Wajah Baru (Undang Undang) Pemilu

Wajah Baru (Undang Undang) Pemilu

 

Oleh: Endi Biaro, Pegiat Pemilu

 

Akar tunjang Pemilu berpijak pada aturan main, atau seperangkat kaidah dan norma. Berpatok pada konstitusi dan regulasi. Karena semua produk hukum Pemilu adalah resultan (hasil pergumulan) politik.

Di titik ini, perubahan undang-undan Pemilu menjadi niscaya. Hanya saja butuh urutan prioritas, dengan segala urgensinya. Di atas tertinggi, tak ada kebutuhan genting atau mendesak untuk merevisi konstitusi. Pasal-pasal kepemiluan di UUD NKRI 1945, sudah mencukupi.

Justru turunannya, yakni Undang Undang Pemilu, yang butuh beberapa penyesuaian. Konteks kebutuhan bisa dilihat dari dialektika dan pergumulan aspirasi publik. Medan gagasan dan kritik tajam para pihak mulai bermunculan.

Apabila diurut, kurang lebih adalah:   pertama, tuntutan mengembalikan pola konversi suara ke kursi, dari saint league ke quota hare (atau BPP, bilangan pembagi pemilih).

Kedua, menurunkan ambang batas parlemen, sebelumnya 4% ke prosentasi di bawahnya, menjadi 3%, 2 % atau 0 %.

Ketiga, sempat kencang di 2022 lampau adalah: menerapkan sistem proporsional tertutup! Usulan ini gagal, karena sudah ada putusan MK. Akan tetapi, MK memberi opsi lunak,  yakni menerapkan sistem campuran. Pesan MK adalah sejauh bisa dilakukan dan tidak melanggar asas keadilan. Ini artinya, sistem campuran masih berpeluang menjadi aturan main di Pemilu 2029.

Penjelasan: proporsional tertutup menjadikan seorang Caleg nomor urut satu sebagai pemilik kursi, jika partainya mampu merebut kursi di Dapil masing-masing. Pernah dipakai di Indonesia sejak 1955 sampai 2004). Sistem terbuka, hanya Caleg peraup suara terbanyak yang lolos (diterapkan saat ini). Sistem campuran adalah kombinasi. Yakni, nomor urut satu tak otomatis dapat kursi, jika ada Caleg  lain yang perolehan suaranya melebihi dari 30% harga kursi.

Nah, sistem ini, yakni terkait konversi suara ke kursi, wajib paralel dengan sistem party list (nomor urut Caleg). Jika diberlakukan sistem BPP (menghitung harga suara per kursi), maka sistem proporsional campuran bisa diterapkan. Karena ada basis jelas untuk menghitung suara.

Keempat, penataan Dapil atau distric magnitude. Dapil adalah isu penting yang kerap diabaikan, hingga itu mudah diakali. Banyak Dapil kacau di Indonesia, seperti gabungan Kota Bogor dengan Cianjur di Jawa Barat. Atau tiga kecamatan yang terpotong di Dapil DKI. Atau Dapil suka suka di Kab Tangerang. Isu Dapil juga penting dibahas di UU Pemilu baru, jika kita melihat kasus Papua. Empat Provinsi Baru di Papua, masih gabung dengan dua Dapil di Papua induk (Papua dan Papua Barat).

Kelima, tak kalah kencang adalah soal waktu pelaksanaan Pemilu. Perludem, Puskapol UI, dan lain-lain, meminta agar diberlakukan Pemilu Nasional dan Pemilu lokal, dengan jarak waktu minimal dua tahun.

Pemilu nasional adalah gabungan Pilpres dengan Pileg DPR RI dan DPD RI. Sementara Pemilu Lokal adalah gabungan Pilkada dengan Pileg DPRD Prov/Kab/Kota.

Nah, kelima poin desakan publik ini, jika terakomodasi dalam revisi UU Pemilu, otomatis mengubah wajah Pemilu kita.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 181 Kali.