
Pilkada Secara Demokratis
Pilkada Secara Demokratis
Oleh : Dedi Irawan
Anggota KPU Kabupaten Tangerang
Usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan melalui DPRD kembali muncul ke permukaan, hal itu disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pemilihan kepala daerah diatur dalam UUD 1945. Pasal itu mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, pasal 18 ayat (4) U UD 1945 yang berbunyi : “ Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Tito Karnavian berpendapat sistem demokrasi itu tidak harus dilakukan dengan pemilihan secara langsung. Menurutnya, demokrasi juga bisa dipahami dengan memberikan kepercayaan kepada perwakilan rakyat.
Diskursus penataan sistem pemilihan kepala daerah juga kembali mencuat lewat Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, beberapa pekan lalu. Muhaimin merespons putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, pada 26 Juni 2025. Muhaimin mengusulkan dua opsi pemilihan kepala daerah. Pertama, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat. Kedua, pemilihan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dipilih oleh rakyat melalui DPRD kabupaten-kota. "PKB berkesimpulan harus dicari jalan yang efektif antara kemauan rakyat dengan kemauan pemerintah pusat. Selama ini pilkada secara langsung ini berbiaya tinggi, maka kami mengusulkan dua pola itu,” kata Muhaimin, yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, dalam peringatan Hari Lahir ke-27 PKB di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, pada Rabu, 23 Juli 2025.
Namun, Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia Titi Anggraini menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD sudah tutup buku setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024. Ia mengatakan, pada putusan 135 itu, MK menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD. Sehingga konsekuensi putusan itu adalah pilkada secara langsung seharusnya tetap dipertahankan.
Disisi lain KPU menyatakan, undang-undang (UU) mengamanatkan agar pilkada digelar secara langsung atau melibatkan masyarakat. "Implementasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pilkada secara langsung merupakan bagian penting dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Sudah dua dasawarsa Indonesia melaksanakan Pilkada secara langsung," kata Komisioner KPU Idham Holik.
Pilkada Langsung vs DPRD
Dari perspektif konstitusi, baik pilkada secara langsung maupun pilkada oleh DPRD dapat dilakukan karena UUD 1945 hanya menentukan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.
Baik mekanisme pilkada oleh rakyat maupun pilkada melalui ”Wakil” rakyat adalah mekanisme pemilihan yang demokratis sepanjang memang dilaksanakan secara demokratis.
Kata ”Demokratis” merupakan refleksi dari dua pandangan yang ada saat pembahasan Perubahan UUD 1945, yaitu yang mengusulkan pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan yang masih menghendaki pilkada dilakukan oleh DPRD. Kesepakatan rumusan ”Secara Demokratis” untuk pilkada dicapai dengan maksud agar bersifat fleksibel.
DINAMIKA PILKADA
Dalam pelaksanaannya, terdapat perkembangan dan problem dalam penyelenggaraan pilkada. Perkembangan hukum signifikan adalah pergeseran rezim hukum pilkada.
UU Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemerintahan daerah. Ketentuan pilkada dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah pernah diajukan pengujian kepada MK karena tidak diposisikan sebagai bagian dari rezim pemilu, tetapi bagian dari rezim pemerintahan daerah.
Dalam Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan apakah pilkada dilakukan secara langsung atau tidak serta menentukan apakah pilkada diatur dalam rezim pemilu atau tidak walaupun dari sisi substansi adalah pemilu dan harus dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pemilu.
Dalam perkembangannya, melalui UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, pembentuk UU menempatkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu. Pasal 1 angka 1 UU No 22/2007 menyebut secara tegas istilah pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada). Pasal 1 angka 2 UU No 22/2007 juga menegaskan tentang tugas penyelenggara pemilu yang juga meliputi menyelenggarakan pilkada.
Pilkada pernah ditetapkan dilakukan oleh DPRD melalui UU No 22/2014. Namun, karena mendapat reaksi publik yang keras, pilkada dikembalikan kepada rakyat melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Perubahan lain adalah adanya putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menetapkan pilkada bukan merupakan rezim pemilu. Berbagai macam perkembangan yang terjadi merupakan upaya untuk menyelesaikan berbagai problem yang muncul dan terjadi dalam pelaksanaan pilkada.
Dua hal utama yang harus dihadirkan agar pilkada secara langsung semakin berkualitas dan mencegah terjadinya fenomena negatif adalah, pertama, penegakan hukum dan peningkatan kesadaran politik masyarakat.
Penegakan hukum sangat diperlukan terutama untuk menjaga dan mengadili pelanggaran pilkada sehingga tidak merusak esensi pilkada itu sendiri. Pelanggaran dapat dilakukan siapa pun, baik peserta, penyelenggara, aparat, ataupun warga negara biasa. Semuanya harus diperlakukan secara sama.
Kedua, diperlukan peningkatan kesadaran politik masyarakat. Kesadaran dalam hal ini tidak hanya pengetahuan dan keterampilan aturan dan teknis pelaksanaan pilkada. Kesadaran yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran terhadap makna kedaulatan rakyat dan suara yang dimiliki sebagai warga negara, serta konsekuensi dari pilihannya.
Kesadaran ini juga meliputi nilai dan etika dalam berdemokrasi sehingga tidak akan dapat disuap, menjual suara, ataupun melakukan tindakan lain yang merusak demokrasi.
DERAJAT DEMOKRASI
Namun, pada saat kita sudah menentukan pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, kemudian diubah menjadi pemilihan oleh DPRD, perlu dipertimbangkan lagi pengaruhnya terhadap perubahan ”derajat” demokrasi di daerah.
Pemilihan secara langsung oleh rakyat tentu dirasakan ”lebih demokratis” jika dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Konsekuensinya, perubahan menjadi pemilihan oleh DPRD akan mengurangi derajat demokrasi.
Ada dua hal penting mengapa pemilihan oleh DPRD akan mengurangi derajat demokrasi.
Pertama, hal itu akan menghilangkan satu ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pilkada.
Partisipasi ini memang dapat diwakili oleh anggota DPRD, tetapi semakin banyak ruang partisipasi langsung tentu lebih baik dan bisa jadi terdapat perbedaan antara pilihan rakyat dan pilihan anggota DPRD yang lebih didominasi pilihan partai politik.
Perbedaan antara pilihan rakyat dengan pilihan partai politik sudah banyak terlihat dari hasil pemilihan kepala daerah jika membandingkan antara suara yang diperoleh pasangan calon dengan kekuatan partai politik pengusul.
Kedua, hilangnya ruang partisipasi langsung akan berakibat menjauhnya hubungan antara kepala daerah dan masyarakat di daerah. Hubungan dalam hal ini berisi kewajiban gubernur/bupati/wali kota memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat serta legitimasi bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan publik.
Sangat dikhawatirkan perubahan itu akan mengakibatkan kepala daerah semakin abai terhadap aspirasi masyarakat karena merasa legitimasinya berasal dari anggota DPRD.
Dinamika hukum yang mengatur pilkada telah terjadi sejak awal reformasi. Telah lebih dari 20 tahun pengaturan pilkada dibentuk, dilaksanakan, diuji, dan diubah dengan tujuan untuk menemukan model yang paling sesuai dengan makna demokrasi berdasar UUD 1945 dan kondisi masyarakat Indonesia. Ruang diskursus perubahan tentu harus selalu dibuka. Setiap sistem tentu memiliki kelemahan, termasuk pilkada secara langsung.(Janedjri M Gaffar Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi 2003-2015