
Malapetaka Pilkada di Barito Utara
Malapetaka Pilkada di Barito Utara
Oleh: Endi Biaro
Anggota KPU Kabupaten Tangerang
Calon A tarung versus calon B. Hasilnya: A menang. Selisih tipis. Si B menggugat ke MK, dengan alasan A main uang. Lalu MK memutuskan pemilihan ulang.
Terjadi PSU atau pertandingan yang kedua. Kali ini, B yang menang (sebelumnya kalah), juga selisih tipis. Karuan A juga melakukan hal yang sama, menggugat ke MK, dengan alasan serupa, menuding lawan yang menang pakai praktek politik uang.
Kali ini, putusan MK agak lain. Dua-duanya digugurkan. Lantaran ada bukti kuat, A dan B sama-sama kotor, pelaku money politics. Maka arang menjadi abu. Tak ada yang untung. Baik A dan B berkalang tanah. MK menyatakan keduanya tak boleh ikut Pilkada sesi ketiga.
Jika dalam pertarungan non politik, bisa jadi fenomena ini mengasyikan. Betapa hebat pertandingan dengan lawan seimbang. Mirip Real Madrid dan Barcelona yang saling balas gol. Menang di kandang, kalah saat tandang, lalu akan berjibaku ulang di putaran berikutnya.
Banyak pihak diuntungkan: sponsor, stasiun TV, penonton, sampai penjudi. Tapi dalam konteks Pilkada, benar-benar malapetaka. Begitu banyak uang negara hangus (dari pajak rakyat). Suasana politik di daerah yang melaksanakan Pilkada berulang itu menjadi terganggu. Rakyat setempat kena imbas konflik. Penyelenggara dianggap lumpuh. Agenda pembangunan tersendat. Dan paling parah, daerah itu tak memiliki pemimpin yang sejati, sesuai dengan pilihan asli.
Belum lagi rentetan tambahan. Konflik sosial politik yang berujung hukum (semisal pengedar uang sogok Pilkada yang dituntut pidana). Atau ekspresi kemarahan publik yang kecewa. Pilkada berjilid-jilid itu menyembulkan interogasi keras: untuk apa anggaran mahal kalau hanya menyuburkan praktik tak jujur? Bukankah dana publik itu lebih baik dialihkan ke sektor lain? Masih banyak rentetan gugatan lain.
Pusaran kemarahan publik, sejatinya tak melulu di urusan anggaran. Melebar pula ke pojok lain. Semisal, mengapa penyelenggara dan aparat hukum gagal total mengendalikan politik uang? Apa yang dikerjakan KPU, Bawaslu, juga Gakumdu? Apakah partai benar-benar hanya memikirkan kekuasaan? Lantas jika demikian, hanya orang-orang super kaya yang ikut tarung di Pilkada (meski tak kompeten, dan korup). Sementara orang-orang baik yang kompeten, tersisih jauh.
Rakyat sebagai pemilih juga kena sasar. Mereka begitu memuja politik uang. Sama sekali tak keberatan. Malah mengharapkan. Jadi di sini jelas. Kerusakan Pilkada berurat berakar. Regulasi hukum dikangkangi. Aturan main hanya tegak untuk urusan formal dan remeh temeh. Sementara substansi regulasi untuk mengawal demokrasi, menjadi hancur-hancuran.
Jika begini terus, tak heran ke depan datang gelombang balik perlawanan. Rakyat yang muak dengan pemborosan anggaran, menuntut Pilkada dihentikan. Lantas bertemu agenda elit politik, yang menyeret arus balik Pilkada, yakni kembali dipilih DPRD.
Catatan: isi artikel ini membincang kasus Pilkada Jilid Ketiga di Barito Utara