Plus Minus E Voting di Pilkades 2027

Plus Minus E Voting di Pilkades 2027

 

Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kabupaten Tangerang

 

Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) di 2027 menerapkan sistem E Voting, atau pemilihan berbasis elektronik, Digital. Warga desa pemilih tak lagi mencoblos kertas suara bergambar calon, melainkan cukup meng-klik pada foto pasangan. Mirip gerakan jempol di layar sentuh.

Rencana ini dimatangkan oleh Kementrian dalam negeri. Tujuannya: modernisasi Pilkades. Asumsi global adalah ikut arus kemajuan teknologi informasi. Per definisi, tak ada yang aneh dengan rencana Pemilihan Kepala Desa jalur layar sentuh.

Indonesia adalah pengguna Medsos terbesar. Jumlah gadget tiga kali lipat dari penduduk. Kawasan blank spot (tak ada jaringan internet, hanya beberapa zona), dan lagipula, ujicoba Pilkades sistem E Voting sejak lama diterapkan.

Beberapa laporan menyebutkan di Boyolali dan Jembrana, jadi pioner. Sedari 2013, E Voting dilakukan. Hingga hari ini, 2000ab desa menerapkan teknologi pencoblosan digital. Pun sebagai perbandingan, KPU mampu menerapkan digitalisasi pemilihan, di ratusan ribu TPS se Indonesia. Memang bukan di tahap pencoblosan, melainkan di level pendataan hak pilih dan penghitungan. Faktanya, di Pilkada 2024 lalu, metode ini relatif berhasil.

Artinya, sumber daya, infrastruktur teknologi, jejaring, dan kemampuan standar dalam digitalisasi proses pemilihan, layak diterapkan. Meski begitu, diskusi serius dan investigasi serta mitigasi tantangan Pilkades rasa E Voting wajib dikerjakan.

Setiap kebijakan publik pemerintah menyisakan ruang perdebatan. Gugatan mendasar terpapar di empat hal mendasar. Pertama, arus aspirasi dan kemunculan kehendak E Voting Pilkades bukan bersumber dari jeritan atau tuntutan rakyat desa. Tak ada secuil terdengar gerakan publik meminta soal ini. Di mata rakyat desa, Voting Pilkades tak pernah jadi agenda. Ini sama sekali bukan prioritas.

Seketika kita melihat, usulan ini murni kehendak elit.  Meski memang ada penjelasan, yakni modernisasi Pilkades, dengan ekor argumen tambahan: efisiensi, transparansi, kecepatan akses, basis data bersama, dan mencegah kecurangan.

Poin-poin ini sebagian terkonfirmasi. Benar memang, via teknologi digital, beberapa urusan Pilkades jadi lebih hemat, ramping, terkontrol, dan akses terbuka. Namun bagaimana dengan potensi konflik? Sengketa di bawah, serta ketidakpuasan?

Sejatinya faktor-faktor ini wajib menjadi fokus serius pemerintah. Agar tak meletupkan masalah di bawah. Kedua, tata kelola penyelenggaraan pemilihan tak bisa tidak, mesti ikut norma kompetisi politik. Pilkades sepenuhnya adalah konflik, karena di sana ada pertarungan terbuka, kompetisi para kandidat, dan segala sengketa.

Ruang lemah ini, layak ditutup pemerintah. Dengan membuat kerangka hukum, regulasi, seraya aturan teknis sedetil mungkin. Dengan melibatkan para pihak untuk merumuskan. Salah satu pihak yang kompeten dilibatkan adalah akademisi, kaum profesional, dan KPU (sebagai praktisi kepemiluan).

Ketiga, e-voting di Pilkades jangan meminggirkan ruang partisipasi publik, terutama rakyat desa. Gagasan ini dari atas, tapi pengerjaan wajib mengakomodasi sumber daya lokal. Dalam Pemilu, yang skalanya massif, KPU bertumpu pada warga setempat, untuk jadi panitia (misalnya KPPS dan PPS, yang merupakan penduduk asli di situ).

E Voting berpotensi memangkas begitu banyak fungsi kerja, lalu dikelola terpusat, lalu keterlibatan rakyat desa menjadi terbatas. Ini akan problematik. Maka lebih tepat mengajak peran pemilih setempat, untuk jadi panitia.

Keempat, tak bisa semua tahapan diganti secara digital. Kombinasi dengan praktek konvensional diperlukan. Semisal dalam pendataan hak pilih.

Empat paparan di atas memang prioritas. Belum lagi potensi resiko dalam penerapan digitalisasi Pilkades. Yakni terasa asing, mengubah kultur, dan jauh dari tradisi.

Pemerintah harus ingat, Pilkades adalah ajang ritual politik khas desa. Di sana ada kemeriahan, keasyikan, dan bisa disebut golden momen bagi masyarakat desa.

E Voting, berpotensi meluruhkan pelbagai keunikan dan daya tarik Pilkades.

Semestinya, pemerintah segera menyusun payung hukum, agar Pilkades pola E Voting tidak menjadi kontra produktif, alias memancing keresahan di mana-mana.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 118 Kali.