E Voting di Pilkades 2027, Tantangan Psikologis dan Politis

E Voting di Pilkades 2027, Tantangan Psikologis dan Politis

Oleh: Endi Biaro

Anggota Komisioner KPU Kab Tangerang

 

Diskusi penggunaan e voting di Pilkades, seharusnya berpijak pada kerangka kerja (persiapan, mitigasi,  perbaikan sistem, dan sosialisasi). Mengapa?

Praktis, secara teknis, metode Pilkades digital itu sudah sering dipakai. Ribuan desa di Indonesia, terbukti bisa mengerjakan. Bukan hanya di wilayah sentral dengan infrastruktur bagus, melainkan di daerah yang jauh dari Jakarta.  

Artinya best practise e voting di Pilkades telah nyata. Pun dengan soal bisa tidaknya dilakukan penerapan electronic voting itu di berbagai desa di Indonesia, sepertinya sudah bisa dilaksanakan.

Ada data pembanding. Yakni Sirekap di Pilkada serentak 2024 oleh KPU RI. Nyaris tak ada kendala dan kerusakan fatal, dari sisi sistem, jaringan, kontrol, dan pelaksana. Sirekap Pilkada KPU RI sukses digunakan. Tak melenceng dari tujuan. Hebatnya, kecepatan input data, proses olah data, dan publikasi data, berlangsung cepat.

Tandanya pasti, seluruh wilayah di Indonesia, termasuk yang blankspot, bisa melakukan e voting. Karena sama-sama berbasis internet. Sebagai penguatan fakta, di Kab Tangerang, ribuan TPS sukses menerapkan Sirekap (teknologi olah dan publikasi data hasil pemungutan suara Pilkada).

Per desa, rerata terdapat lebih dari 10 TPS, tersebar di 274 desa. Nah, ini adalah patokan logika, jangankan di setiap desa, di pelosok desa dan kampung sekalipun, teknologi informasi dalam pemilihan, berhasil dilakukan.

Ringkas kalimat, kerumitan perangkat digital untuk pesta demokrasi rakyat, tak menjadi kendala utama. Mengutip istilah Onno W Purbo, it's not rocket technology (soal e voting tak serumit teknologi rocket).

Tantangan menyembul justru dari aspek psikologis. Masyarakat dalam politik tercekam dalam kultur rasionalitas pendek. Teramat pragmatis.

 

Mereka melihat sesuatu (pun di konteks politik) hanya berbasis asas manfaat langsung. Baik manfaat material maupun non material. Di politik, termasuk di Pilkades, psikologi pemilih adalah pro terhadap  hal-hal yang langsung dirasa gunanya. Misal menerima politik uang, keramaian, desas desus, dan daya tarik.

Kultur Pilkades di desa adalah pertunjukkan dan keramaian. Semacam ritual publik yang hadir di waktu tertentu. Publik jarang bersedia memakai nalar kritis, dan membahas aspek-aspek substansi.

Begitu juga dalam perkara e voting. Mentalitas warga desa yang hadir adalah: apa manfaat langsung yang bisa diterima. Tentu, ini merepotkan.

Digitalisasi Pilkades berbasis pada nalar rasionalitas dan fungsi demokrasi sejati. E Voting adalah perihal efisiensi, cepat, terbuka, dan mencegah kecurangan dan kesalahan fatal. Dia tidak berurusan dengan memberi uang atau apapun ke pemilih. Juga dipastikan mengurangi kemeriahan Pilkades pola manual atau konvensional.

Di level elit masyarakat desa, kemungkinan juga hadir kendala psikologis. Yakni justru mereka menolak karena potensi kehilangan berkah Pilkades yang dilakukan secara digital. Ingat, Pilkades digital adalah memangkas anggaran dan penghematan. Ini barangkali yang malah ditolak.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 562 Kali.