
Pemilu Dan Spirit Kemerdekaan
PEMILU DAN SPIRIT KEMERDEKAAN
Oleh: Endi Biaro, Komisioner KPU Kab Tangerang
Martabat Indonesia dimuliakan oleh jerit perih para Kusuma yang perlaya. Mereka yang tumbang di garis pertempuran. Juga dilindas kejamnya perlawanan terhadap penjajahan. Tak semua bangsa di dunia memiliki kehebatan seperti kita. Memperoleh hak dasarnya sebagai bangsa merdeka dengan jalan perang!
Tetapi juga tak boleh mengabadikan jalan konflik fisik bersenjata secara terus menerus. Bahkan sejatinya, perang adalah ultimum remedium (jalan akhir, ketika semuanya terkunci).
Fitrah asli manusia, termasuk rakyat Indonesia, adalah melakoni jalan hidup dengan damai, harmoni, serta produktif. Meski secara naluriah, pergaulan sesama manusia dan sesama bangsa, selalu pekat dengan nuansa konflik, persaingan, dan kompetisi. Lebih-lebih di medan politik, yang selalu terjadi perguliran kekuasaan.
Di era purba, perang selalu menjadi modus vivendi (cara bertahan hidup). Sementara alam modern mengantarkan manusia pada pilihan damai. Yakni dengan cara negosiasi, kompromi, resolusi dan manajemen konflik.
Termasuk dalam perkara perebutan atau pergantian kekuasaan. Alternatif untuk melakukan sirkulasi, rotasi, serta pergantian kekuasaan, dilakukan dengan cara-cara beradab. Salah satunya dengan melakukan Pemilihan Umum. Inilah sesungguhnya nilai dasar Pemilu, yakni melembagakan konflik dan kompetisi.
Kompetisi sengit antar kubu untuk bertarung dalam jabatan politik, dilembagakan atau disalurkan dengan prosedur demokratis. Menyingkirkan pola-pola tribal (kasar), seperti kudeta, pembunuhan politik, perpecahan kelompok, dan konflik berdarah.
Dengan demikian, garis sambung antara Pemilu dan Kemerdekaan adalah menjaga martabat. Agar bangsa ini mampu menikmati harkat sebagai manusia merdeka, tanpa ketakutan perampasan, pembunuhan, pendholiman, dan angkara murka. Pemilu menjadi jaminan, bahwa sampai kapanpun, anak bangsa berkesempatan menentukan nasib politik denga cara sangat mudah, tetapi juga bebas. Dengan Pemilu, perguliran kekuasaan bahkan ditentukan oleh mereka yang terbaring lemah di rumah sakit (karena dilayani petugas KPPS yang datang membawa surat dan kotak suara).
Tak terbayangkan, jika Indoesia tak melembagakan kompetisi politik dengan Pemilu.
Barangkali nasibnya akan lebih sadis tinimbang negara-negara timur tengah yang tak henti bertarung senjata.
Mengapa?
Pertama, kekuatan politik di Indonesia begitu beragam, tersebar di berbagai kutub, terpecah ke dalam berbagai spektrum ideologis. Tanpa Pemilu, semua fragmen politik ini akan terpecah belah, karena kehilangan tali pemersatu (dalam hal ini partai politik peserta Pemilu).
Kedua, wilayah territorial yang begitu luas yang konsekuensinya butuh mobilisasi militer yang bermodal mahal. Jika pergantian kekuasaan dilakukan tanpa Pemilu, maka satu-satunya kekuatan yang bisa membungkam adalah dominasi militer.
Ketiga, selain berbeda kultur, rakyat Indonesia juga memiliki preferensi dan aspirasi ideologis yang tidak tunggal, alias cukup beragam. Tanpa Pemilu, aspirasi akan dilakukan anarkis, tirani mayoritas, lalu menimbulkan perlawanan terbuka dari golongan yang merasa terpinggirkan.
Bersyukur, modus operandi kekuasaan di tanah air memiliki saluran yang damai, yaitu melalui Pemilihan Umum, yang dilangsungkan sedara regular, saban lima tahun. Dan tahun depan, berlangsung di 14 Februari 2024.