
Simulasi Teknokratik Penataan Dapil III Banten
Momentum Pemekaran Dapil Banten III
Oleh: Endi Biaro
Anggota KPU Kabupaten Tangerang
Momentum perubahan Undang Undang Pemilu mencapai daya gedor luar biasa keras, pasca keluarnya Putusan Mahkamah Kosititsitusi tentang Pemilu serentak.
Sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) putusan MK bersifat deklaratif, berlaku final dan mengikat, menafsir setiap permasalahan konsititusionalitas sebuah undang-undang (the sole interpreter of constitution).
Di luar konteks perdedatan yang kini mengemuka, terjadi blessing in disguise (berkah tak lansung), bahwa kesadaran para pihak untuk segera merevisi Undang Undang Pemilu kian terasa kencang.
Putusan ini hadir tepat waktu. Pembentuk undang-undang, yakni DPR, masih leluasa untuk mempersiakan segala hal. Di sisi lain, masyarakat luas juga berkesempatan melakukan partisipasi bermaka (meaningful participation).
Di sisi lain, mahkamah memang kerap menjadi sumber reformasi hukum Pemilu.
Fenomena ini kerap disebut dengan yudisalisasi politik, terkait dengan menguatnya peran MK dalam pengaturan Pemilu.
Menurut Kepala Biro Hukum MK, Fajar Laksono, UU Nomor 7 Tahun 2017 mengalami 152 kali uji materi (atau judicial review).
Sementara buku Reformasi Pemilu Jalur Mahkamah Konstitusi, Perludem, 2024, menyebut ada belasan putusan MK yang mengubah, menghapus, memberi norma baru, terhadap UU Pemilu.
Nyata sepenuhnya, agenda revisi UU Pemilu harus segera terlaksana. Lantaran begitu banyak masalah dan perkara dalam aturan kepemiluan yang perlu dierbaiki. Hal ini guna menjamin kepastian hukum dan mejamin terlaksanana Pemilu bermartabat (genuine election).
Hukum dan Sistem Pemilu
Undang Undang Pemilu adalah akar tunjang dari kerangka hukum kemiluan, meciptakan sistem pemilu, yang akan fondasi pelaksanaan Pemilu. Hukum Pemilu dibutuhkan guna mengadirkan electoral justice system (keadilan Pemilu), yang mengatur seluruh aspek, bersifat tegas atau tak multitafsir, dan bisa dilaksanakan (executeable).
Sementara sistem Pemilu adalah prosedur dan rangkaian untuk mengkonversi suara rayat menjadi kursi. Terdapat adagium, yang kerap dilontarkan pakar kepemiluan, Prof. Ramlan Surbakti, bahwa Pemilu demokratis adalah prosedur yang pasti dan bisa diprediksi sementara hasilya tak pasti dan tak bisa diprediksi (predictable procedure, with unpredictable result).
Dengan demikian, agenda perubahan UU Pemilu secara subtantif berpijak pada kepentingan memproduksi sistem dan tata kelola pemilu yang beringritas, yakni bersifat free and fair election (akuntabel, transparan, partisipatif, dan adil).
Dalam studi kepemiluan, termasuk norma yang berlaku di dunia internasional, unsur-unsur sistem Pemilu demokratis terdiri dari: (1) besaran daerah pemilihan atau district magnitude, (2) pencalonan (candidacy), (3) pemberian suara (balloting), (4) ambang batas atau threshold, (5) pendajwalan, dan (6) konversi suara menjadi kursi.
Penelaahan serius atas perdebatan publik terkait perubahan UU Pemilu mengarah ke beberapa poin di atas.
Isu tentang penataan Dapil, misalnya, salah satu prioritas yang mengemuka, di samping isu-isu mayor lainya. Seperti menurunkan ambang batas parlemen, mengganti sistem konversi suara dari Sainte Lague ke Divisor (bilangan pembagi pemilih), mengatur keserentakan Pemilu Nasional dan Lokal, dan lain-lain.
Konteks Penataan Dapil
Keadilan Pemilu lahir jika suara rakyat bernilai setara. Kualitas penyelenggaraan Pemilu bukan hanya soal hak-hak politik terjamin dan pemilih bebes mencoblos di bilik suara. Melainkan juga memastikan bahwa nilai atau bobot suara pemilih setara, terhindar dari bias ketimpanga suara (deviasi).
Semua itu bisa teradi jika penataan Daerah Pemilihan dilakukan secara teknokratis, berbasis data, akademik, dan menghormati kaidah hukum.Tak boleh lagi penataan Dapil diakukan hanya asal-asalan atau bahkan akal-akalan.
Problem yang kerap kali diabaikan adalah mengukur bobot dan dampak suara yang diberkan Pemilih.
Padahal ukurannya jelas, satu pemilih, satu suara, dan satu nilai (OPOVOV, one person, one vote, one value).
Jika terjadi fakta bahwa bobot suara pemilih tak setara, maka prinsip keadilan tercederai.
Garansi untuk menghadirkan nilai suara yang setara adalah dengan mengatur Daerah Pemilihan secara teknokratis, berbasis data penduduk, memperhatikan karakter geografis, dan karakter demografis.
Guna menghindari terjadinya Dapil yang tidak proporsional, terlalu banyak jatah kursi (over represented) atau malah sebaliknya, under represented (alokasi kursi yang kurang mewakili). Fenomena ini disebut dengan malaportiontmen.
Di Indonesia, praktek penataan Dapil, kerap kali meleceng dari asas yang tercamtum dalam regulasi, seperti yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.
Asas dimaksud, antara lain, proporsioanal, ketaatan terhadap sistem proporsional, integralitas, kohesivitas, dan lain-lain.
Mengapa ini terjadi? Karena operasi penataan Dapil dikendalian oleh DPR, bukan menjadi otoritas KPU.
Pola ini lekat dengan benturan kepentingan (conflict of interest), karena Anggota DPR adalah peserta Pemilu, yang akan berkompetisi di daerah pemilihan masing-masing.
Penataan Dapil yang mestinya teknokratik, malah lebih kental dengan nuansa politik.