat DPRD Provinsi terdiri dari 301 Dapil dan 2.372 Kursi, serta Ditingkat Kabupaten/ kota ada 2.325  dengan jumlah Kursi 17.510. Di Kabupaten Tangerang, Untuk Pemilu tahun 2024 terdapat perubahan untuk alokasi kursi DPRD. Kabupaten Tangerang dikarenakan bertambahnya penduduk, yang semua berjumlah 50 Kursi untuk tahun 2019 di pemilu 2024 kemarin bertambah 5 kursi dengan total semuanya 55 Kursi. Dapil menjadi hal yang sangat krusial dalam pelaksanaan pemilu. Hal itu karena Dapil merupakan tempat para calon legislatif (caleg) untuk meraih banyak suara atau berkontestasi. Dengan bertambahnya kursi dihampir setiap Dapil menjadi tantangan sebenarnya untuk semua peserta pemilu untuk menambah kursinya atau bahkan partai yang sebelumnya belum mendapatkan kursi untuk bisa mengambil peran dengan kondisi tersebut, hal ini pula menjadi tantangan untuk penyelenggara karena pastinya semakin bertambah beban kerja karena pemilihnya semakin bertambah salah satunya dalam hal pemutakhiran DPT-nya. Tercatat dalam urutan DPT di seluruh Indonesia, Kabupaten Tangerang menjadi nomor 3 tertinggi DPTnya, setelah Kabupaten Bogor dan Kota Jakarta Timur. Selain wilayah dengan letak geografis yang luas, Masyarakat urban yang sangat tinggi populasinya, kabupaten Tangerang juga menjadi wilayah yang spesial dan lengkap karena semua lini sektor perekonomian tersedia mulai dari pertanian, kelautan, serta industri menjadi ciri khas kabupaten Tangerang ditambah dengan populasi penduduk yang sangat padat. Dibawah ini merupakan pembagian wilayah Dapil DPRD Kabupaten, di wilayah kabupaten Tangerang Pada Pemilu Tahun 2024 dari Jumlah 29 Kecamatan dan 274 Desa/ Kelurahan, terbagi menjadi 6 Dapil. Pembagiannya antara lain : Dapil 1 terdiri dari 6 Kecamatan (Tigaraksa, Jambe, Cisoka, Solear, Jayanti, Balaraja) dari 6 Kecamatan ini memiliki alokasi 10 Kursi. Dapil 2 terdiri dari 8 Kecamatan (Sukamulya, Kresek, Gunung Kaler, Mekar Baru, Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri) dari 8 Kecamatan ini memiliki alokasi 9 Kursi. Dapil 3 terdiri dari 5 Kecamatan (Sepatan, Sepatan Timur, Pakuhaji, Teluknaga, Kosambi) dari 5 Kecamatan ini memiliki alokasi 10 Kursi. Dapil 4 terdiri dari 3 Kecamatan (Pasar Kemis, Sindang Jaya, Rajeg) dari 3 Kecamatan ini memiliki alokasi 9 Kursi. Dapil 5 terdiri dari 3 Kecamatan (Curug, Cikupa, Panongan) dari 3 Kecamatan ini memiliki alokasi 9 Kursi. Dapil 6 terdiri dari 4 Kecamatan (Kelapa Dua, Cisauk, Pagedangan, Legok) dari 4 Kecamatan ini memiliki alokasi 8 Kursi. Tujuan pembentukan dapil adalah untuk menetapkan alokasi kursi yang menjadi dasar dalam mengajukan calon oleh pimpinan partai politik (parpol) dan menetapkan calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih. Dapil berperan sebagai sebagai tempat di mana para calon legislatif bersaing dan berkontestasi untuk mendapatkan dukungan suara. Sistem Dapil adalah manifestasi dari representasi politik dan demokrasi perwakilan yang bertujuan agar rakyat dan wakil rakyat yang terpilih tetap dapat menjaga hubungan dan komunikasi kepentingan setelah Pemilu selesai. Melalui sistem Dapil, konstituen dapat mengetahui siapa yang mewakili suara dan aspirasi mereka, dan kepada siapa mereka dapat menuntut akuntabilitas. Demikian pula, wakil rakyat mengetahui siapa yang mereka wakili dan kepada siapa mereka harus bertanggung jawab atas amanah kekuasaan yang diembannya.


Selengkapnya
156

Putusan MK dan KPU Pasca Pemilu

Putusan MK dan KPU Pasca Pemilu Oleh : Endi Biaro Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tangerang   Sebagai pemegang mandat konstitusi untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum, KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Di situ terlekat kaidah tetap, artinya terus menerus  melakukan aktivitas kepemiluan, meski tahapan utama selesai dilaksanakan. Atribusi kewenangan KPU untuk melaksanakan tahapan Pemilu, juga termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Lalu, apakah tugas dan kewajiban KPU hanya berlangsung selama tahapan saja? Misalnya di masa seperti sekarang ini, yang lazim disebut pasca Pemilu (post election), KPU tetap produktif. Seperti melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, aktivasi Sipol (antisipasi perubahan data kepengurusan partai politik), melakukan studi, riset, dan kajian-kajian akademik, menyediakan pangkalan Big Data secara terbuka (Peta Satu Data), cekdptonline, evaluasi, pembelajaran best practise, dan horizontal learning (belajar dari pengalaman praktek kepemiluan dengan KPU Provinsi, Kabupaten/Kota). Begitupun dengan proses sosialisasi, edukasi, dan internasilisasi nilai-nilai demokrasi politik, senantiasi dikerjakan, baik oleh KPU RI maupun satuan kerja di bawahnya. Bagaimanapun, perhelatan Pemilu membutuhkan komunitas dan warga yang terdidik serta mengerti norma-norma demokrasi politik dan Pemilu. Publik luas bisa mengakses segala informasi kepemiluan secara langsung atau online, sebagai bahan literasi Pemilu. Juga bisa datang ke perpustakaan KPU dan Rumah Pintar Pemilu, di daerahnya masing-masing. Apa yang menjadi tanggungjawab strategis KPU di era post election, tak semata karena adanya kewajiban konsititusional. Melainkan memang bagian dari mewujudkan Pemilu bermartabat (genuine elections). Menghadirkan Pemilu yang demokratis, berkeadilan, serta berkepastian hukum, adalah kerja-kerja berjangka panjang (long term). Tak cukup jika hanya dilakukan saat tahapan Pemilu berlangsung. Di berbagai negara, studi kepemiluan baik di tingkat nasional ataupun internasional, termasuk juga berbagai konvensi internasional, traktat perjanjian, dan juga norma-norma (standar) Pemilu yang berlaku di seluruh dunia, memberikan KPU sebagai Electoral Management Body (EMB) dengan sejumlah kewenangan yang melekat dan tetap (permanen dilakukan tiap saat). Diantaranya, seperti yang dikutip dari buku terbitan KPU RI berjudul Menjaga Integritas, Dinamika KPU Mengelola Sengketa Pemili 2019, adalah: Penentuan siapa yang menjadi pemilih,  pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih, penentuan peserta Pemilu dan daftar calon, penentuan daerah pemilihan, Pemungutan dan penghitungan suara, pengadaan dan distribusi logistik, penetapan dan pengumuan hasil, penetapan calon terpilih. Serangkaian agenda vital itu, butuh persiapan, perencanaan, dan manajemen strategis. Disertai dengan ketekunan melakukan evaluasi, mitigasi, studi, riset, pelatihan, dan pembelajaran bersama. Ruang lega guna mengerjakan persiapan tujuh poin di atas, justru bisa dilakukan di saat pasca Pemilu. Seperti saat ini. Metodenya adalah berbasis pada kajian akademik, baik oleh internal penyelenggara, maupun kerjasama dan kemitraan para pemangku kepentingan.  Hasil dari olah data dan penelitian ilmiah ini, kelak menjadi bahan KPU RI untuk advokasi kebijakan. Semisal dalam merumuskan perubahan UU Pemilu. Olahan informasi, kajian dokumen, dan pembelajaran praktis, oleh KPU secara akademik diproduksi dalam buku, jurnal, dan produk pustaka berbasis digital. Seperti yang kini tengah menjadi percakapan intensif di mana-mana, tentang Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/ Tahun 2024, yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. KPU pasti menjadi pihak yang dimintai banyak pendapat dan masukan, karena posisi strategisnya (penyelenggara Pemiu). KPU juga harus bersiap diri, melakukan mitigasi dan perencanaan matang, kaerna apapun hasilnya, konsekuensinya harus dikerjakan oleh KPU.


Selengkapnya
631

Pacu Jalur Putusan MK (Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal)

Pacu Jalur Putusan MK (Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal) Oleh: Endi Biaro Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tangerang   Pasca keluarnya putusan MK Nomor 135/PUU-XIX/2024 lahir ragam respon. MK mengeluarkan putusan melampaui kewenangan, atau ultra petita. Putusan MK inkonstitusional. MK mengeluarkan norma baru, padahal fungsinya adalah negative legislator. MK terlau memasuki aspek teknis dan detil (open legal policy), yang mestinya cukup dirumuskan oleh pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR). Ada juga pihak yang menyebut MK inkonsisten (berubah-ubah putusan). Interogasi kritis ini wajar belaka. Namun tentu harus ada penelusuran serius, menghadirkan wacana tanding, agar percakapan publik terkait putusan MK crystal clear, tak menyeret kepada penyesatan informasi (misleading). Artikel ringkas ini membeber sejumlah fakta dan analisis, dengan titik tekan pada aspek historisitas, argumentasi hukum, dan aspek original intent dari keluarnya putusan heboh itu. Historisitas Trajektori perjuangan melahirkan Putusan MK tentang Pemilu Nasional dan Lokal telah melalui pacu jalur yang panjang. Berbagai pihak, mengeluarkan rekomendasi, kajian, evaluasi, dan tentu saja menyampaikan permohonan uji materi (judicial review) ke MK. Lontaran aspirasi ini tak lahir mendadak, melainkan sudah berlangsung belasan tahun. Penuturan Syamsudin Haris dan Didik Supriyanto, keduanya adalah pakar kepemiluan dan menjadi Saksi ahli di persidangan MK, atas permohonan Perludem (kemudian menjadi Putusan MK Nomor 135/ PUU-XIX/2024, tetang Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal), adalah bagain dari bukti jalan panjang menuju Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Didik Surpriyato, dalam diskusi Perludem yang ditayangkan di Youtube Perludem (18 Juli 2025), mengaku bahwa usulan Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal telah disampaikan sejak tahun 2007. Saat itu, masalah ini kerap menjadi bahan diskusi Pansus RUU Pemilu DPR RI. Ide yang mengemuka adalah pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, untuk masuk dalam pembahasan UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. Basis pertimbangan adalah: tingkat suara tidak sah yang melonjak tinggi. Dari semula 3,3% (di Pemilu 1999) menjadi 8,8% (di Pemilu 2004), angka ini jauh di atas standar maksimum internasional yang dipatok UNDP (angka maksimum 4%). Pakar lain, Syamsudin Haris, membuka riwayat senada. Di tahun 2015, LIPI (saat ini menjadi BRIN) membuat kajian dengan titik berat pada pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, guna menciptakan efektivitas sistem politik presidensial. Sumber lain yang memperkuat original intent pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, adalah dokumen hukum yang bersumber dari periode dini kelahiran republik, yakni UU Nomor 1 Tahun 1957, yang berisi kaidah pentingnya meyatukan Pemilu Kepala Daerah dengan DPRD, sebagai satu kesatuan. Dokumen hukum klasik ini disampaikan oleh Titi Anggraini, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Perjalanan terkini dan mencapai puncak adalah permohonan uji materi oleh Perludem ke MK, yang kemudian dikabulkan sebagian. Putusan MK Nomor 135/PUU-XXIX/2019 yang memerintahkan pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan rentang waktu minimal 2 tahun dan maksimum 2,5 tahun, adalah hasil perjuangan panjang para pakar dan pegiat kepemiluan, guna melahirkan sistem Pemilu terbaik. Titi Anggraini menjelaskan, usulan ini tidak lahir tiba-tiba, melainkan dilakukan sejak lama. Sebelumnya, Perludem mengajukan uji materi ke MK, yang kemudian lahir Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Jelas dan tegas bahwa MK mengeluarkan judicial order (putusan yang berisi perintah kepada pembentuk Undang Undang, yakni DPR dan Pemerintah), untuk membuat aturan ulang  Pemilu serentak. MK memberikan enam jenis opsi, untuk redesain Pemilu serentak, salah satunya adalah model Pemilu Nasional dan Pemilu lokal. Dengan memberikan  beberapa persyaratan.  Pertama, harus dilaksanakan jauh-jauh hari, agar tersedia persiapan matang. Kedua, memudahkan pemilih, agar tak terlalu rumit dalam memahami dan praktis dalam memberikan pilihan. Ketiga, tidak memberatkan para penyelenggara, sebagai implementator pelaksanaan Pemilu. Keempat, dengan terlebih dahulu melakukan evaluasi multi aspek. Kelima, melakukan simulasi, sebagai bahan prediksi, apakah pilihan itu bisa dilaksanakan atau tidak (executeable). Konstitusionalitas Hingga saat ini, tercatat 156 kali permohonan uji materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 disampaikan ke Mahkamah Konstitusi, dan 18 diantaranya dikabulkan mahkamah. Banyaknya judicial review ini bersumber dari kekecewaan dan ketidakpuasan atas penyelenggaraan Pemilu Lima Kotak (serentak) yang dilakukan di Tahun 2019 dan 2024. Terbukti dari para pemohon yang datang dari berbagai pihak, baik individu ataupun kelompok (dan memenuhi asas legal standing). Diantaranya adalah dari partai politik, politisi, penyelenggara, dan pengamat (akademisi, pakar), serta LSM pegiat kepemiluan. Beberapa permohonan fokus pada masalah keserentakan Pemilu. Selain Perludem yang beberapa kali mengajukan uji materi, ada juga dari Badan Ad Hoc penyelenggara Pemilu (KPPS, PPK, dan PPS). Dasar permohonan (petitum) terkait dengan beratnya beban Pemilu, yang merugikan penyelenggara bahkan mengancam nyawa. Sebagai catatan, di Pemilu 2019, 826 penyelenggara wafat, dan tragedi ini Kembali terjadi di Pemilu 2024 (163 orang). Dengan melihat fakta-fakta ini, termasuk pertimbangan lain yang berdimensi yuridis, maka MK mengabulkan permohonan soal desain Pemilu Serentak dengan dua kali pelaksanaan, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Perlu diketahui, bahwa dalam konteks Pemilu, MK bukan hanya menjadi pengawal konsititusi (the guardian of constitution), tapi juga sealigus menjadi sumber hukum kepemiluan. Meski beberapa pihak meyebut fenomena ini sebagai praktek yudisialisasi Pemilu, tetapi implikasinya adalah MK menjadi sumber reformasi hukum Pemilu. Opini tentang putusan MK inkonsititusional yang dilontarkan beberapa kalangan, sekilas Nampak beralasan. Terlebih jika fokusnya hanya pada soal klausa Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali. Padahal senyatanya amar putusan MK disertai dengan penjelasan, yakni hal ini dilaksanakan satu kali di masa transisi (sebelum terlaksana di 2019 dan 2024). MK juga memberikan perintah agar dilakukan rekayasa konsitutusi (constitusional engineering), oleh para pembentuk undang-undang. Norma hukum terhadap periode transisi ini, bisa digodok dan disepakati bersama. Terutama dalam pembahasan revisi undang-undang Pemilu, yang saat ini tengah dipersiapkan. Soal konstitusionalitas putusan MK, Prof Ramlan Surbakti, pakar Pemilu, menyebut tak ada pelanggaran konsititusional atas putusan MK. Dalam praktek ketatanegaraan, kerap terjadi lahirnya norma yang seolah menabrak konstitusi (seperti hukuman mati dan pencabutan hak pilih untuk TNI Polri). Di dalam Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945, ada ketentuan hak asasi manusia, tetapi hal itu tak mutlak, karena bisa diatur dalam undang-undang. Fungsinya adalah justru untuk menjaga jaminan perlindungan hak asasi. Prof Ramlan menyebut, putusan MK memenuhi asas legalitas dan memiliki tujuan yang baik. Hal ini dibuktikan dengan beberapa syarat kondisional yang diamanatkan dalam amar putusan MK. Di sisi lain, pernah ada preseden dalam praktek tata negara di tanah air, tentang perpanjangan (atau bahkan pemotongan) masa jabatan Kepala Daerah ataupun DPRD (seperti di Pemilu 1971 sampai dengan 1977, menjadi enam tahun). Menurut Prof Jimly Ashidiqy, soal ini tak masalah, dan bukan pelanggaran konstitusi, karena bisa diatur dalam undang-undang (sumber: wawancara di Youtube LP3ES). Konsistensi MK Pendapat yang mengemukakan bahwa MK inkonsisten, melampaui kewenangan (ultra petita), dan mencampuri urusan teknis (open legal policy), bisa terjawab dalam narasi berikut ini. MK bisa merevisi keputusannya sendiri, sejauh dalam pelaksaksanaan (eksekusi putusan) terbukti melahirkan banyak kendala, semisal putusan Pemilu Serentak, yang basisnya adalah putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (pemohon Efendi Ghazali). Dasar putusan adalah dalam rangka efektivitas, serta memperkuat sistem presidensial. Dalam kenyataannya, pasca putusan itu dilaksanakan dua kali (di Pemilu 2019 dan Pemilu 2024), malah sebaliknya. Kualitas Pemilu menurun, jumlah surat suara sah tinggi, banyak korban, dan melahirkan berbagai gugatan. Sementara soal MK memasuki ranah open legal policy (aspek detil dan teknis) yang sedianya cukup dibahas oleh Pemerintah dan DPR, hal ini terbantahkan. Mahkamah sebenarnya telah mengeluarkan putusan, yang berisi opsi redesain (penataan ulang) Pemilu Serentak, melalui Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2013. MK mengeluarkan judicial order (perintah) kepada Pemerintah dan DPR, agar melakukan pilihan atas Pemilu Serentak (ada enam opsi yang diberikan MK). Tetapi perintah ini tak pernah berhasil diwujudkan. Pun dengan masalah ultra petita (melampaui kewenangan), MK memang bisa melahirkan norma baru, tak sekedar membatalkan. Menurut Prof Jimly Ashidiqy, hal ini otomatis terjadi, karena ada makna baru dalam setiap putusan MK. Kewenangan MK adalah termasuk merevisi dan memberikan perintah baru terhadap pelaksanaan undang-undang Pemilu.  


Selengkapnya
87

Pasca Pemilu : Mengawal Data Partai Politik Secara Berkelanjutan

Pasca Pemilu : Mengawal Data Partai Politik Secara Berkelanjutan Oleh : Dedi Irawan  Anggota KPU Kabupaten Tangerang   Di balik suksesnya penyelenggaraan pemilu yang demokratis, ada satu aspek mendasar yang kerap luput dari perhatian publik, yaitu menjaga dan mengawal data partai politik secara berkelanjutan. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik dan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Data Partai Politik yang dimutakhirkan secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: kepengurusan Partai Politik pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan; perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; keanggotaan Partai Politik; dan domisili Kantor Tetap untuk kepengurusan Partai Politik pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tujuan partai politik salah satunya adalah mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Berdasarkan aspek penyelenggara, sistem informasi partai politik memberi manfaat dalam memperkuat keterbukaan dan transparansi dalam proses pendaftaran dan verifikasi partai politik, memperbaiki proses pemeliharaan data partai politik, dan membuat mekanisme yang dijalankan dapat dipertanggungjawabkan serta kredibel. Dengan adanya pemutakhiran daftar politik secara berkelanjutan diharapkan adanya data terbaru yang dimiliki oleh partai politik yang kemudian menjadi kemudahan dalam urusan administrasi, proses perubahan ini apalagi pasca pemilu dan pilkada 2024 mulai banyak partai politik yang melaksanakan pergantian kepengurusan mulai dari Tingkat pusat sampai kedaerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Amanat dalam hal pemutakhiran data partai p[olitik inipun tertuang dalam peraturan kpu nomor 4 tahun 2022, BAB XII pasal 146 huruf (i) yang mana berbunyi “Partai Politik dapat melakukan pemutakhiran data Partai Politik secara berkelanjutan melalui Sipol.” Dalam dunia perpolitikan, partai politik (parpol) memiliki peran penting. Di mana tujuan dan fungsinya berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat, bangsa, dan suatu negara. Karena perannya yang penting juga, parpol diatur dalam Undang-Undang yang menjadi dasar hukum Republik Indonesia. Adapun UU yang membahas mengenai parpol adalah UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Dalam hal proses pemutakhiran sudah dapat diselesaikan, besar harapan Masyarakat tentunya terhadap parpol sesuai dengan tujuan didirikannya partai politik, sesuai dengan UU Nomor 2 tahun 2008, yaitu : Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam hal lain parpol juga mempunyai peran dan fungsi, Partai Politik Menurut Undang-undang Undang-Undang sebagai dasar hukum Republik Indonesia turut mengatur parpol dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 11 Tentang Partai Politik. Adapun fungsi partai politik berdasarkan UU tersebut, yakni sebagai berikut: Partai politik sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Partai politik sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. Partai politik sebagai sarana penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Partai politik sebagai sarana partisipasi politik warga negara Indonesia. Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Dengan system yang dianut oleh Indonesia berkaitan dengan system kepartaiannya yaitu multy party system berarti  partai yang sudah ada  harus punya peran masing-masiing sebagai tempat edukasi politik dan demokrasi  serta menjadi tempat aspirasi Masyarakat sesuai dengan hittoh didirikannya p[arpol tersebut. PARTAI politik, meminjam istilah Hegel, bisa dibilang ‘geist’ atau ruh yang berperan mempengaruhi kualitas demokrasi. Maka tidak salah bila kemudian (Clinton Rossiter), seorang ilmuwan politik mengatakan “tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai”. Sebagai ruh yang memberi nyawa bagi demokrasi, eksistensi partai amat penting. Mereformasi partai berarti linear dengan upaya memperbaiki kualitas demokrasi. Satu alasan paling krusial mengapa eksistensi partai vital bagi rezim demokrasi karena dengan partai, segala kepentingan politik rakyat yang beragam dapat diartikulasikan melalui mekanisme perwakilan. Representasi politik merupakan sarana demi melembagakan lintas pendapat yang berseberangan, supaya mampu menghasilkan keputusan yang legitimate dan diterima publik . Dengan keberadaan partai, konflik bisa diminimalkan, ragam kepentingan dapat diagregasi, dan nilai-nilai demokrasi substansial dapat diwujudkan.


Selengkapnya
176

Pemutakhiran Data Partai Politik secara Berkelanjutan melalui Sipol

Pemutakhiran Data Partai Politik secara Berkelanjutan melalui Sipol Tahun 2025 Oleh Shandy Akbar Kelana – Anggota KPU Kab. Tangerang   DASAR HUKUM PKPU Nomor 4 tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, Dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2022. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1365 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pemutakhiran Data Partai Politik Secara Berkelanjutan Melalui Sistem Informasi Partai Politik sebagaimana diubah dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 658 Tahun 2024. Surat Dinas Komisi Pemilihan Umum Nomor 1076/PL.01.2-SD/06/2025 tanggal 18 Juni 2025 perihal Pemutakhiran Data Partai Politik Berkelanjutan melaluia Sipol Tahun 2025. Sesuai Pasal 146 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Keputusan KPU Nomor 1365 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pemutakhiran Data Partai Politik secara Berkelanjutan melalui Sistem Informasi Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan KPU Nomor 658 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Keputusan KPU Nomor 1365 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pemutakhiran Data Partai Politik secara Berkelanjutan melalui Sistem Informasi Partai Politik dijelaskan bahwa Partai Politik melakukan pemutakhiran data Partai Politik secara berkelanjutan melalui Sipol. Dalam hal pemutakhiran data partai politik melalui sipol,  seluruh partai politik pemilu 2024 di kabupataen Tangerang harus melaksanakan sesuai pasal 146 : Partai Politik dapat melakukan pemutakhiran data Partai Politik secara berkelanjutan melalui Sipol. Data Partai Politik yang dimutakhirkan secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud meliputi: kepengurusan Partai Politik pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan; perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; keanggotaan Partai Politik; dan domisili Kantor Tetap untuk kepengurusan Partai Politik pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pemutakhiran data Partai Politik dilakukan secara berkala dengan ketentuan: pemutakhiran dan sinkronisasi semester I dilakukan pada bulan Januari s.d. Juni; pemutakhiran dan sinkronisasi semester II dilakukan pada bulan Juli s.d. Desember; penyampaian hasil pemutakhiran semester I kepada KPU dilakukan 3 (tiga) hari kerja sebelum akhir Juni (untuk tahun 2025 pada tanggal 26 Juni 2025); dan penyampaian hasil pemutakhiran semester II kepada KPU dilakukan 3 (tiga) hari kerja sebelum akhir Desember (untuk tahun 2025 pada tanggal 29 Desember 2025). Setelah parta politik melakukan pemutakhiran data partai politik, KPU Kab. Tangerang akan melakukan verifikasi administrasi.


Selengkapnya